Guru
Cerpen
Kutipan Cerpen Guru
Karya pengenceritaaja
Baca selengkapnya di Penakota.id

Bangun pagi, yang sering kali bersaing dengan ayam jantan perkara siapa yang lebih dulu berbunyi. Itulah saya. Seorang guru. Honorer. Tanpa ikatan dinas - resmi - dengan pemerintah, apalagi seorang pegawai negeri. Sesuatu yang orang lihat baik-baik saja. Namun, tak pernah benar-benar tahu bagaimana kenyataannya.


"Enak ya, jadi guru. Gajinya terjamin"

Kalimat yang banyak terucap dari para tetangga, bahkan orang-orang yang pertama kali tahu profesi saya.


Maklum. Sikap yang akhirnya menjadi terbiasa saya berikan. Mereka hanya tahu bahwa saya hanya seorang guru. Mungkin, bagi mereka, semua guru sama saja. Meski pada kenyataannya ada sistem "kasta" di sana.


Guru dengan status pegawai negeri, perjanjian kerja, hingga kontrak kerja dengan pemerintah; honorer, bahkan perbantuan. Ya, inilah kira-kira gambaran saya tentang "kasta" itu. Guru dengan status pegawai negeri, perjanjian kerja, hingga kontrak kerja; mungkin golongan inilah, guru-guru yang mereka sebut enak dan terjamin gajinya. Sayangnya, bukan saya.


Saya hanyalah guru honorer, tak terikat perjanjian dengan pemerintah - secara resmi. Perjanjian saya hanya dengan sekolah. Perkara gaji, tergantung bagaimana kebijakan sekolah. Terjamin? Masih lebih disyukuri - jika dibandingkan orang lain dengan status yang sama. Ada lebih banyak orang yang tidak seberuntung saya.


Saya teringat pada petuah Alm. KH. Maimun Zubair,

"Nak, kalau kamu jadi guru, atau dosen, atau jadi kiai, kamu harus tetap usaha. Milikilah usaha sampingan agar hatimu tidak selalu mengharap pemberian atau pun bayaran dari orang lain. Usaha dari keringatmu sendiri itu berkah."


Begitulah mungkin seharusnya menjadi guru. Punya usaha sampingan. Apalagi sebagai honorer. Semakin tak punya harapan untuk sekarang, bukan?


Tak ada lagi pengangkatan pegawai negeri untuk guru. Hanya sebatas perjanjian kerja. Bahkan tak cuma itu. Mengharapkan bayaran sebagai guru - honorer - lebih sering melahirkan kekecewaan, miris, sedih, hingga pertanyaan "kok bisa?". Lebih banyak rasa ketidakpercayaan dibandingkan rasa kekaguman yang orang-orang kira sebelumnya.


Menjadi guru honorer, harus rela dengan gaji "suka rela" - harus suka dan rela dapat segitu, bekerja lebih keras dibandingkan yang lainnya - karena dianggap muda ada hal-hal baru yang bisa dimanfaatkan pada diri kita; meski dengan perbandingan yang terlihat jauh berbeda - entah jumlah, nominal, bahkan waktu.


"Pandemi begini, lumayan kan dapat gaji tanpa kerja?"

Celoteh warganet, terutama orang tua yang mulai kelelahan - sepertinya - menghadapi anak-anaknya belajar selama hampir satu tahun di rumah.


Saya hanya bisa tersenyum. Bagaimana tidak? Bukankah orang tua adalah guru pertama bagi anak-anaknya di rumah? Sedangkan, selama ini sebagian orang tua menilai anak-anak hanya butuh materi, kebutuhan lahiriah, segala hal yang bisa mereka berikan dengan berlembar-lembar kertas dengan gambar pejuang.


Sebuah ironi di mana sebagian orang tua lupa, ada kebutuhan batin yang harus dipenuhi. Pendidikan, moral, akhlak, dan segala hal yang membentuk karakteristik sebagai seorang manusia.


Mereka mengira saya sebagai guru, tidak melakukan kewajiban bekerja di masa pandemi ini. Sebuah kenyataan yang sebenarnya tak mereka tahu. Sebagai guru, sering kali dituntut bekerja lebih dari 24 jam - jika bisa. Dituntut tersedia kapan pun hendak ditanya, mengolah nilai, menyiapkan materi. Ah! Banyak lagi.


Mereka kira jadi guru mudah? Mendampingi satu murid saja - anak mereka - dengan tidak lebih dari 15 mata pelajaran - mungkin - sudah melelahkan, bukan? Bagaimana dengan melayani di dalam satu pelajaran dengan lebih dari 100 murid - sebutlah dengan kelakuan yang sama dengan anak mereka. Seratus kali lipat menghadapi anak mereka, bukan?


Jadi, bagaimana tentang guru? Honorer dan perbantuan, terutama. Masih ada harapan atau musnahkan saja seluruh pengharapan?

28 Jan 2021 12:58
191
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: