PERTEMUAN tak direncanakan itu membawa kami terlibat dalam hubungan yang unik. Tarik menarik seolah tak membutuhkan, tapi kelak merindu sebab lama tak bertegur sapa.
Namun, sepertinya hanya aku yang berpikir membutuhkan kehadirannya. Ya, aku yang ternyata tersihir pada pesonanya.
“Aku tidak begitu tertarik, masih ada pilihan lain,” ucapku pertama kali saat dia belum hadir di hadapanku.
Kala itu aku berpikir, mengapa banyak orang begitu berisik berusaha memperkenalkan aku padanya. Memaksaku seolah dia begitu penting, sampai aku harus bersedia mengenal dan menyukainya.
“Kalau kalian suka, ya kalian saja yang bertemu dia,”
Sederhana bukan.
Namun, abaiku rupanya tak berlangsung lama, suasana lantas membawaku membuka hati. Sedikit demi sedikit hingga akhirnya aku bertemu dengan dia untuk kali pertama.
“Halo!” sapa dia dengan begitu riang.
Aku mengangguk untuk membalas sapaannya. Mataku sibuk menatapnya, mengamati ini dan itu yang nampak darinya. Baiklah, dia menarik.
“Dari mana? Baru pindah ke sini ya?” tanyanya.
“Iya, asli Jawa Barat,”
“Oohh, orang Sunda ya..”
Aku mengangguk lagi. “Ada yang salah?”
“Tidak, kok. Kita baru pertama ketemu ya?”
“Mmm, tidak…eh iya…di sini baru pertama kali. Kamu..asli sini ya?”
Kali ini dia yang mengangguk tanpa ragu.
“Sudah dengar apa saja soal aku?” tanya dia dengan mantap.
“Hah?”
“Kudengar kamu sudah sering dapat cerita tentang aku. Apa saja yang mereka bilang soal aku?”
“Oh, banyak. Katanya, kamu menarik, menyenangkan…”
Dia tersenyum simpul, seolah tersipu sekaligus mengiyakan apa yang kukatakan.
“Lalu menurutmu, itu benar?”
Tunggu! Aku tidak siap dengan pertanyaan itu. “Ini pertemuan pertama, mana bisa aku membenarkan begitu saja,”
Dia mengangguk pelan. “Kalau begitu, coba dekat denganku saja dulu. Suka atau tidak, itu keputusanmu selanjutnya,”
Tegas sekali dia ini. Aku terkejut betapa beraninya dia, melewatkan basa basi yang terlalu lama. Namun, saat itu aku tak menyanggah pernyataannya.
“Eh tunggu! Aku…aku terpikat padanya? Karena dia begitu lugas??” batinku.
Perasaanku tiba-tiba tidak karuan, betapa aku ingat bahwa menemuinya adalah keterpaksaan. Orang-orang itu memaksa meski aku masih saja menolak. Namun kini, tiba-tiba ada rasa penasaran dan sedikit pengakuan. Bahwa aku cukup ingin mengenalnya lebih jauh.
Perjumpaan pertama itu akhirnya membawaku pada lika liku yang tak kuduga. Ya, baiklah, aku mengaku jika dia lebih dari sekadar hebat. Dia tak berhenti menjadi menarik, karena lambat laun dia juga mampu membuatku merindukannya.
“Kapan bisa bertemu dia lagi ya?” tanyaku pada seorang kawan.
“Kamu jadi ketagihan bertemu dia. Sudah cocok ya?” canda kawanku.
“Namanya juga berproses,”
Tawa renyah kawanku seketika tidak kugubris. Orang tak akan paham bagaimana aku menaruh rasa setelah sibuk menolak pada awalnya.
Namun, akhirnya entah kenapa aku menahan diri. Sesekali tidak menjumpainya, karena sadar aku tak selalu membutuhkan dia.
Waktu pun berjalan begitu saja, aku semakin terbiasa dengan dia. Aku menikmati momen saat dia ada, tapi juga tak terlalu merindu saat sedang jauh darinya.
“Tapi dia curang! Seolah selalu ada cara agar aku kembali lagi lebih sering kepadanya. Bahkan, aku merasa ketergantungan padanya!” aku menggerutu pada diriku sendiri.
Dia membosankan tapi menenangkan. Begitulah, sepertinya aku mulai terlalu sering terlibat dengannya.
Hingga suatu hari, perlahan aku menyadari bahwa dia mulai membuatku berubah.
Aku sakit. Walau tak seberapa parah, tapi sakit itu cukup menyita waktuku. Tubuhku sakit, leherku, lambungku. Semua terasa sakit dan itu terjadi usai aku menjumpainya.
“Ini salahmu! Padahal aku datang dengan niat baik ke sini!”
“Maksud kamu apa? Kamu yang datang, kenapa aku yang disalahkan? Ini pilihan kamu!”
Deg. Aku terkejut, berani betul dia meninggikan suaranya padaku. Tapi yang dikatakannya benar.
“Lalu kenapa kamu tidak menghindar?”
“Kalau aku menghindar, kamu yang mencariku!” jawabnya tanpa banyak berpikir.
Aku dibuatnya terkejut berkali-kali. Benarkah? Sebegitu jatuh cintanya aku pada dia? Batinku menolak.
“Tapi kalau terus begini, hanya aku yang sakit,” ujarku.
Dia diam sejenak. “Lalu aku harus bagaimana?”
Pertanyaan itu lantas membuatku terdiam. Aku menyukainya, tapi tak menduga jika menyandarkan rasa padanya bisa membuatku seperti ini.
Aku masih diam.
Meminta waktu untuk berpikir meski tak kuucapkan. Dan dia sepertinya tetap mau menunggu jawabanku.
Lalu aku berkata, “Biarkan kita berjarak dulu sejenak,”
“Kamu yakin?”
Anggukkan kepalaku mengiyakan.
“Kamu akan merindukanku, percayalah..” ucapnya.
Kemudian, perbincangan hari itu berakhir. Aku memutuskan menjauh darinya, benar-benar menjauh dari tempat dia berada. Membuat kata ‘sejenak’ yang kuucapkan menjadi ‘selamanya’.
“Biar jarak yang memutuskan, akan seperti apa ketika aku jauh darinya,”
Kini, ribuan kilometer aku dan dia berjarak. Tak ada kabar apapun darinya, kurasa dia baik-baik saja. Sebab dia hidup bersama banyak orang yang menyukainya, seperti apapun dia.
Dan, ya, sepertinya ada sedikit rindu yang kadang-kadang meluap padanya. Seribu satu hal tentang dia yang dulu bisa kujumpai kapanpun, dimana saja, karena kami berdampingan tanpa jarak kala itu.
Aku melamun saat pikiranku tentangnya berlarian. Di antara keramaian, perhatianku tercuri pada sebuah tempat yang mirip dengan huniannya.
Tempat dimana biasanya bisa kutemui dia dahulu.
Tep. Tanpa berpikir panjang, aku melangkahkan kaki ke arah tempat itu. Memandanginya sejenak untuk sekadar memanggil ingatan tentang dia.
Lalu aku melangkah masuk, berpikir bisa menemukan dia di dalamnya. Walaupun aku tahu, semua akan berbeda sekalipun ada yang serupa dengannya.
“Iya, aku rindu dia,”
***
Inspirasi menulis: santan dan olahan makanan bersantan. Selama tinggal di Sumatera Barat, aku terlibat kisah tarik ulur dengan santan. Kadang ingin, tapi karena terlalu sering akhirnya leher kencang haha. Sesekali berhenti makan santan, tapi akhirnya rindu.
KBBI: Semantan; turunan kata Santan
se·man·tan a sudah cukup tua, banyak santannya (tt nyiur): nyiur --