Ramalan Bisu
Cerpen
Kutipan Cerpen Ramalan Bisu
Karya pikadita
Baca selengkapnya di Penakota.id


“Jadi apa yang kamu lihat tadi?” tanya Andaru. Aku baru saja mengendap-endap dari kamar ayahnya yang sedang bersama seorang wanita. Anak laki-laki itu duduk bersila di tepian tempat tidur berbentuk mobil balap sambil mendekap buku harian. Kudekatkan mulut ke telinganya lalu berbisik, “Aku enggak lihat. Aku cuma dengar.”

~

“Jadi apa yang kamu dengar, Kino?” Andaru semakin penasaran menuntut sebuah jawaban. Ia meletakkan buku tadi di sebelahnya.

Aku berpikir sebentar dan tidak langsung menjawab pertanyaan Andaru. Ia masih dengan sabar menunggu jawaban dariku. Lagi pula aku ragu akan menceritakan apa yang kudengar barusan kepada anak berumur enam tahun. Kuputuskan untuk mundur beberapa langkah. Suara langkah kakiku mengertak-ngertak kuat di lantai. Betapapun kucoba untuk tak terdengar, kakiku justru mirip seperti suara hak sepatu wanita yang sedang bersama ayahnya itu.

~

“Aku nggak bisa cerita sekarang,” kataku pada akhirnya.

Kini giliran Andaru yang berjingkat mendekatiku. Alis tebalnya hampir menyatu akibat kerutan di dahinya. “Kenapa, Kino?” Andaru mendesakku, setengah merengek. Anak itu mengguncang-guncang tubuhku yang sebenarnya agak ringkih. Ayahnya sudah semakin jarang mengencangkan baut di persendianku. Padahal lelaki itu selalu rutin merawatku sebelumnya. Kini baut longgar di lututku sudah mulai berkarat. Barangkali tinggal tunggu waktu untuk terserak. Tapi sepertinya tidak apa-apa juga kalau itu harus terjadi. Aku, kan, hanya sebuah boneka kayu tua mirip Pinokio. Hanya saja hidungku tidak bertambah panjang jika aku berbohong.

~

“Cepat katakan, Kino!” Andaru mulai tak terkendali. Anak itu mendorong tubuhku hingga terjungkal. Aku meringis kesakitan. Sementara itu Andaru bergeming sambil menyaksikan aku yang susah payah bangkit dari lantai. Sesaat setelah aku berhasil berdiri dengan seimbang, kutatap wajah anak itu lekat-lekat. Aku berusaha menyelami perasaannya. Baru tadi siang ibunya berangkat ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Kini ayahnya yang pengangguran pulang ke rumah dengan wanita lain. Kedua bola mata Andaru mulai basah. “Apa ibu dan ayah akan berpisah, Kino? Terus aku punya ibu baru yang jahat?”

~

"Anak laki-laki tidak boleh menangis," kataku.

~

Tangan kayuku berusaha menyentuh pipinya yang sudah terlanjur basah, sayangnya kalah cepat. Andaru mengusap air matanya sendiri hingga kering. Walau masih terdengar sesak tercekat di tenggorokannya, ia berusaha bernapas dengan normal lagi.

Aku merasa iba ketika mengingat sebuah potongan episode yang melintas di kepalaku. Sebuah ramalan untuk Andaru. Ya, aku bisa meramal. Tetapi hanya terbatas dua. Satu ramalan yang sangat dekat waktunya. Satu lagi akan kukatakan pada Andaru nanti, di ulang tahun Andaru yang ke-25 sebagai hadiah. 

"Apa perempuan itu akan tinggal di sini?"

Aku menggelengkan kepala. Bukan berarti tidak, maksudnya aku tidak tahu persis. Tetapi ayahnya tampak menyukai wanita itu. Bisa jadi jawabannya iya. 

"Aku mau tanya langsung," seru Andaru sembari membuka pintu kamarnya dengan kasar. Ia berlari dan aku terpaksa mengekor di belakang. Beberapa kali aku berusaha mencegahnya, namun sulit. Lariku tidak sekencang dulu. Tubuhku terasa semakin kaku.

Andaru berhenti di ambang pintu kamar orang tuanya dan menggendongku agar tidak terlihat mencurigakan. Dari dalam kamar terdengar suara desahan panjang wanita itu. Beruntung Andaru tuli, jadi ia tak perlu mendengarnya.

~

Namun,

~

Andaru masih punya mata. Pintu kamarnya tidak dikunci. Bahkan terbuka sedikit. Andaru mendorong pintu itu dan mendapati ayahnya sedang bercinta di atas sofa kesayangan ibunya. Andaru terdiam, anak itu berusaha mencerna sekaligus merekam apa yang sedang terjadi di hadapannya.

“Kamu sedang apa?!” Ayahnya setengah berteriak sambil tergopoh menarik apa saja untuk menutupi tubuhnya. 

Pintu ruang tamu berderit. Aku benar-benar tidak menyangka siapa orang yang berada di baliknya. Ibunda Andaru. Wanita itu tampak lelah dan ingin lekas mencurahkan apa yang baru saja terjadi dengan penerbangannya. Wanita itu batal berangkat lalu pulang dan mendapati suaminya sedang bersama wanita lain. Di sofa kesayangannya. Wanita itu histeris, terutama ketika melihat anak laki-lakinya juga sedang berada di situ. Andaru tak dengar jeritan ibunya. Anak itu hanya bisa mendengar suaraku. Suara lain ia tidak dengar. Dan aku pun hanya bisa bicara padanya. Tidak pada orang lain kecuali pada orang yang percaya.

“Ayo, Andaru!” Sang ibu menyeret Andaru keluar dari kamar itu. Kemudian membawa Andaru ke dalam kamarnya. Ayahnya menggedor-gedor pintu sambil mengucapkan kata maaf yang sudah kadaluarsa.

~

“Malam ini ibu tidur di sini, ya?” ucap sang ibu dengan bahasa isyarat. Andaru mengangguk. Lalu ia bertanya dalam bahasa isyarat kepada ibunya, “Ibu tidak apa-apa? Jangan menangis.” Wanita itu mengangguk sambil tersenyum. Setelah itu memeluk Andaru dengan erat hingga terlelap.

~

Dalam.

~

Sangat dalam.

~

Hingga ketika Andaru terbangun, ia tak lagi bisa merasakan pelukan ibunya. Hatinya tiba-tiba hancur. Rasa sesak yang sejak malam tadi ia rasakan kini akan meledak. Sang ibu sudah tiada. Andaru mencari buku diarynya. Di situ ia tulis, aku melihat seutas tali menggantung dengan tubuh dingin ibuku.

Persis seperti ramalanku. Ramalan kematian.


12 Aug 2019 15:28
210
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: