

balok bolak balik balok
balik tanah
balik rumah
balik sungai berbelok bringas
berasak berasap berdebum batang-batang
berguling bagai bongkahan dosa dibongkar paksa
bukit-bukit berdarah
berderai, berderak, bedal-bedil bebatu
berserak oleh belati-birokrasi
yang berkilat dari kantong korup
barisan banjir berlari brutal
bertubi membawa berat beban
bercampur bau busuk belukar
yang dulu bernapas, kini jadi bangkai basah
bumi bergetar, bergemuruh
berkata bengis:
“bencana bukan bila-bila,
ini balas dari berabad aniaya.”
balik tanah
balik rumah
balik nasib bangsa
selama para berwibawa
berkomplot—
berpura-pura berjasa
padahal cuma
berkawan dengan bara
yang membakar
menggerus, menenggelamkan
pulauku…
balok bolak balik
kata dibolak balik
bah… air bah…
bahasa basah bagai badai berseru
bolak balik balok
bolak balik kata
dusta berdekap di dada
berdengung, berdenyut, berulang—
begitulah bencana
bila birokrat berdusta
dan bukit dibiarkan
menjadi makam massal tanpa suara
dan malam
menutup mata kita
dengan selimut basah
yang mereka sebut:
“ini takdir”,
padahal ini—
lukanya terang,
jejaknya telanjang—
karya tangan manusia.

