

kata mereka aku jelaga—
jelaga jejak jelang jahanam;
tapi aku ingin jadi abu,
abu arang arif arang-usai,
yang diam di samping dupa
bukan dipuja—tapi tidak dibuang.
akulah salah
yang disalib,
dosa yang digiling,
debuku diseret dari pintu ke pintu
sampai namaku koyak
lebih koyak dari tubuhku.
aku datang membawa duka,
dosa, debu,
dendam yang kusumpal
biar tidak meledak dan membunuhku duluan.
mereka menatapku miring—
miring-miring makin miring—
wajahku jadi wilayah terkutuk,
napasku bunyi sumbang
yang ingin mereka bantai dari udara.
tapi aku tetap mengetuk:
tok…tok…tok
pintu itu menjawab: TIDAK.
tidak kemarin,
tidak hari ini,
tidak untuk rupa dan namaku
jijik dieja licik disela
aku jelaga yang ingin diam,
ingin padam tanpa dipadamkan;
aku ingin jadi abu
yang tidak diperdewa
tidak pula diperkosa makna—
hanya diberi sebentang lantai
untuk tidak menghilang.
dunia pura-pura suci,
mereka pura-pura peduli;
biar aku pura-pura berarti,
asal ada celah sekecil kuku
untuk napas terakhir yang kugenggam
agar hidupku tidak mati sebelum mati.
jelaga—abu—abu—jelaga—
j—e—l—
a—g—
a—
jatuh.
jatuh.
jatuh.
aku belum padam…
tapi mereka ingin aku hilang.

