oranment
play icon
Kisah Bersama Arsyn
Cerpen
Kutipan Cerpen Kisah Bersama Arsyn
Karya penulispesan
Baca selengkapnya di Penakota.id

Kisah Bersama Arsyn

 

   Pagi ini hangatnya sinar mentari mengantarkanku ke sebuah tempat bernama "Arsyn" tempat yang mungil, hangat dengan gedung-gedung pencakar langitnya yang menjulang seakan kita dapat menggapai awan jika berada di puncaknya. Salah satu dari pencakar langit tersebut kini akan menjadi sebuah penggalan kisah baruku, gedung yang tidak terlalu tinggi memang jika dibandingkan dengan gedung lain, terletak di depan sebuah trafic light dan tepat sebelah pintu masuk ada sepetak taman yang cukup indah, pepohonan dengan burung-burung yang bernyanyi setiap paginya, dan bunga-bunga yang menjadi lahan garapan untuk kawanan kupu-kupu dan kumbang. Sungguh menawan kota ini dengan kemungilannya, kota yang asri, hijau, udara yang hangat, tidak ada kemacetan, orang-orang lalu lalang sangat beraturan. Kota yang damai sangat damai.

   Kulangkahkan kakiku turun dari sebuah bis yang berhenti tepat di depan gedung. Desiran angin yang menyapa rambutku, suara gemuruh daun yang terkena angin, harum bunga-bunga yang tersapu angin yang menusuk hidungku, dan suara burung-burung yang bersiul seakan mereka menyambutku dengan ramah. "Hmm..nyaman sekali kota ini".


   Tak terasa jarum jam menunjukan angka 10 akupun segera bergegas menuju pintu masuk. Dan ternyata tempatku itu di lantai paling atas dekat atap. Ku buka pintu kamar dengan nomor 42, ruangan yang sederhana, namun kita bisa melihat jalan raya melalui jendela yang terletak tepat di dekat tempat tidur, ya ini memang sebuah apartemen kecil yang sederhana, untuk beberapa bulan ke depan aku akan tinggal disini.

   Ku rebahkan tubuhku berbaring di atas ranjang imut yang cukup empuk "disini cukup nyaman untuk bermimpi haha" pikirku. Aku mulai membenahi kamar tidurku, di atas meja sebelah tempat tidur ku letakan sebuah frame kuning, foto dengan seorang sahabat yang jauh sekali untuk berjumpa. Akhirnya selesailah pekerjaanku untuk merapihkan kamar. Ada seonggok sampah yang harus aku buang. Aku kunci pintu kamar dan turun satu lantai untuk menuju pembuangan sampah, ketika melewati tangga, ku lihat ada seorang laki-laki dengan langkah yang mantap berlari dari arah yang berlawanan, lelaki yang cukup tinggi, berbadan tegap berumur sekitar 20 tahunan mungkin. Aku hanya menengoknya dan tidak memperhatikannya.

***

   Senyum tergurat di wajahku saat menatap senja ini, reriuh daun-daun mengiringi. Tidakkah kau melihat saat-saat yang begitu indah saat senja di sore hari. Setiap ada senja, selalu kutatap dengan seksama. Seakan enggan ku pelototi, senja yang tak bernyali memilih sembunyi bawa lari kenangan ini. Rindu menyeruak saat senja menanti malam. Geloranya tak padam, meski diam-diam kupendam. Rindu..rindu kepada sosok malaikat yang telah Tuhan ambil. Tiba-tiba ingatanku tertuju pada ibu yang telah pulang ke surga.

 

  Kuputuskan untuk pergi ke atap sekedar mengalihkan perhatianku akan sosok ibu yang telah tiada. Ku lihat sosok tubuh yang berlatarkan senja tegap berdiri di tepian atap. Dengan hati ragu tetap kulanjutkan langkahku. Semakin lama dia semakin menyadari keberadaanku, lalu dia menolehkan badannya. Aku hanya duduk terdiam disebuah bangku, pelan-pelan dia berjalan ke arahku, lalu bertanya:

"Kau penghuni baru di tempat ini ya? Asing sekali wajahmu baru aku lihat"

"Iya, aku baru saja tiba pagi ini"

"Darimana asalmu?"

"Aku datang dari Inari"

"Hmm Inari..ya aku sedikit tahu tentang tempat itu"

"Apa kamu sudah lama tinggal disini?"

"Cukup lama, hampir 4 tahun aku tinggal disini. Kenapa kau pergi dari Inari?"

"Aku hanya mencoba mencari ketenangan, Inari terlalu banyak memberikan kenangan"

"Kenapa kau meninggalkan kenangan itu?"

"Tidak bisa kujelaskan pada orang yang baru aku lihat beberapa menit yang lalu haha"

  Percakapan kami begitu akrab, laki-laki itu bernama Dipa, nama yang lucu, pikirku. Kami bercakap-cakap sampai tenggelamnya matahari di senja ini. Kata-katanya selirih angin sore mampu menenggelamkanku dalam kenyamanan. Ketika matahari mulai redup, sang awan pun dengan seksama jadi penguasa langit, terimakasih untuk senja sore ini.

Dipa : "bisakah lain kali kita menikmati senja bersama lagi?"

Riani : "tentu saja aku akan senang"

***

   Beberapa bulan telah kulewati, kemesraan ku dengan Dipa pun semakin erat sampai sang senja pun cemburu melihat kemesraan kita. Kemesraan yang ditunjukan sebagai teman ini sungguh tak biasa, namun jika dirasakan sebagai kekasih pun itu tak mungkin, karena diantara kami tidak ada rasa apapun melebihi teman, hanya sebagai tempat sandaran untuk saling melempar cerita, untuk meluapkan kekesalan, dan tempat untuk melepaskan lelah dari masalah-masalah yang pernah singgah. Dipa seperti memberikanku sebuah energi baru untuk bangkit kembali dari keterpurukan, dengannya aku banyak belajar bagaimana cara menikmati hidup ini, dia membawaku ke dalam dunia baru yang sungguh sangat menakjubkan, dia selalu hadir dalam setiap canda dan tawaku, bahkan di setiap luka.

   Arsyn..kota ini memberikanku sebuah kedamaian dan ketentraman jiwa yang tidak pernah kutemukan sebelumnya, meski hanya tinggal di sebuah tempat sederhana tapi aku merasa hidup dalam duniaku sendiri. Setiap pagi saat hangatnya mentari menembus tubuh Dipa selalu mengajakku untuk menikmati indahnya Arsyn, setiap senja saat mentari mulai tenggelam kita selalu menikmatinya bersama. Dengannya aku lebih mengenal Arsyn, dari setiap detail sudut kota ini aku sudah sangat hafal.

Riani : "terimakasih kau selalu menunjukan setiap detail keindahan Arsyn"

Dipa : "Arsyn lebih indah karena ada kamu Riani hehe"

  

Namun ada sebuah tanda tanya besar yang selalu kucoba temukan jawabannya, dalam kurun waktu beberapa bulan ini, ada kejanggalan yang selalu aku temukan. Setiap hari Kamis minggu ke dua setiap bulan aku selalu melihat orang-orang berbadan kekar dengan penampilan seperti orang eskimo datang ke kota ini. Mereka terlihat dingin, kaku dan pucat, mata yang biru kulit yang putih seperti salju seperti tidak ada darah yang mengalir dalam tubuh mereka. Pemandangan yang aneh, karna setauku Arsyn adalah tempat yang hangat, musim dingin disini tidak separah itu, meskipun ini musim semi tetapi orang-orang asing itu tetap berpenampilan seperti orang Eskimo.

    Aku mencoba bertanya kepada Dipa siapa orang-orang itu, namun dia selalu enggan untuk menjawab, dia hanya memberikanku sebuah alasan yang membuatku merasa aman. Dan aku sangat percaya dengannya. Namun pada saat hari itu juga, orang-orang kota terasa sepi, seperti tidak ada kehidupan, hanya beberapa orang yang keluar rumah pada hari itu. Akupun begitu mungkin hanya sekitar 4 kali aku keluar di hari itu, dan selalu kutemukan orang-orang asing itu seperti menguasai kota ini.

***

    Kita duduk di tangga dengan perbincangan kecil yang asik, dengan ditemani dua orang anak kecil kakak beradik yang masih berusia 5 dan 4 tahun lalu lalang melewati kami. Anak-anak itu adalah tetangga kami disini, mereka selalu ditinggalkan ibunya bekerja. Karena rasa penasaranku semakin menjadi kuputuskan untuk bertanya.

Riani : “Dipa, bolehkan aku bertanya tentang sesuatu?”

Dipa : “apa itu Riani?”

Riani : “aku tak puas dengan jawabanmu tempo hari tentang orang-orang asing itu”

Dipa : “apa kau pernah melihatnya lagi?”

Riani : “ya, minggu ini mereka pasti datang, aku keluar ke tempat yang pernah kau tunjukan padaku, di sebuah bukit di pinggir kota, dan mereka ada”

Dipa : “kau pergi kesana sendiri?”

Riani : “ya karna aku ingin memastikan kalau setiap hari itu mereka datang kesini dan ternyata benar, aku ingin tahu alasan mereka kesini untuk apa?”

Dipa : “kenapa kau membahayakan dirimu sendiri Riani?”

Riani : “bahaya apa yang kau maksud? aku hanya penasaran, buktinya aku tidak apa-apa kan?”

Dipa : “hemm...baiklah jika kau ingin tahu, kamis ke dua di bulan depan aku akan memberitahumu”

   Waktu yang cukup lama untuk memendam rasa penasaran ini, namun apa boleh buat tak ada pilihan lain selain menunggu kamis kedua di bulan depan.

***

   Gelap malam mulai datang, ku terdiam di pinggir jalan ditemani titik-titik hujan yang menari-nari diatas langit. Malam itu Arsyn sedang diguyur hujan sedang. Aku hanya terdiam beku tanpa suara sembari sesekali menengok jam yang melingkar di tangan kiriku. Rintik-rintik hujan yang menghujam tubuhku tak sebanding dengan rasa cemas yang aku rasakan. Semenjak pagi aku tidak melihat Dipa di apartement, aku bertanya kepada Rio anak kecil tetangga kami, dia bilang bahwa Dipa pergi keluar dan pulang malam hari. Waktu semakin larut, harapanku semakin lebur, tubuhku mulai merasakan dinginnya udara malam ini. Tiba-tiba seseorang memakaikan sebuah jaket dari arah belakang, dia menatapku hangat dan membasuh cucuran air hujan yang mengenai keningku dengan lembut. Seseorang yang aku tunggu di tengah hujan.

Dipa : "Apa yang kau lakukan di tengah hujan seperti ini Riani?"

Riani : "mengunggumu"

Dipa : "kenapa menungguku? Bagaimana jika kamu sakit?"

Riani : "entahlah, sepertinya aku mengkhawatirkanmu"

Dipa : "kalau kamu seperti ini justru aku yang akan lebih mengkhawatirkanmu"

***

  Saat yang ditunggu telah terlewati tinggal beberapa hari lagi menuju hari kamis di minggu kedua.

  Kala itu kita menikmati malam di atap, dengan langit yang bersih ditemani sebuah lagu klasik kita saling melemparkan cerita. Entah kemana perginya bintang malam ini mungkinkah mereka cemburu melihat kemesraan kita? Malam semakin larut, kita riuh oleh angin kiriman. seperti sebuah pesan untuk saling membaca. Matamu. semakin berani mengusikku. Mataku, semakin jelas melihat. kamu semakin tumbuh dan berani menjelaskan cinta.

Riani: “emm.. kamu kok bisa buat aku nyaman?”

Dipa: “tumben nanya begitu, kamu sedang bahagia?”

Riani: “iya.. kan kamu yang buat aku bahagia!”

Dipa: “haha syukurlah jika merasa begitu, aku hanya membuat perasaan ini bersama tempatnya yang benar”

Riani: “kamu membuatku diam dan merasakan keindahan ini begitu nyata, mengapa tak dari dulu?”

Dipa: “karena dulu kamu terlalu lugu untuk aku cintai, kini dewasamu yg buat aku tergila-gila.”

Riani: “bukankah kamu juga dulu sangat polos untuk sekedar bertatapan pun kamu ragu hingga pucat haha”

Dipa: “itu karena cantikmu yang tak pernah bisa membuatku fokus pada apa yang aku rasa”

Riani: “haha dasar pria selalu bisa buat wanita tersanjung, entah jujur atau hanya bualan tapi itu manis”

Dipa: “bualan? Aku tak pernah kosong untuk berucap, ini luapan nyata dari rangkaian rasa yang muncul dalam hatiku hehe”.

Riani: “benarkah? jika bukan gombalan mengapa tak dari dulu?”

Dipa: “haha kini kamu menyesalkan waktu yang lama terjadi tanpa ada apa apa, tapi kini aku disini bukankah bahagia tak pernah datang terlambat, apa aku terlambat untuk berada disampingmu?”

Riani: “tidak aku tetap menikmati setiap proses bersamamu, dalam dekapan aku merasa nyaman, sungguh merasa nyaman..”

  Entah apa yang kurasakan, rasa yang meracau kacau tak terkendali. Aku sudah tak bisa menahan detak di jantungku, untuk terus menyuarakan namamu, andai mampu, ingin kuhentikan saat ini juga. “Apakah ini?? Rasa apakah ini?”

***

   Seperti ketergesaan mengartikan malam tadi, secepat pagi kembali. Pada selembar daun-daun basah. Setetes embun mula-mula terasing. Pagi dan sejuta beban di kepala, masih tentang tanya, bagaimana aku mampu melepaskan diri, melepaskan diri dari perasaan yang entah apa namanya dan rasa penasaran akan orang-orang asing yang selalu datang ke kota ini. Ya, hari ini tepat hari kamis minggu kedua di bulan ini.

Riani : "Dipa, aku mau menagih janji"

Dipa : "ya ampun sepagi ini?"

Riani : "kamu tak tahu seberapa susahnya aku menunggu waktu ini"

Dipa : "bila kamu bertanya siapa mereka sebenarnya, jangan pernah berharap itu yang sebenarnya ya"

   Kata-kata yang sangat menimbulkan tanda tanya besar, karena aku terus membujuknya, Dipa membawaku ke sebuah bukit di pinggir kota. Kita pergi mengendap-endap supaya tidak ketauan oleh orang-orang asing itu. Setibanya disana aku melihat seperti sebuah markas besar yang sedang dibangun, sebuah lahan mereka hancurkan. Pemandangan apa ini? Aku bertanya kepada Dipa apa yang mereka lakukan.

Dipa : "mereka adalah orang-orang dari Permafrost tempat dimana tanahnya berada di bawah titik beku. Mereka tak pernah menemukan kehangatan, tumbuh-tumbuhan pun tidak tumbuh disana. Kemudian mereka menjajah tempat ini, awalnya mereka berlaku brutal dengan menghancurkan apa yang mereka lihat untuk menguasai tempat ini. Mereka sangat menyukai tempat ini, tempat yang sempurna menurut mereka. Tak ada yang bisa melawan mereka, orang-orang disini seperti pasrah akan keberadaan mereka tak ada yang bisa berbuat apa-apa. Hingga suatu hari mereka membuat perjanjian dengan kami, mereka hanya akan datang sebulan sekali dan tidak akan mencelakai siapapun. Namun mereka meminta waktu untuk membangun sebuah markas jika telah selesai mereka akan menguasai tempat ini, tempat ini akan mereka hancurkan, dan mungkin Arsyn hanya akan jadi sejarah.”

“Di dalam sebuah rantai makanan pasti ada yang menempati puncak rantai. Tempat ini seperti bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak, tempat ini tak ayal adalah sebuah kemunafikan, kota yang indah namun suatu hari kau akan tahu keburukan kota ini, kelemahan warga kota ini termasuk aku.”

  

Jawaban itu sungguh membuat kecewa, kenapa Dipa tak memberitauku dari awal, kenapa dia menyembunyikannya. Kenapaa? Tanpa sepatah kata pun Aku berlari meninggalkan tempat itu dengan perasaan kacau dan gelisah haruskah pergi atau tetap tinggal menunggu kematian di Arsyn. Salah seorang dari Permafrost itu melihatku, dia mengejarku, aku terus berlari akhirnya aku bisa bersembunyi dari Permafrost itu. Dipa menemukanku dan membawaku ke tempat yang aman.

Dipa : "kau tidak apa-apa kan?"

Riani : "aku ingin pulang"

  Di apartemen Dipa kembali menjelaskan.

Riani : "kenapa tak memberitauku dari awal?"

Dipa : "hmm butuh sekian banyak nyali yang aku kumpulkan selama sebulan ini, taukah tadi malam aku tak bisa tidur, hanya memikirkan bagaimana caranya menghadapi hari ini. Selama bertahun-tahun ini aku hidup dalam kegelisahan, ketakutan, hidupku hanya dihabiskan untuk menunggu kapan tempat ini akan hancur. Tak ada akal sehat untuk membuat keadaan membaik. Namun, setelah kamu datang ke tempat ini kamu seperti membawakan sebuah kehidupan baru untukku, saat pertama kali kita bertemu di atap aku merasakan keteduhan yang ada pada dirimu, yang mampu membuatku bangkit. Hari-hariku mulai berubah, aku tak lagi mengingat kapan tempat ini akan hancur. Yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana caranya mempertahankan kamu untuk terus berada didekatku. Namun sekarang aku sadar aku tak boleh egois kamu berhak tahu atas tempat ini. Karna apapun yang terjadi aku tidak akan pindah dari tempat ini. Lebih baik sekarang kau pulang ke tempat yang aman, ke tempat asalmu Inari. Aku akan mengantarkanmu.” “Maafkan aku maafkan atas keegoisanku, aku terlalu takut untuk kehilanganmu. Terimakasih telah membuat hidupku kembali.”


   Aku hanya terdiam mendengarkan setiap kata yang Dipa ucapkan, percakapan kami tak sehangat seperti biasanya, percakapan yang dingin dan kaku. Sampai akhirnya kita memutuskan untuk pergi ke kamar masing-masing.

   Dalam petak kamar yang tidak cukup luas itu semuanya seperti dikuasai oleh pikiranku. Namun aku sadar bahwa Arsyn lebih baik dari Inari, disini aku mendapatkan kedamaian yang selama ini aku harapkan, Inari selalu memberikan kenangan akan sakitnya ditinggalkan oleh orang yang sangat aku sayangi. Ibu. Aku pun merasakan hal yang sama dengan Dipa, aku tidak mau kehilangannya, aku nyaman berada didekatnya. Apapun yang terjadi aku akan terus berada di samping dia. Jika pun aku harus mati di tempat ini itu tak apa, aku hanya berharap bisa bertemu dengan ibu di surga.

***

   Beberapa waktu telah berlalu, kegelisahanku semakin menjadi. Bom waktu yang aku takutkan akhirnya meledak juga. Saat itu kota dihancurkan oleh orang-orang permafrost, orang-orang Arsyn berusaha untuk menyelamatkan diri mereka.

   Begitupun dengan aku dan Dipa, kita menaiki sebuah bis yang membawa banyak penumpang orang-orang Arsyn. Hanya sebuah buku yang berhasil aku bawa. Semuanya tertinggal di kamar.

Dipa memegang tanganku sangat erat.

Riani : "aku takut"

Dipa : "tenanglah, aku akan selalu ada di sampingmu, apapun yang terjadi. Aku akan menjagamu" (sambil mengusap rambutku, tiba-tiba dia mencium ujung bibirku dengan lembut)

    Tak ada ketakutan yang datang, didekatnya aku merasa aman. Di balik jendela bis kulihat kota yang indah kini hancur lebur seperti kapal pecah. Kota yang akan selalu mendapatkan tempat di hati ini. Kota yang akan selalu terkenang. Aku tak tahu kita akan pergi kemana, mungkin ke Inari atau mungkin menemukan tempat yang lebih indah. Jika dengan bermandi embun luka-luka meluruh, maka biarkan pagi melingkar di hati, tanpa siang senja juga malam, hingga kubingkai pelangi. Arsyn kota yang memberiku cinta dan Sakit. Sakit yang tak bisa disalahkan apalagi diulang. Sakit karena semuanya hanya terjadi dalam waktu sekejap, yaa.. seperti pagi membangunkanku dari tidur.

Dan aku bersama Dipa tiba dikota yang lain jauh dari Arsyn apalagi Inari, aku berpikir mungkin dikota ini aku akan menemukan hari-hari baru dan kisah-kisah lain bersama Dipa, kota ini bernama Rowly.

Tamat.

Bandung, 2013

calendar
23 May 2019 13:02
view
153
wisataliterasi
Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat, Indonesia
idle liked
3 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig