Saat bulan pucat tembaga
Aku turun telanjang duka
Saat langit perak mengembang
Jiwaku kelabu murung mendung
Akan kubenamkan segala rimbun rasa pada belantara pekat gulita
Akan aku hanyutkan seluruh pengharapan raga pada lautan semesta tak bermuara
Pada kepulangan kata menuju cakrawala aksara
Tubuhku berpayung bintang-bintang dan kepulan asap kalimat majemuk
Ceritanya tersisip pada halaman belakang buku kenangan
Ketika bintang biru utara mengabarkan klausa tunggal
Daun-daun cokelat akasia di beranda tinggal tanggal
Gugur bersama guyur hujan di sore setengah petang
Awannya meniupkan angin barat sangat panjang
Kaki-kaki penaku menuliskan dengan jelas nama tragedi ini
Bersama rapalan doa yang lantang sejak dini
Rebahan lelah letih pengharapan
Pada sajak sajak sendu bermata sayu
Inilah gamang diraung ruang yang masih rumpang
Jejak tintanya masih menggenang di sungai kening
Basah alirannya belum reda dan rampung
Sore itu angkasa masih lengkap diseduh senja
Namun ranum pilu tak pula terjeda
Sayatannya menggaris lurus sepenggal matahari
Aromanya tajam lengking dari hidung sampai pangkal hati
Lalu aku masih saja termenung
Menuliskan semua ini dalam bingung
Catatan prosa seorang tualang
_Bandung, 10-10-2020_