Bis Terakhir Menuju Ibu Kota
Kutipan Cerpen Bis Terakhir Menuju Ibu Kota
Karya pulangpulangpagi
Baca selengkapnya di Penakota.id

Sekitaran tahun 1990an akhir, Tima merantau dari kampung ke ibu kota. Berbekal sekadar niat, tanpa kemampuan dan pengalaman kerja, tanpa sanak saudara yang menetap disana, ia berangkat. Ia menaiki bis terakhir. Bis malam, menuju ibu kota.


Bis melaju amat cepat memaksa pengendara sepeda motor berteriak keras seperti menggerutu ketika masuk ke dalam telinga supir bis. Daun-daun kering terhempas melayang-layang seperti kapal kecil yang terombang-ambing di lautan lepas. Batu-batu kerikil menjadi abu terlindas ban mobil-mobil besar yang berlalu-lalang mengantar bahan panganan menuju ibu kota.


Keringat mengucur, membasahi pakaian Tima. Cuaca saat itu begitu panas. Semua orang terlihat seperti mau menerkamnya ketika ia menatap wajah-wajah yang berjejeran diantara bangku penumpang. Semakin panas tanpa pendingin kendaraan. Begitu pegap. Dan bisa melaju amat cepat memaksa pengendara sepeda motor berteriak keras seperti menggerutu ketika masuk ke dalam telinga supir bis. “Bangsat! panas sekali hari ini,” Tima mengumpat sekeras-kerasnya dalam hati.


Bis tiba di pemberhentian pertama. Waktunya istirahat. Semua penumpang berebut rebut menuju pintu keluar kecuali Tima. Ia diam dibawa pikirannya yang jauh melayang.


Pikirannya melayang pada dua malam lalu ketika Tim Alfredo berpamitan padanya untuk pergi ke ibu kota mengadu nasib. Air seketika mengalir deras mengikuti lekuk tubuh Tima. Tim tidak pernah mengabarkan padanya hendak kemana ia akan pergi. Ia dapat kerjaan menjadi supir lalu ia pamit, lesap dalam gelap malam melewati rerimbunan pohon ketika anjing menyalak-nyalak. Tiga hari detik jam begitu lambat bergerak. Membuatnya malas bergerak, alih-alih ia hanya diam menatap langit-langit bis yang begitu panas dan gerah.


Televisi yang menggantung di bagian depan, disamping supir bis, masih menyala. Volume suaranya begitu tinggi hingga para pedagang rokok keliling bisa mendengar siaran televisi yang sedang berlangsung. Televisi mengabarkan kerusuhan yang terjadi di perbatasan ibu kota dengan Bekasi. Ada aksi massa yang menghadang dan massa mengganas ketika presiden kala itu masih enggan turun tahta dikala harga-harga bahan pokok melambung tinggi. Dikabarkan pula salah satu bis menabrak rumah warga ketika menghindari kerumunan massa yang sedang ribut berorasi dengan penuh emosi meluap-luap. Bis itu tidak selamat. Bis itu terbakar habis.


Ia menyeka liurnya yang menggantung di bibir kiri. Liur itu bertalian seperti stalaktit yang hendak jatuh berceceran. Matanya sayu belum bisa terbuka sepenuhnya. Ia berusaha untuk mengedipkan mata tujuh kali dan akhirnya ia terbangun. “Dimana aku ini?” bertanya dalam diam. Ia menatap sekali lagi, dengan amat lekat, sekelilingnya hanya pepohonan lebat. Bahkan bis itu tidak ada, hanya tersisa satu kursi penumpang, kursi yang ia duduki. Bukan kursinya, ia duduk di kursi supir. Dan ia merasakan panas yang teramat sangat menempeli tubuhnya.


Bingung dan pusing hinggap di kepalanya. Ia baru menyadari dan merasakan pusing yang teramat, kepalanya terasa begitu kaku seperti tidak bisa digerakkan. Lalu tubuhnya pun ikut-ikutan seperti itu. dan yang terakhir tangganya. Kaku seperti batu. Lalu setelah itu masing-masing bagian tubuhnya saling pisah membentuk batu kecil, lalu menjadi kerikirl, lalu menjadi abu.


Sekarang hanya tinggal mata dan mulutnya yang bisa diggerakan, sekujur tubuhnya menjadi abu. Begitu padat dan tercerai-berai. “Ya, Tuhan, apa yang terjadi dengan diriku,” ia berteriak begitu kencang. Akan tetapi karena tubuhnya mengecil tercerai berai menjadi abu, suaranya seperti mainan hadiah McD yang telah rusak. Mainan yang amat digemari anak-anak di kota ketika mampir untuk makan burger atau sekadar menikmati es krim vanillanya. Tidak jelas terdengar. Bahkan, semut pun tidak bisa mendengar suara teriakkannya.  


Tidak lama setelah itu ia sadari bahwa ia berada di dalam wadah berbahan plastik bening. Mungkin jika diamati kotak itu seperti stoples plastik Tupperware berlisensi Amerika yang amat disukai ibu-ibu perkotaan untuk menaruh biskuit atau gula-gula. Ia hanya bisa menangis. Ia tidak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya.


Lagit berubah menjadi gelap, mau turun hujan lebat. Burung-burung terbang cepat melintasi langit mencari tempat terbaik untuk berteduh. Lampu-lampu jalan telah bangun dari tidurnya. Pun lampu di baliho jalan yang bertuliskan Hati-Hati di Jalan Keluarga Anda Menunggu di Rumah yang disudut kirinya bertanda tahun 2000.


Sementara itu bis melaju amat cepat memaksa pengendara sepeda motor berteriak keras seperti menggerutu ketika masuk ke dalam telinga supir bis. Dari kejauhan pengendara motor telah berhati-hati menghindari bis melaju amat cepat seperti takut tertinggal antrian minyak murah. Ia hendak melaporkan kelakuan salah satu supir bis kenamaan ini pada perusahaanya. Ia pasang mata dan fokus mengamati emblem supir. Ketika melintas ia melihat emblem nama di seragam supir bis itu samar-samar karena begitu cepat, tapi ia yakin nama yang tertulis ialah Tim Alfredo yang tangan kirinya sedang memegangi kotak seperti stoples bening di dadanya. Tepat lima menit kemudian terdengar suara yang begitu kencang membuat kaget si Pengendara Motor. Ia membalikkan tubuhnya dan kobaran api telah menyala-nyala melahap bis. Tidak berhenti disitu api juga melahap rumah warga yang runtuh Sebagian menjadi puing-puing.

Yogyakarta, April 2022


02 Apr 2022 10:14
88
Yogyakarta, Indonesia
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: