Kutipan Cerpen
Kupu-Kupu ke Rumahku
Karya
normanysgultom
Baca selengkapnya di
Penakota.id
Seekor kupu-kupu masuk ke rumahku. Aku bertanya tentang maksud kedatangannya. Ia menjawab, bahwa akan ada seorang yang datang ke rumahku. Ibuku memang pernah bilang, bila ada seekor kupu-kupu masuk ke rumah itu tandanya akan ada tamu yang mau datang. Lantas aku teringat istriku. Mungkinkah ia yang akan datang? tanya hatiku.
Rumahku jarang kedatangan tamu. Aku yakin istriku akan menjadi tamu yang datang itu. Kusiapkan semua yang aku bisa. Menyapu lantai, menyalakan lampu taman dan memasak makan malam. Hari sudah agak sore dan aku takut tiba-tiba istriku datang dengan kelaparan.
Setelah mandi, aku menunggu. Dua jam berlalu dan senja lewat begitu saja tanpa sempat aku nikmati. Suatu waktu istriku pernah bicara tentang senja. Katanya, senja adalah cat lukis Tuhan yang terjatuh dari tempatnya. Aku tidak percaya dan ia tertawa. “Apa yang masing-masing dari kita percayai adalah hal yang tak bisa diganggu,” katanya. Sambil menaruh gelas anggurnya, ia melanjutkan, “Seperti aku yang percaya kau mencintaiku, dan itu tidak bisa diganggu oleh apapun,” katanya menyelesaikan. Aku senang mendengar itu walau tetap tak percaya bahwa senja adalah cat lukis Tuhan yang terjatuh.
Senja tetaplah senja. Ia selalu datang untuk menyelesaikan hari dan menyelesaikan segala yang belum selesai. Dan pada akhirnya, rasa tidak percaya itu menjadi semakin nyata. Tepat setelah kami berdua berbincang, ia pergi dari restoran. Hari itu umur pernikahan kami baru tiga bulan. Katanya terakhir kali, “Ternyata senja bukan cat lukis Tuhan. Ia baru saja berkata kepadaku dan ia berbohong selama ini.” Aku bertanya, “Siapa yang berbohong?”
Tapi ia terlanjur pergi. Aku mengejarnya. Entah bagaimana, senja melenyapkannya dengan seketika. Ia hilang cepat sekali persis seperti senja yang singkat. Aku mencarinya ke sudut-sudut kota, ke hotel tempat kami berencana untuk berbulan madu, serta ke bandara. Aku tidak menemukannya sama sekali. Itu sebab mengapa aku sangat membenci senja. Keindahannya semu dan selalu berlalu tanpa bersabar lebih dulu. Terlebih lagi, ia telah mengambil istriku.
Sekarang sudah pukul 7 malam dan ia belum juga tiba. Rasanya kupu-kupu tadi berbohong padaku, dan kukira kupu-kupu itu sama saja dengan senja. Cantiknya menipu. Gemulainya mengecoh, dan omongannya menyesatkan. Sesaat sebelum aku lontarkan semua kekesalanku pada kupu-kupu itu, pintu rumahku terketuk. Aku melonjak dan langsung mencari cermin untuk memastikan bahwa penampilanku sudah layak menerima kedatangannya. Terdengar suara pintu itu diketuk lagi. Dasar tidak sabaran, ujarku dalam hati. Istriku memang sering begitu. Ia selalu memperhatikan waktu. Setiap detiknya seakan begitu berarti, dan itulah sebab kenapa ia benci menunggu. Aku juga benci menunggu, tapi tidak pernah lebih benci seperti dirinya.
Pintu itu aku buka, dan aku melihat wajah kedua orangtuaku. Rasa kecewa muncul pertama kali lalu segera rasa rindu muncul juga. Aku memang cukup lama tidak bertemu mereka. Terakhir kali adalah 3 hari setelah kami menikah dan kami ijin pergi ke rumah yang baru. Waktu itu istriku ingin segera memasuki rumah ini agar jauh dari masing-masing orangtua. Bukan karena ia tak suka, tapi karena ia ingin belajar membangun rumah tangga seperti ketika masing-masing orangtua kami merasakan sulitnya membangun. Kedatangan orangtuaku ternyata tidak disengaja. Mereka mengatakan kalau mereka baru saja selesai cek kesehatan di rumah sakit dan hendak berkunjung sejenak. Walau kedatangan mereka memang tidak aku harapkan, tapi mereka tetap orangtuaku dan aku khawatir dengan maksud mereka yang mengatakan habis melakukan cek kesehatan. Dengan menangkap rasa khawatir di wajahku, mereka berdua buru-buru menjelaskan bahwa mereka ke rumah sakit hanya untuk cek rutin yang bukan karena alasan kesehatan. Aku lega mendengarnya.
Aku persilakan mereka masuk. Untung aku sudah memasak makan malam sehingga bisa menjamu mereka dengan layak. Tentu saja sebenarnya makanan ini untuk aku dan istriku. Tapi tak apa, toh orangtuaku sudah rela-rela mengunjungi anaknya yang jarang menjenguk mereka. “Makanan untuk siapa ini, nak?” tanya ibuku yang disusul tambahan dari ayahku, “Ada orang yang sedang kau tunggu, nak?”
Aku menggeleng, “Tidak ada yah, hanya tadi rekan kerja katanya mau mampir, tapi sudah bilang kalau tidak jadi.” Ibuku mengedarkan pandangannya ke seluruh isi ruangan.
“Talitha mana?” tanyanya.
Nada pertanyaan itu biasa saja, namun terasa menusuk. Aku terkesiap tapi buru-buru kuhapus raut wajah itu sebelum mereka menangkapnya. Aku lupa bahwa kepergian istriku belum aku sampaikan pada orangtuaku dan orangtuanya. Sesungguhnya aku memang tidak berniat untuk itu. “Tadi katanya ada lembur. Harusnya makan malam sama rekan kerjaku juga hari ini.” Jawab itu disambut dengan O yang panjang. Kedua orangtuaku tampak sangat sehat. Mereka tidak terlihat mengkhawatirkan dan tidak juga khawatir karena istriku tidak di rumah. Aku cukup tenang dengan itu.
Kami berbincang sambil menyantap makan malam. Keduanya pulang setelah menitipkan salam untuk istriku. Waktu sekitar pukul 9 malam, dan aku tahu kalau istriku tidak suka jalan malam-malam. Dari situ aku yakin bahwa tidak akan ada lagi orang yang datang. Aku mengunci pintu dan memilih tidur seraya berharap bahwa besok kupu-kupu itu datang lagi ke rumahku.
Esoknya, kupu-kupu itu tidak terlihat. Lusa, dan besok, dan besoknya lagi. Aku cukup kecewa. Kali ini benarlah dugaanku bahwa semua yang indah-indah hanyalah semu. Mereka datang dengan membawa berlian dalam bentuk harapan lalu hilang tanpa mengabarkan. Istriku, senja, dan kupu-kupu adalah contoh yang kualami secara nyata. Satu minggu kemudian, saat aku sedang berolahraga kecil di lantai atas, aku melihat kupu-kupu itu datang. Awalnya aku lupa bahwa aku sedang menunggu kupu-kupu. Memandangnya yang sedang hinggap pada salah satu kembang di halaman belakang rumahku, aku sedikit merasa kesal. Jangan-jangan kali ini harapanku akan dihancurkan lagi olehnya.
Ia sedang asyik menikmati rasa manis dari nektar saat aku bertanya, “Apakah hari ini akan ada yang berkunjung ke rumahku?” Katanya, “Tentu, akan ada seorang pengunjung ke rumahmu hari ini. Bukankah harusnya kau tahu bahwa kedatanganku adalah untuk itu?”
Aku senang mendengar jawaban itu. Hari masih pagi, dan masih banyak waktu yang tersisa untuknya datang kemari. Kami bisa makan siang berdua, pikirku. Atau kalau memang istriku datang agak sore, kami bisa memanaskan makanan dan makan malam bersama sambil menyaksikan serial televisi kesukaannya yang telah banyak ia lewatkan. Aku segera memesan makanan siap saji karena persediaan bahan masakan di rumahku sudah menipis. Seraya menunggu, aku langsung ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku dari keringat. Setelah selesai, aku berkaca sebentar untuk merapikan lagi bajuku. Rambut kusisir ke samping dan aku semprotkan sedikit minyak wangi pada kemejaku. Istriku tidak suka minyak wangi dengan harum yang terlampau tajam. Sekali waktu istriku itu pernah bersin-bersin seharian ketika kami ingin pergi menonton. Hari ini akan jadi hari adalah hari yang spesial, dan aku tidak ingin merusaknya hanya karena wangi parfumku.
Mendengar suara pintu diketuk, aku berlari kecil menuruni tangga dan mengambil dompet yang ada di atas meja. Pintu itu aku buka dan seorang pengantar makanan tiba di hadapanku. Setelah transaksi selesai, aku meletakkan semua makanan itu ke dalam tempat-tempat makanan yang aku tidak tahu namanya.
Aku menunggu kira-kira hingga jam 1 siang. Perutku mulai keroncongan karena sempat berolahraga dan belum makan sejak pagi. Aku mencari-cari kupu-kupu itu. Ia masih berada di halaman belakang dan aku bertanya lagi “Kapan ia akan berkunjung ke sini?” Kupu-kupu itu tidak menjawab dan malah terbang pergi. Hingga malam tiba, barulah aku menyadari bahwa tamu yang berkunjung ke rumahku adalah si pengantar makanan tadi.
Sial, gerutuku. Tahu begitu aku tidak akan memesan makanan. Kunyalakan mobil dan pergi membeli persediaan bahan-bahan yang aku butuhkan, setidaknya untuk beberapa waktu yang akan datang. Hanya bumbu nasi goreng dan sejumlah potong ayam yang sekiranya masih dapat aku buat sendiri. Aku tidak ingin kejadian seperti hari ini terulang kembali. Ketika nanti istriku datang, aku sudah siap menjamunya. Mungkin yang selama ini datang kepadaku adalah bentuk cobaan untuk menguji kesabaranku. Tapi bukankah cinta memang selalu begitu. Ujian tak pernah bosan-bosan datangnya.
Lusa, kupu-kupu itu baru tiba lagi. Ia hinggap di kembang yang sama seperti tempo hari. Aku baru ingat bahwa sejak hari pertama kupu-kupu itu memang selalu hinggap di sana hingga aku menyadari bahwa kembang itu adalah kembang yang istriku sukai juga. Semakin yakinlah aku bahwa istirku hari ini akan kembali. “Apakah hari ini ada tamu yang datang?” tanyaku pada kupu-kupu.
Kupu-kupu itu menjawab, “Ya, tentu akan ada yang datang ke rumahmu hari ini. Itulah tujuanku datang ke sini. Untuk memberitahumu.”
“Wah, terima kasih kupu-kupu. Tapi jika aku boleh bertanya, siapa gerangan yang akan datang? Apakah ia istriku?”
“Ya, istrimu akan datang ke sini.” Nadanya acuh tak acuh. Tapi aku tetap senang mendengarnya.
Betapa hari yang indah di akhir minggu seperti ini. Ketika kebanyakan orang akan menikmati waktu berdua dengan pasangannya, aku juga akan merasakan hal sama seperti mereka. Aku melompat girang dan berlari-lari mengelilingi halaman belakang rumaku.
Hari menjelang sore, dan aku yakin ia akan datang tepat pada saat jam makan malam. Di atas meja sudah aku siapkan lilin dan anggur yang sengaja aku simpan untuk pertemuan-pertemuan seperti ini. Anggur itu adalah anggur yang pernah istriku pilih sendiri.
Semua hal telah siap. Aku menunggu dengan perasaan tidak keruan. Kakiku bergerak-gerak dan tanganku bermain-main sendiri. Jantungku berdegup kencang sekali. Aku yakin, aku yakin, ujarku dalam hati tanpa irama sama sekali. Malam tiba dan istirku masih belum datang. Seraya lelah menunggu, aku melihat kupu-kupu itu masih berada di sana, hinggap di kembang kesukaan istriku. Melihatnya berkepak-kepak pelan dan menikmati indahnya kembang itu, aku merasa sangat marah. Bisa-bisanya ia menikmati kebahagiaan di atas penderitaanku. “Dasar kau kupu-kupu penipu!” Aku melemparinya dengan piring-piring dan beberapa bahan makanan. Ia terbang pergi tanpa ada satu yang mengenainya.
Sudah satu minggu kupu-kupu itu tidak muncul lagi. Hingga dua minggu terlewati dan aku merasa menyesal telah marah pada si kupu-kupu. Aku jadi teringat kembali tentang kembang di halaman belakang rumaku. Mungkin jika aku tanam banyak kembang, kupu-kupu itu akan datang lagi, pikirku singkat. Lagipula, jika nanti istriku datang, tentu ia akan senang melihat banyaknya kembang kesukaannya di sana. Aku keluar rumah dan membeli beberapa bibit kembang yang sama. Aku tanam satu per satu sehingga dalam waktu satu bulan seluruh halaman belakang rumahku penuh dengan kembang itu. Aku berharap bahwa kupu-kupu itu akan datang karena tertarik dengan nektar yang sekarang sangat melimpah jumlahnya. Setidaknya, jika bukan kupu-kupu itu yang datang, mungkin ada kupu-kupu lain yang bisa memberitahuku tentang kedatangan istriku.
Esok paginya, kupu-kupu itu sudah ada di sana. “Maafkan kekesalanku tempo hari,” sapaku.
“Tidak apa, hari ini akan ada yang berkunjung ke rumahmu lagi.”
“Tapi aku belum sempat membeli bahan masakan dan apakah ia adalah istriku, kupu-kupu?”
Mendengar pertanyaanku itu ia berpaling dari kembang dan menatapku dengan sangat serius. “Kau rindu sekali dengan istrimu itu?”
“Tentu. Aku sangat merindukannya. Apakah ia akan datang hari ini, kupu-kupu?”
“Ya, kali ini ia yang akan datang. Jangan kau pesan makanan dari luar. Kau buatlah seadanya.”
Lalu benarlah apa yang dikatakan oleh kupu-kupu itu. Saat jam makan siang, istriku datang. Kami berpelukan dan tangisan mengalir tanpa bisa kami bendung. Rasa ini memang selalu minta untuk terjadi. Di meja makan, ia mengatakan bahwa ia juga sama merindukanku. Ia menjelaskan kenapa ia pergi dan aku tidak mempermasalahkan itu. Setiap manusia yang tentu ingin punya waktunya sendiri. Aku memahami itu dan menyalahkan diriku yang mungkin selama ini terlalu egois sampai-sampai membuatnya terasa dipenjara. Setelah semua permasalahan selesai dibicarakan, kami memasak telur dadar dan mie instan. Hanya itu yang tersisa di dapurku. Tapi hasilnya cukup memuaskan dan kami senang memasak bersama. Setelahnya, kami menyaksikan film sambil menikmati anggur yang tempo waktu tidak jadi diminum. Tak sengaja, aku melihat ke halaman belakang dan kupu-kupu itu masih di sana.
“Terima kasih kupu-kupu,” ujarku padanya. “Sekarang kau nikmatilah semua nektar ini. Ini semua aku tanam memang untukmu.” Ia membalas dengan senyuman. Diterangi cahaya bulan, aku bisa melihat matanya yang sayu.
“Kupu-kupu, kau kenapa? Apa yang sedang kau pikirkan? Apakah semua nektar ini masih belum cukup untukmu? Aku bisa menanam lebih banyak lagi.”
“Tidak perlu," jawabnya. "Aku hanya sedang memikirkan kekasihku. Kukira ia akan datang hari ini.”
Unduh teks untuk IG story