Gado-gado Mbok Nah
Cerpen
Kutipan Cerpen Gado-gado Mbok Nah
Karya pikadita
Baca selengkapnya di Penakota.id

"Cah Ayu, Simbok bisa minta tolong sebentar?" 


Ningsih buru-buru menghampiri Simbok yang tengah menata dagangannya, gado-gado terenak di Bantul. Ya, gado-gado terenak, itu klaim dari Ningsih. Jika penasaran, silahkan coba sendiri. Ditambah lagi ada Ningsih. Kembang desa tercantik se-Yogyakarta, kalau yang ini klaim dari Simbok. Masih tidak percaya? Silahkan datang sendiri.


"Ya, Mbok. Ada apa?" tanya Ningsih yang datang dengan terhuyung lantaran ia baru saja selesai membereskan dapur. Pagi itu, udara lebih segar dari biasanya, burung berkicau lebih meriah, dan Ningsih pun lebih semangat dari biasanya.


"Kamu kok seneng banget?"


"Hah? Seneng gimana, Mbok? Ningsih, kan, cuma senyum ke Simbok kayak biasa."


"Ya Simbok tu ngeliatnya kamu sumringah banget gitu."


Ningsih memutar kedua bola matanya. Mencari kebenaran tentang dirinya yang terlampau ceria seperti kata Simbok.


"Ah, sudahlah. Ndak usah dipikirin. Ini Simbok mau minta tolong sebentar. Simbok ada perlu sebentar di pasar. Kamu jaga gado-gado sendirian ndak apa-apa, kan?"  


Ningsih melengkungkan senyuman dan langsung meng-iya-kan. Simbok pun buru-buru pergi ke pasar menyelesaikan urusannya. 


Seekor lalat mengusik ketenangan Ningsih. Lalat itu terbang ke sana ke mari. Hingga ia hinggap di penggilingan kacang. Dengan cekatan Ningsih mengibaskan seikat tali rapia yang dirancang sedemikan rupa untuk mengusir lalat.


Hap.


Kena!


Ningsih mengambil lalat mati itu dan mengomelinya. "Dasar lalat kurang ajar. Beraninya mampir ke meja kerja Mbok Nah. Kamu nggak tahu kalau gado-gado Mbok Nah itu gado-gado paling enak sedunia?" Klaim terbaru, terenak sedunia.


"Saya tahu, kok."


"Eh?" Ningsih terperanjat. Seorang laki-laki sudah berdiri tegak di balik etalase. Kejadian itu refleks membuatnya melemparkan lalat mati di tangannya. Ningsih mengalihkan pandangan pada orang yang tiba-tiba menjawab pertanyaan bodohnya kepada lalat. "Maaf?!"


"Iya, saya tahu kalau gado-gado Mbok Nah ini adalah gado-gado terenak sedunia. Memang saya belum pernah coba …."


Ningsih mengerutkan dahi.


"--tapi hari ini saya akan coba. Seorang teman merekomendasikan gado-gado Mbok Nah di blog pribadinya," urai pemuda tampan itu.


"Oh …." Ningsih melongo. Entah karena tidak mengerti kata-kata pria itu atau justru karena terpesona dengan pembelinya itu, maka ada beberapa kabel di otaknya yang malah tak berfungsi dengan baik.


"Ngomong-ngomong, Mbok Nah-nya ke mana?" tanya pemuda itu.


"Mbok Nah lagi ada urusan sebentar," jawab Ningsih terbata-bata.


"Kamu bisa buatkan untuk saya?"


Ningsih mengangguk cepat.


"Bisa seenak buatan Mbok Nah?"


Diam sejenak, Ningsih tidak yakin untuk yang satu ini. Gado-gado buatan Mbok Nah tentu yang terenak. Buatan Ningsih bisa jadi biasa saja.



"Ah jangan dipikirkan, buatkan saya lima bungkus, ya. Pedas sedang."


"Lima?" ulang Ningsih sambil mengangkat kelima jari kanannya. "Atau mau nunggu Mbok Nah datang?"


Sang pemuda menggeleng. "Enggak Mbak. Saya percaya sama Mbak."


"Oh ya, sebentar saya buatkan, ya."


"Ngomong-ngomong, gak usah buru-buru, ya Mbak. Ini saya tinggal dulu. Setengah jam lagi saya ambil. Buat yang enak, ya." Pemuda itu lekas meninggalkannya dengan sepeda motor. Ningsih mengamati pemuda itu hingga menghilang di persimpangan jalan. 


Ningsih mendengus. Sepertinya, ia mendapatkan jawaban pertanyaan Mbok Nah tentang mengapa Ningsih bahagia sekali hari ini. Mungkin itu pertanda kalau Ningsih akan bertemu dengan seorang pria baik bak pangeran yang ia idam-idamkan sejak lama. Ya, pasti itu jawabannya.


Ningsih langsung meracik bumbu kacang sesuai yang diajarkan Mbok Nah, dengan teliti tanpa tertinggal satu langkah pun. Belum pernah Ningsih sesemangat itu membuat gado-gado. 


Kelima bungkus gado-gado sudah terbungkus rapi. Bahkan bagian membungkus ini jadi kegiatan yang sangat menyenangkan. Sudah hampir setengah jam sekarang. Ningsih tiba-tiba jadi gelisah. Ia sudah tak sabar menunggu pemuda tampan itu datang.


"Ah, aku ke-ge-er-an," pikir Ningsih sambil menggeleng-gelengkan kepala, berharap perasaan berbunga-bunganya itu berjatuhan ketika ia menggeleng.


Beberapa saat kemudian ia kembali senyum-senyum sendiri.


"Ah, gila. Baru ketemu tadi kok aku bisa mesam-mesem gini?" gumam Ningsih.


Plak.


Sebuah tepukan keras mendarat di pundak Ningsih. Gadis itu gelagapan.


 "Opo tho, Nduk. Simbok liat kamu dari jauh senyam-senyum sendiri. Tapi kamu sama sekali nggak liat Simbok?"


"Simbok ini lho, ngagetin."


Simbok tersenyum sambil berkata, "ada apa? Kamu lagi jatuh cinta, ya?"


"Enggak, Mbok."


"Iya juga nggak apa-apa."


Pipi Ningsih memerah. Ia tak sanggup menyanggah. Semakin ia bilang tidak, semakin merah pula pipinya. 


"Ini ada yang pesan?" tanya Simbok sambil menunjuk lima bungkus gado-gado.


"Iya, Mbok. Tadi ada yang pesan. Tapi katanya ditinggal dulu."


"Oh, yo wis. Sekarang biar gantian Simbok lagi yang jaga," usul Simbok sambil duduk di kursi kayunya.


"Nggak apa-apa, Mbok. Aku temenin, ya."


Simbok menatap Ningsih sepersekian detik, curiga. Kemudian ia pun berkata, "ya sudah kalau maumu begitu. Simbok jadi ada temannya."


Satu jam kemudian …


Laki-laki itu belum juga datang.


Dua jam …


Tiga jam …


Empat jam …


"Mbok, ini bau nggak ya gado-gadonya?"


"Mudah-mudahan belum, ya Cah Ayu …."


Lima jam …


"Kurang ajar! Dia nggak datang, Mbok. Kayaknya aku dikerjai." Ningsih murka. Ia merasa dibodohi dengan wajah tampan pemuda itu. "Harusnya nggak secepat itu aku jatuh hati sama orang baru."


"Jatuh hati?" tanya Mbok Nah yang mendengar.


"Ehm, bukan apa-apa, Mbok. Aku cuma kesal dengan orang yang pesan gado-gado ini. Seenaknya dia ngerjain kita. Kusumpahin dia nggak bisa jalan!"


"Hush. Kamu nggak boleh gitu, Sih. Sudah diikhlaskan saja. Sini bawa kemari gado-gadonya." Ningsih lekas membawa gado-gado buatannya itu. Setelah itu, Mbok Nah membuka salah satunya dan mengambil sendok. Ia menyuap gado-gado itu ke mulut. "Enak, Nduk. Gado-gado ini lebih enak dari buatanku. Memang agak anyep karena kelamaan dibungkus. Tapi ini beneran enak, Nduk. Simbok suka."


"Beneran, Mbok?"


"Iya. Rugi yang pesan nggak sempat nyicip."


***


3 bulan kemudian.


Seekor lalat mengusik Ningsih yang sedang menunggu pelanggan. Lalat-lalat ini selalu berdatangan meski temannya sudah dihabisi semalam. Sayang lalat tidak menghasilkan uang.


"Rasakno!!!" seru Ningsih setelah berhasil menghabisi satu lalat lagi. "Dasar lalat kurang ajar. Kamu nggak tahu kalau gado-gado Mbok Nah itu gado-gado paling enak sedunia?!"


"Iya aku tahu."


Ningsih langsung mencari asal suara, rupanya pemuda yang dulu memesan lima bungkus gado-gado dan tak pernah datang. Kini ia datang lagi, dengan sebuah kursi roda. Ia diantar oleh--mungkin--supirnya.


"Hai, maaf, ya. Jadi berapa banyak utangku?"


Ningsih terdiam. Bukan karena mengira total utangnya, tetapi lebih karena penasaran dengan apa yang terjadi dengan pria itu.


"Waktu itu, aku janji akan mengambil pesananku dalam tiga puluh menit. Tapi aku malah datang dalam tiga bulan. Maafkan aku, ya," jelas sang pemuda.


"K … kenapa?"


"Oh ini? Jadi waktu itu, aku mengalami kecelakaan saat akan mengambil pesananku. Kemudian aku tak sadarkan diri. Begitu aku sadar, aku sudah di rumah sakit. Lalu, begini lah sekarang. Aku nggak bisa jalan lagi."


Kini Ningsih benar-benar diam, tak mampu mengucapkan satu kata pun.


"Jadi berapa utangku?"





22 Sep 2019 22:02
247
Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: