Aku pulang. Ya, aku pulang. Setelah dua belas tahun mengembara. Mengembara tanpa sebaris pun berkirim kabar. Mengembara ke kota-kota yang jauh. Kota-kota yang beraneka ragam. Ada Kota Pendapat. Kota Tidur. Dan Kota Hantu. Aku pulang. Ya, aku pulang. Pulang ke kampungku. Ke mamak. Ke bapak. Ke adikku. Juga, mungkin jika masih menungguku, ke Rita. Lengkapnya Rita Prihatiningsih. Kekasihku.
Terakhir bertemu dia masih nampak begitu cantik. Sore itu di pinggir sungai, kami menghabiskan waktu. Aku sengaja mengajaknya bertemu, untuk melepas rindu, sekaligus memintanya untuk menungguku. Menurutmu apa jawabnya? Tentu saja dia marah, dia menangis sejadi-jadinya, ia memukulku tak karuan. Sementara aku hanya diam. Apa yang bisa kulakukan? Tak ada. Aku tak berdaya.
"Ini semua demi kebaikanku, juga kebaikanmu tentunya," ujarku lirih.
Ia tak merespon, ia masih saja sibuk dengan tangisnya yang kian menjadi. Dan aku mulai panik, bagaimana jika ada yang mendengar dan mengira yang tidak-tidak.
"Kau gila mas, kau memang sudah gila!," perkataannya mengagetkanku.
Seperti ada ruh lain yang merasuki jiwanya, ia benar-benar tak seperti biasa. Semua amarahnya ia keluarkan. Seolah-olah itu semua telah terpendam sejak puluhan tahun, dan jiwanya tak mampu lagi menahannya. Maka, di sore hari tepat akhir bulan Agustus itu, ia luapkan semuanya kepadaku. Ya, kepadaku. Seorang lelaki yang ia sebut sebagai kekasih sejak 2 tahun belakangan.
"Ruh apa sebenarnya yang merasuki jiwamu?," Sial, ia berkata seolah baru saja mendengar apa yang kukatakan dalam hati.
"Apa susahnya kau cokli? Mengapa kau harus perkosa ayam tetangga dan kerbau si Pak Tua? Tak sekalian saja kau sodomi juga buaya di sungai ini, ha?" Rita meledak-ledak.
Alangkah menyesalnya aku kencing di bawah pohon keramat itu. Gara-gara Basuki memintaku untuk mengantarnya ke dukun gendeng di kampung sebelah. Aku yang tak tahan dalam perjalanan karena kantung kemihku yang penuh, harus kencing di bawah pohon. Kampung ini memang sangat kampung! Antar rumah saja berjarak kiloan meter.
Siapa yang menyangka seminggu setelah aku kencing di bawah pohon itu. Aku jadi birahi, untung saja bukan Rita kekasihku yang jadi korban. Tapi malangnya, belasan ayam tetangga harus mati dengan usus keluar dari duburnya, dan kerbau si Pak Tua jadi pelampiasan nafsuku.
Mamak dan bapak pernah mendatangkan orang pintar untuk mengobatiku. Tapi tak ada hasil. Mereka berkata, aku terkena hasil balas dendam arwah gentayangan yang dulu semasa hidupnya pernah dikhianati kekasihnya yang selingkuh terang-terangan. Astaga, drama macam apa ini? Batinku kala itu. Lagian, aku kan bukan kekasih si arwah itu. Lalu mengapa aku yang kena getahnya?
Aku seperti bukan aku. Di pagi hari sebangun tidur, yang kucari bukanlah kopi atau tahu isi. Tapi aku langsung lari ke kandang ayam tetangga yang tak jauh dari rumah. Demi mencolok buritnya yang mungil itu dengan senjataku yang sudah tegang dan berdiri.
Seketika saja aku langsung digebuki warga kampung yang melihatku. Sebulan berlalu, aku masih saja gila. Bikin malu keluarga saja. Karena sudah tak kuat lagi terus-terusan jadi bulan-bulanan warga yang ingin aku pergi dan menahan birahi yang tak terkendali, aku memutuskan untuk pergi dari kampung halamanku. Kampung yang sangat kucintai.
Sambil setengah gila setengah waras, aku pamit pulang. Rita yang masih saja menarik dan memukuli lenganku, kutinggal pergi. Aku sudah tidak kuat lagi menahan malu karena kemaluanku. Walaupun, aku tak menjamin dengan pergi dari kampung, kelakuan tak beradabku akan sembuh. Yang kupikirkan malah, ayam siapa lagi yang akan jadi korban.
Malam pertama di kota, aku sungguh gelisah. Tak kuat rasanya menahan birahi. Tapi sialnya tak ada ayam berkeliaran. Apalagi kerbau, atau sapi.
Semenjak ke kota ini, aku berjualan koran di lampu merah. Dan kau tau, tidak ada kerbau yang bisa kusodomi di lampu merah. Tiap malam aku tak bisa tidur, hanya guling sana guling sini tak karuan. Rasanya ingin bunuh diri saja, daripada harus seperti manusia yang kerasukan setan mesum.
Sampai suatu ketika, aku ikut teman jalananku ke pinggiran kota. Tepatnya ke rumah keluarganya ia tinggal. Di tengah jalan, saat bus yang kami tumpangi berhenti di tempat peristirahatan, aku kebelet kencing. Sebenarnya ada toilet umum disediakan di sana. Tapi dasar aku yang udik. Kencing di bawah pohon ada kenikmatan tersendiri. Hanya pohon kecil, tak mungkin ada arwah gentayangan yang ingin balas dendam, pikirku.
Dan hari berganti bulan. Baru kusadari di bulan kedua setelah pulang dari rumah temanku. Kebiasaan pagiku hilang. Aku tak birahi lagi. Tak ada hewan-hewan yang jadi korban. Tanganku pun bersih dan tak perlu letih mengocok. Sungguh aneh memang. Tapi itulah kenyataannya.
Aku merasa sudah sembuh. Sembuh dari penyakit aneh yang membuat warga sekampung mengucilkanku, dan mengusirku dari kampung.
Karena aku sudah merasa percaya diri dengan jiwaku yang sudah waras kembali. Aku pulang. Pulang ke kampung yang kucintai. Setelah dua belas tahun berlalu tanpa mengabari keluarga.
Ternyata banyak yang berubah, jalanan batu kini jadi aspal, rumah pak kades makin gedongan, rumah yang lain berubah bentuk dan warna cat.
"Semoga saja mamak dan bapak masih ingat aku," Doaku sepanjang jalan.
Setelah turun dari bus, aku harus naik ojek untuk masuk ke jalan menuju rumahku. Untung saja aku masih ingat jalannya. Di pangkalan ojek, aku lihat bang Kasim yang sudah semakin tua saja. Kepalanya penuh dengan rambut putih, banyak kerutan di wajahnya, tapi badannya masih tampak bugar dan sehat.
"Alamak! Kau si Burhan yang mencolok burit ayamku kan?" Teriaknya dari jauh.
Ternyata uban dan keriputnya tidak menjadikannya pikun. Masih ada saja aku dalam ingatannya.
Karena suaranya yang lantang, tukang ojek lain pun mendengar, dan sontak aku jadi pusat perhatian. Semua mata tertuju padaku. Seperti hendak ditembak mati, aku mendadak keringat dingin, tapi rasanya juga ingin teriak dan mengatakan bahwa aku tak lagi kerasukan setan mesum.
Sambil berjalan menghampiri bang Kasim, aku tersenyum, lalu tertawa seraya menyodorkan tanganku yang kini nampak keling saja.
"Apa kabar bang Kasim? Ternyata abang masih ingat saja denganku"
"Bagaimana aku bisa lupa dengan anak muda yang telah membunuh belasan ayamku dengan bringas, ha?"
"Maafkan aku ya bang, waktu itu aku tak waras. Tapi setelah berkelana kesana kemari dan mendapat keajaiban, tak ada lagi hewan yang harus mati konyol karena kemaluanku,"
Ternyata selama aku tak ada di kampung ini, aku masih saja jadi bahan perbincangan warga. Sampai teman-teman sepermainanku punya anak, dan mereka ceritakan tentang kisahku yang sungguh memalukan itu pada anak mereka.
Bang Kasim mengantarku ke rumah. Butuh sekitar tiga kilometer untuk tiba di rumah. Sepanjang jalan, bang Kasim banyak bercerita tentang kampung yang katanya kehilangan sosok anak muda birahi. Seketika mukaku memerah malu. Tapi, rasa rindu akan kampung halaman mengikis rasa malu yang ada.
"Mamak dan bapak pasti rindu dengan kau," ujar bang Kasim.
"Aku datang untuk menghapus kerinduan mereka, bang,"
"Oya, kekasihmu sudah jadi istri orang kaya, beranak dua, laki-laki dan perempuan. Yang perempuan cantik seperti dia," Sambung bang Kasim.
Deg. Aku terdiam. Aku telah mendapat jawaban dari pertanyaan yang belum kuajukan.
"Suaminya punya ladang luas di kampung seberang. Aku tak yakin dia masih ingat denganmu, Burhan. Mereka nampak hidup bahagia," Lanjut bang Kasim. Ia cerita panjang lebar tentang Rita seperti lupa bahwa ia sedang berbicara dengan kekasih Rita yang selama dua belas tahun masih memelihara rasa cinta untuknya.
Sialan, si orang tua ini. Batinku. Ingin marah rasanya, namun kenyataan itu memang harus kuketahui secepat mungkin.
Akhirnya aku tiba di rumah. Bapak si pekerja keras berhasil memperindah rumah. Cat warna hijau muda nampak serasi untuk rumah yang hanya berisikan mereka berdua dan adik perempuanku.
Seperti dugaanku, mamak pasti menangis saat melihatku. Ia memelukku dengan erat. Mencium pipi kanan dan kiriku, tak lupa keningku juga. Seperti tak peduli kalau anak lelakinya ini sudah berumur kepala empat.
Sementara bapak, si laki-laki yang tak bisa mengungkapkan perasaannya, nampak lebih tegar. Aku mencium tangannya, ia menyambutku dengan mengelus pundakku. Aku tahu hatinya perih, air matanya menunggu untuk tumpah. Tapi ia adalah laki-laki yang paling mahir menutupi perasaan.
Aku masuk ke dalam rumah, melampiaskan kerinduan sembari menepis Rita dari ingatan.