HARTA, TAHTA, KELUARGA
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dramatic Personae
Sinopsis
Hartosuryo, seorang kepala desa Ledha-Ledhe mati lima tahun yang lalu, tetapi dalam ingatan Ibu Nesia yang terkena Alzheimer, Hartosuryo seperti baru mati kemarin, konflik terjadi ketika anak-anaknya mengalami luka yang diciptakan oleh Hartosuryo semasa ia hidup, Lantas mereka (Fajar, Polly, Fahri) berniat untuk membunuh Ibu Nesia agar mendapati warisan dari kekayaan Hartosuryo karena surat wasiat yang menyebutkan bahwa seluruh harta Hartosuryo jatuh ke tangan Ibu Nesia, tetapi Ningrum menolak dan ingin memberitahu Ibunya tentang rencana pembunuhan ini. Berhasilkah mereka semua membunuh Ibu Nesia? Dan mendapatkan warisan yang mereka idam-idamkan itu?
Tata Panggung
Pementasan berbentuk panggung proscenium, di atas panggung terdapat ruang utama permainana lakon ini yaitu ruang keluarga yang terdapat tiga sofa, satu meja, dengan segala ornamen ruang keluarga, seperti lukisan, vas bunga, patung kepala macan yang digantung di dinding dan satu buah foto Hartosuryo berbingkas emas yang besarnya paling menonjol di antara ornamen lainnya, karena nanti foto Hartosuryo yang besar itu akan mempengaruhi jalannya lakon ini, sisanya terdapat 2 pintu yang satu pintu di dalamnya terdapat ruang imajiner, seperti dapur, kamar, dll. Dan satu pintu lagi menuju ke luar rumah.
Konsep Pementasan
Konsep pementasan ini bergaya realis dengan segala lakuan dan acuan aktor juga setting, lampu, musik dan make up costume sesuai dengan pakem realis, tidak berlebih-lebih. Sehingga dapat menimbulkan motivasi dalam lakuan aktor untuk tampil di atas panggung. Pementasan ini bisa berlangsung selama 60-90 menit, tergantung dengan kesesuaian artistik.
Di samping itu, naskah ini mengangkat psikologis para tokoh yang memendam segala luka dan diluapkan terhadap rencana pembunuhan juga pembunuhan yang sesungguhnya, sehingga bisa dikaji melalui perkembangan psikologi dengan membaca catatan Sigmun Freud tentang psikoanalisis, atau studinya terhadap kegilaan, sebagai tambahan lakuan aktor.
PANGGUNG MASIH KOSONG PERLAHAN CAHAYA MASUK. FADE IN. MUSIK SEDIH PEMAKAMAN JUGA TERDENGAR LIRIH. KETIKA CAHAYA DAN MUSIK SELESAI MENGENALKAN PANGGUNG DAN MEMBAWA SUASANA SEDIH DI AWAL, TAMPAK DI PANGGUNG IBU NESIA MEMANDANGAN FOTO HARTOSUYRO YANG BESAR ITU, IBU NESIA MASIH MENGGUNAKAN PAKAIAN YANG SERBA HITAM TANDA IA MASIH BERDUKA.
WAKTU MENUNJUKAN PUKUL 5 SORE DAN KEHENINGAN TERASA DI SELURUH PANGGUNG TAK LAMA KEMUDIAN IA DUDUK DI SOFA.
Ibu Nesia (bermonolog)
Kang Mas, kenapa kau tinggalkan aku sendirian di dunia yang penuh sengsara ini? Kenapa kau harus pergi mendahuluiku? Bukankah janjimu padaku kita pergi dari dunia ini berdua? (tersenyum lirih)
Aku kembali mengingat puisi yang kau bacakan untukku ketika kita masih remaja.
(Membacakan puisi)
Jika dunia yang bulat dan penuh kesedihan ini
meminta kita untuk saling menjauh
jangan takut sendiri
karena kau di bawah sayapku meniup angin
dan aku di pelukanmu menjangkau bintang.
(merasa sedih dan semakin tersedu-sedu)
Kang Mas, kenapa kau tinggalkan aku sendiri?
KETIKA IBU NESIA SEDANG BERSEDIH DAN TANGISNYA MEMENUHI SELURUH RUANGAN, MASUKLAH FAJAR HARTOSURYO MEMBAWAKAN TEH HANGAT UNTUK MENENANGKAN IBUNYA.
Fajar Hartosuryo
(masuk membawa teh hangat juga biskuit dan menaruhnya di meja untuk ibunya)
MELIHAT IBUNYA TERUS MENANGIS TAK KUNJUNG HENTI, FAJAR HARTOSURYO DUDUK DI SEBELAH IBUNYA DAN MENANTI TANGIS DI MATA IBUNYA MEREDA DENGAN MENGUATKAN SERTA MEMELUK IBUNYA
Fajar Hartosuryo
Bu.. sampun bu.. Jangan berlarut-larut menangisi bapak.. Bapak sudah tenang di sana, ada Fajar, Bu. Fajar akan menggantikan bapak, menemani Ibu, Fajar akan merawat Ibu.
Ibu Nesia
Tenang dari mana? Bapakmu mati mendadak dan aku tidak tahu siapa pelakunya!
Fajar Hartosuryo
Itu sudah takdir, Ibu. Tidak perlu dibuat-buat
Ibu Nesia
Takdir tuhan memanggil bapakmu, takdirku mengungkap siapa pembunuh bapakmu!
Fajar Hartosuryo
Bapak tidak dibunuh, Ibu. Ia memang sudah tua dan ajal menghampirinya
Ibu Nesia
(berbicara dengan nada tinggi) Aku juga sudah tua, mengapa ajal tidak menghampiriku !? (menangis) Aku hanya belum siap ditinggal oleh bapakmu, dahulu ketika aku masih berusia 17 tahun, bapakmu meminangku, aku telah menemaninya, saat ia masih bertugas sebagai tantara berpangkat kopral hingga ia menjadi kepala desa selama 32 tahun, aku selalu berada di sisinya. Bisakah kau bayangkan betapa tersiksanya aku ditinggal mati begitu saja oleh bapakmu?
Fajar Hartosuryo
Tidak bisa kubayangkan Ibu, betapa tangguhnya bapak, ia pernah menjadi seorang tentara berpangkat kopral dan hingga akhir hayatnya ia selalu mengabdi kepada negara, kepada desanya, kepada keluarga. Aku sangat menaruh hormat kepadanya, Ibu. Karenanya aku juga masuk tentara, aku berperang melawan musuh negara. Sayangnya takdirku dengan takdir bapak berbeda… (terdiam tidak melanjutkan pembicaraan) (memelas muka Fajar)
Ibu Nesia
Kenapa tidak kau lanjutkan pembicaraanmu?
Fajar Hartosuryo
Lihatlah wajahku, Ibu! (menunjukan wajah)
Ibu Nesia
Ya tuhan! Fajar! Anakku apa yang terjadi dengan wajahmu!? (terkejut dan histeris)
Fajar Hartosuryo
Aku keluar dari tentara 10 tahun yang lalu, Ibu. Inilah warisan yang kumiliki sekarang.
Ibu Nesia
Ya tuhan! Fajar! Cepat panggil adik-adikmu sekarang, panggil mereka semua, di mana istrimu, Fajar? Di mana anak-anakmu? Mereka semua harus mengetahui hal ini, Ya tuhan, hatiku hancur sebagai seorang Ibu. (histeris dan sedih)
Fajar Hartosuryo
Istri dan anakku, Ibu? (matanya berkaca-kaca)
Ibu Nesia
Iya! Istri dan anak-anakmu ke mana mereka? (masih histeris)
Fajar Hartosuryo
Ibu, setelah aku keluar dari tentara dengan wajah separuh terbakar, aku menjadi sering mabuk-mabukan, aku sangat sulit menerima kenyataan tentang wajahku ini, aku sangat malu bertemu dengan siapa saja, bahkan dengan istri dan anakku, aku menjadi pemarah dan sering berbuat kasar kepada keluargaku, Ibu. Aku tak berpenghasilan dan benar-benar sendirian waktu itu, Ibu. Istriku menceraikanku, persidangan menyetujuinya karena mereka mengatakan bahwa mentalku tidak stabil, dan aku hampir saja berakhir di Rumah Sakit Jiwa, Ibu! (pecah tangisannya)
Ibu Nesia
Ya tuhan! Malang sekali nasib anakku ini, Fajar, panggil adik-adikmu! Biarkan mereka mengetahui seluruh lukamu, jangan kau pendam sendiri, sini anakku, peluk ibumu! (membuka pelukan)
Fajar Hartosuryo
(memeluk ibunya)
Ibu Nesia
(memanggil anak-anaknya)
Polly!! Fahri!! Ningrum!! Di mana kalian? Abangmu ini membutuhkan kalian semua, keluarlah dari kamar, berkumpulah bersama-sama! Polly!! Fahri!! Ningrum!! (memanggil dengan suara cukup keras, lalu ngos-ngosan)
Mereka semua tidak keluar dari kamar, Fajar. Biar Ibu ketuk pintu mereka satu-satu dan meminta mereka menemanimu
(melepas pelukan dan hendak pergi)
Fajar Hartosuryo
(menahan kepergian ibunya) Ibu, mereka semua tidak ada di kamar.
Ibu Nesia
Lalu di mana mereka semua?
(mencari-cari)
Mereka semua di halaman, ya? Akan kuminta Wati untuk memanggil mereka semua.
(memanggil Wati)
Wati!! Wati!!
WATI DATANG DARI ARAH HALAMAN, SEPERTINYA IA BARU SAJA MEMBERSIHKAN HALAMAN, IA MASUK DENGAN TERBURU-BURU, MERASA TAKUT IBU NESIA KAMBUH PENYAKIT ALZHEIMERNYA DAN BENAR SAJA.
Wati (masuk dengan tergesa-gesa)
Ada apa, Ibu?
Ibu Nesia
Di mana Polly, Fahri dan Ningrum, Wati? Apakah mereka di luar memandangi senja? Tolong panggil mereka, Fajar sedang membutuhkan mereka, kok malah mereka memandangi senja seperti masih belia saja. (kesal)
Wati
Tapi, Ibu.. (keheranan) Mereka semua.. (omongan Wati dipotong oleh Fajar)
Fajar Hartosuryo
(memotong pembicaraan Wati) Wati.. Biar aku yang urus ibu, kau lanjut saja membersihkan halaman.
Ibu Nesia
Apa yang kau lakukan, Fajar? Biarkan Wati menyelesaikan pembicaraannya kepadaku. Mengapa kamu memotongya? (merasa kesal sekali)
Wati, cepat panggil mereka semua, dasar anak-anak nakal! Akan kupukul pantat mereka, mana sapuku, Wati? Di mana kau menyimpannya?
(melihat sapu)
Ah, itu dia! Awas ya anak-anak nakal, akan aku adukan kalian semua ke bapak kalian, agar tidak diberi uang jajan, biar tau rasa!
(berjalan terburu-buru, ngos-ngosan lagi)
FAJAR MENGHALAU JALAN IBUNYA
Fajar Hartosuryo
(menghentikan jalan ibunya) Ibu, Anak-anakmu sudah lama merantau dan pergi dari rumah ini.
IBU NESIA SEKETIKA TERHUYUNG-HUYUNG MEMEGANG KEPALANYA SENDIRI, SEPERTI PUSING DAN BERPUTAR-PUTAR IA TERJATUH DUDUK DI LANTAI.
FAJAR MENGGENDONG DAN MENGANTARKAN IBUNYA KEMBALI KE KAMAR, WATI CEMAS MENUNGGU BAGAIMANA KEADAAN IBUNYA, SEMBARI SESEKALI IA INGIN MENGINTIP KE BALIK HORDENG, MELIHAT KEADAAN IBU NESIA.
TAK LAMA FAJAR DUDUK KEMBALI DENGAN RAUT WAJAH PENUH KESEDIHAN, FAJAR MENCOBA MENENANGKAN WATI.
Fajar Hartosuryo (bernada pasrah)
Sudahlah Wati, jangan membuatku semakin sedih. Tenanglah.
Wati
Maaf, mas Fajar. Saya takut ibu kenapa-napa.
Fajar Hartosuryo
Tidak apa-apa, Wati. Ibu baik-baik saja, hanya akhir-akhir ini penyakit Alzheimernya sering
kambuh dan semakin tidak terkendali. Aku sudah menelpon Polly, Fahri dan Ningrum untuk pulang sebentar, meminta mereka menjenguk ibu dan membahas hal yang penting.
Wati
Kesehatan ibu memang hal yang paling penting, Mas Fajar. Dalam ingatan ibu, bapak seperti baru saja meninggal kemarin, atau hari ini, padahal bapak telah meninggal lebih dari 5 tahun yang lalu. Semenjak itu, ibu semakin tidak terkendali dan sering kambuh penyakitnya.
Fajar Hartosuryo
Iya, Wati. Ibu semakin menurun daya ingatnya, ia kembali ke momen masa kecil keluarga ini, dan ingatan ibu tidak siap dengan kenyataan yang ada. Maka dari itu aku meminta adik-adik semua untuk menemani ibu sekali lagi, dan mungkin besok mereka akan tiba di rumah ini
LAGU PEMAKAMAN YANG SENDU TERDENGAR LIRIH KEMBALI MENGIRINGI WATI DAN FAJAR YANG HANYUT DALAM CAHAYA DAN PELAN-PELAN MENGHILANG.
FADE OUT.
BLACK OUT.
2. Warisan, racun yang paling berharga
PANGGUNG KEMBALI TERISI, CAHAYA PERLAHAN-LAHAN MASUK. FADE IN. TAK LUPA MENYINARI FOTO BESAR HARTOSURYO YANG BERBINGKAI EMAS ITU, LAGU-LAGU BERNADA MINOR TERDENGAR, PERLAHAN MENGHILANG KETIKA PARA PEMAIN MEMASUKI PANGGUNG.
IBU NESIA, FAJAR,POLLY, FAHRI DAN NINGRUM JUGA MUNAWAR NINGRUM TIBA DI RUMAH MENGGUNAKAN PAKAIAN SERBA HITAM, TANDA DUKA YANG TERUS BERKEPANJANGAN. HARI LEWAT TENGAH MALAM, HAMPIR SUBUH DAN MEREKA BARU SAJA PULANG DARI PEMAKAMAN.
IBU NESIA MEMASUKI KAMARNYA DIANTAR OLEH NINGRUM DAN ANWAR NINGRUM
SEMENTARA POLLY, FAHRI DAN FAJAR DUDUK DI SOFA DI RUANG KELUARGA, TERJADI KERIBUTAN KECIL DI ANTARA MEREKA.
MUSIK PERLAHAN MENGHILANG.
Polly Hartosuryo
(membentak)
Sudahilah, Mas Fajar! Cukup berpura-puranya!
Fahri Hartosuryo
Jangan main kucing-kucingan lagi dengan ibu, kasihan ia sudah tua, Mas. Lebih baik kita beritahu semuanya sekarang juga, bahwa bapak telah mati lima tahun yang lalu!
Fajar Hartosuryo
Ibu belum cukup kuat ingatan dan mentalnya, bisa-bisa ia menjadi gila dan mati.
Polly Hartosuryo
Baguslah jika ia mati, sehingga aku tidak perlu repot-repot mengurusi keluarga sial ini.
Fajar Hartosuryo
Jaga ucapanmu, Polly! Kamu tidak ada ketika ibu sedang terluka, akulah yang terus menemaninya, sedangkan kamu di Jakarta, mengurus jual beli real estate-mu itu!
Fahri Hartosuryo
Tenanglah, Mas. Tidak usah marah begitu, kami semua mencintai ibu, sama sepertimu
Fajar Hartosuryo
Kau juga tidak perlu pasang muka sok baik, Fahri. Aku tahu kau sama piciknya dengan Mbakmu itu.
Polly Hartosuryo
Lihatlah Masmu ini, Fahri. Merasa paling berkorban mengurus keluarga sialan ini.
Fajar Hartosuryo
Kau yang sialan! (hendak menampar) (mengurungkan niatnya)
Polly Hartosuryo
(menantang Fajar untuk menampar)
Apa! Mau menampar?! Tampar aku kalau berani Mas! Tampar! Seperti bapak menamparku
dahulu dan mengusirku dari rumah ini! cepat tampar Adikmu, Mas! (sambil menunjuk-nunjuk foto Hartosuryo yang megah)
FAHRI MELERAI PERTENGAKARAN ANTARA FAJAR DAN POLLY. FAJAR MEMALINGKAN MUKANYA DARI POLLY, MERASA MALU. POLLY SEDIKIT GEMETAR, MENGINGAT PERISTIWA KETIKA IA DIUSIR DARI RUMAH OLEH HARTOSURYO
Polly Hartosuryo
Jangan mas Fajar lupakan bagaimana keluarga ini menciptakan kita. Umur 30 tahun aku diusir dari rumah ini, dan taukah Mas apa yang dikatakan bapak kepadaku?
“Pergi kau dari rumah ini, dasar perawan tua!” (menirukan gaya bicara Hartosuryo)
Aku masih mengingat jelas, Mas Fajar! Dan tidak akan pernah aku lupakan, dari peristiwa itu, aku merantau ke Jakarta, Mas. Hidup tanpa bantuan orang tua, aku dahulu seorang gadis yang mencintai keluarga, menuruti seluruh kemauan bapak dan ibu. Setelah aku dibuang begitu saja oleh keluarga sialan ini, jangan harap aku masih memberikan hatiku kepada keluarga sialan ini, Mas!
(berbicara kepada foto Hartosuryo)
Puas sekarang kau Pak?! Setelah aku menolak untuk kau nikahkan dengan kawanmu yang juga seorang pejabat daerah itu, kau membuangku! Teganya kau Pak, menjadikan aku sebagai alat tukar jabatan, aku putrimu Pak! Bajingan! (hendak melempar vas bunga di dekatnya ke arah foto Hartosuryo)
KETIKA POLLY HENDAK MENGHANCURKAN FOTO HARTOSURYO, TIBA-TIBA TANGAN FAHRI MENANGKISNYA, DAN PECAHLAH VAS BUNGA ITU DI LANTAI, POLLY MENANGIS HISTERIS.
Polly Hartosuryo
Akan aku hancurkan foto ini! Jangan menghalangiku, Fahri! Bapak biadab! (kembali meronta
dan terus mencoba)
Fahri Hartosuryo
(menghalangi Polly)
Sudahlah, Mbakyu. Jangan ikut-ikutan menjadi gila, kau harus tetap waras di keluarga ini.
POLLY TERDUDUK LEMAS DI PINGGIR SOFA, TAK LAMA WATI MASUK MEMBERSIHKAN PECAHAN VAS BUNGA
Wati (membawa sapu untuk membersihkan pecahan vas bunga)
Cah ayu dan den bagus memang tidak ada bedanya, sama saja seperti kanak-kanak dahulu, selalu saja bertengkar.
Fajar Hartosuryo
Maafkan kami, Bi Wati. Sini Bi, biar aku saja. (merebut sapu Wati)
Wati
Ada apa sebenarnya, cah ayu dan den bagus belum ada sehari saling bertemu sudah rebut-ribut begini. Apa kalian tidak saling kangen setelah sekian lama tidak bertemu?
Polly Hartosuryo
Cih! Kangen sama keluarga ini? tidak sudi Bi Wati, lebih baik aku pergi.
Fajar Hartosuryo
Ya silahkan kalau kau mau pergi!
Polly Hartosuryo
Nada bicaramu sama persis seperti Bapak, Mas.
Fajar Hartosuryo
Tentu saja! Karena aku anaknya.
Polly Hartosuryo
Haha.. kau terlalu membangga-banggakan dirimu, Mas Fajar. Bergabung menjadi tentara dengan semangat yang membara untuk bisa seperti bapak. Apa yang kau dapat setelah kau bergabung menjadi tentara, Mas?
Fajar Hartosuryo
Aku bangga pernah menjadi bagian dari tentara, dan akan selalu bangga karena mengikuti jejak bapak! Meski..
Polly Hartosuryo
Meski apa, Mas? Meski luka bakar di wajahmu itu tidak akan hilang? Iya? Meski kau harus bercerai dengan istrimu dan ditinggalkan anakmu karena luka bakar yang tidak akan pernah sembuh itu? Untuk apa kau masuk tentara, Mas? Untuk membanggakan bapak? Iya kan?
Semua karena si kumis jelek dengan mata setajam elang ini, Mas? Katakan padaku! (kembali menunjuk foto Hartosuryo)
Fajar Hartosuryo
(menangis kesakitan, ia menepuk-nepuk muka dan dadanya)
POLLY, FAHRI DAN BIBI WATI HANYA MELIHAT FAJAR MENANGIS DENGAN PENUH RASA IBA, MEREKA INGIN MENENANGKAN FAJAR DAN BERTANYA MENGAPA IA MENANGIS SEBAB SELAMA INI FAJARLAH CERMINAN DARI HARTOSURYO YANG KERAS, KUAT DAN KASAR.
Fajar Hartosuryo
(berbicara sembari menangis terisak-isak)
Aku memang tidak pernah ingin menjadi tentara, Polly..
POLLY, FAHRI DAN BIBI WATI TERKEJUT
Tapi, bapaklah yang memaksaku untuk bergabung menjadi tentara, karena ia ingin aku meneruskan mimpinya agar menjadi jenderal kelak, tapi nasib berkata lain, aku hanya sampai berpangkat kopral dan negara mengirimku dalam perang, aku korban dari peperangan yang tidak pernah mau kuingat lagi. Aku menangis, hatiku hancur, Polly. Aku malu bertemu istri dan anakku dengan wajah separuh terbakar seperti ini, lantas aku memilih untuk pulang ke rumah ini, waktu itu. Aku mengetuk pintu dan bapak membuka pintu, ia sangat terkejut ketika mengetahui aku, anaknya yang tampan berubah menjadi separuh buruk rupa! Apakah ia menerima dan memelukku selayaknya aku seorang pahlawan yang baru kembali dari medan perang? Tidak! Ia mengusirku sama seperti ia mengusirmu! Baginya aku hanyalah aib untuk keluarga, lalu aku menangis dan hampir masuk rumah sakit jiwa, istriku menceraikanku dan aku bahkan lupa wajah anakku, Polly! Betapa hancurnya aku saat itu, Ya Tuhan! (menggebu-gebu, menangis tak karuan)
POLLY DAN FAHRI MENDIRIKAN FAJAR, LALU MEREKA BERPELUKAN
Polly Hartosuryo
Maafkan adikmu, Mas. Karena tidak mengetahui luka yang kau simpan sendiri, kau pasti
sangat tersiksa memendam masa lalu sendirian
Fahri Hartosuryo
Maafkan aku, Mas Fajar, sebagai sesama lelaki di keluarga ini, aku terlampau tak acuh
kepadamu.
Wati
Tuh kan, Bibi bilang apa, seperti anak kecil saja sehabis berantem lalu berbaikan kembali,
hahah. (tertawa meledek)
SAAT SEDANG MENIKMATI PELUKAN HANGAT, KELUARLAH NINGRUM DARI KAMAR IBU NESIA, IA KEHERANAN KARENA MENDAPATI KAKAK-KAKAKNYA SEDANG BERPELUKAN
Ningrum Hartosuryo
Ada apa ini? kok saling berpelukan, aku juga mau dipeluk (merengek manja meminta
pelukan)
MEREKA BEREMPAT BERPELUKAN, BIBI WATI HANYA TERSENYUM MELIHAT MEREKA SEMBARI KEMBALI KE DAPUR MENYIAPKAN MINUMAN
HINGGA FAHRI HARTOSURYO MENGAJAK MEREKA SEMUA MEMBAHAS TENTANG WARISAN
Fahri Hartosuryo
Karena kita sudah akur, lebih baik kita membahas tentang warisan saja, yuk..
MEREKA MELEPASKAN PELUKAN MASING-MASING
Polly Hartosuryo
Aku setuju denganmu, Dik. Benar, Mas Fajar lebih baik kita membahas warisan bapak yang berlimpah itu, hitung-hitung mengobati luka yang ia tinggalkan kepada kita.
Ningrum Hartosuryo
Luka apa, Mbakyu?
Polly Hartosuryo
Ah, pokoknya luka, panjang kalau diceritain, kamu sebagai anak terakhir dan adik yang paling kecil manut saja sudah dengan Mbak dan Masmu ini.
Fahri Hartosuryo
Ya, aku hampir bangkrut karena kalah dalam pemilihan daerah di Jawa Timur, aku butuh dorongan lagi agar bisa terjun di politik dengan gairah membara, aku rasa menjual harta benda keluarga kita akan menjadi dorongan yang sangat membantuku
Polly Hartosuryo
Jangan terburu-buru begitu, Fahri, politikus gagal, hahah. Yang pasti rumah ini akan kubuat sebagai penginapan bintang lima dengan segala ornament yang akan aku pertahankan, zaman sekarang turis menyukai hal-hal yang berbau tradisional, tentu saja foto bapak yang jelek ini akan aku bakar, atau aku simpan di gudang, bagaimana menurutmu, Mas Fajar? Kau pasti setuju terhadapku, bukan?
Fajar Hartosuryo
Tenangkanlah diri kalian berdua, aku tidak akan menjual rumah ini, dan kalau perihal waris mewaris, kita tidak bisa berbuat apa-apa, sebab bapak telah menuliskan di surat wasiatnya bahwa segala harta benda peninggalannya jatuh ke tangan ibu.
Polly Hartosuryo
Ah perempuan sialan itu juga mengganggu saja! Demi ibu pun kita terus berpura-pura bahwa bapak seperti saja baru meninggal, padahal ia telah meninggal lima tahun lalu! lebih gila lagi, ia meminta kita untuk datang ke kuburnya tepat seperti saat ajal menjemputnya. Sudahilah semua kepura-puraan ini, Mas Fajar! Kita beritahu ibu tentang yang sebenarnya
Fajar Hartosuryo
Tetapi ingatan ibu tidak akan cukup kuat menerima kenyataan, Polly, ia bisa mati mendadak.
Fahri Hartosuryo
Jangan! Jangan sampai ibu mati mendadak, sebelum ibu menuliskan nama-nama kita di surat wasiatnya. Kurang ajar betul bapak itu, ia sudah mati masih saja menyusahkan kita semua. Kalau begitu kita susun rencana untuk membunuh ibu!
Ningrum Hartosuryo
Mas Fahri sudah gila!
Polly Hartosuryo
Aku setuju, Alzheimer di kepalanya semakin tak terkendali, kematian adalah jalan terbaik.
Fajar Hartosuryo
Kita tidak bisa membunuhnya begitu saja
Ningrum Hartosuryo
Mas Fajar juga mendukung rencana gila ini!?
Fajar Hartosuryo
Maafkan Mas, Ningrum. Tapi ibu memang harus mati, agar kita bisa menikmati harta peninggalan bapak.
Ningrum Hartosuryo
Gila kalian semua gila! Kalian ingin membunuh ibu yang telah melahirkan kalian semua? Merawat kalian semua hingga besar dan begini kalian membalas kasih sayangnya? Dengan membunuhnya (sedih)
Aku akan memberitahu ibu! Aku akan mengatakan rencana picik kalian!
(berlari menuju kamar ibu)
KETIKA HENDAK MEMBERITAHU IBU NESIA YANG SEDANG TERTIDUR, NINGRUM DICEGAT OLEH FAJAR, TUBUHNYA YANG KECIL DIPELUK DAN NINGRUM MERONTA-RONTA
Ningrum Hartosuryo
Lepaskan aku, Mas! Aku akan memberitahu ibu rencana kalian! Aku mencintai ibu dan aku akan terus menjaganya! Lepaskan aku!! (terus meronta-ronta)
Fajar Hartosuryo
Maafkan Mas Fajar, Ningrum. Tapi kamu tidak boleh menggagalkan rencana ini, semua ini demi kebaikan kita, kebaikanmu, kamu akan mendapat bagian sesuai porsimu.
Ningrum Hartosuryo
Aku tak ingin uang, harta ataupun tahta! Aku hanya ingin keluarga ini utuh, Mas! (menangis)
Fahri Hartosuryo
Haha! Boleh juga tangisan penyairmu itu, Ningrum. Hanya saja ini bukan panggung puisi, dan hatiku tidak selembut hati orang lain yang ikut bersedih ketika kau berkata-kata atau dengan deklamasimu, hahah. Lukalah yang membuatnya kuat! Benar begitu, Mbakyu?
Polly Hartosuryo
Ya! Adik, haha! Kamu sudah cukup menulis puisi, membaca puisi, menjad penyair perempuan, tidak perlu kamu menaruh pandangan kebenaranmu di keluarga kita ini, sudahlah akui saja kamu membutuhkan uang atau harta benda dari warisan bapak! Memangnya cukup gajimu sebagai penyair membiayai hidupmu itu?
Ningrum Hartosuyo
Aku tidak perlu uang dan harta, aku hanya ingin keluarga kita bahagia! (berteriak kencang)
TUBUH MUNGIL NINGRUM DIGENDONG OLEH FAJAR MASUK KE DALAM KAMAR DAN DIKUNCINYA DARI LUAR, TERDENGAR SUARA PINTU DIGEDOR, MEREKA MENYUSUN RENCANA UNTUK MEMBUNUH IBU MEREKA SENDIRI
Fajar Hartosuryo
Sudah kuurus Ningrum, biarkan ia tenang terlebih dahulu, toh ini semua demi kebaikan kita semua.
Fahri Hartosuryo
Ya, ia masih terlalu dini untuk terlibat ini semua, pokoknya aku meminta dana suntikan untuk pencalonan pilkadaku beberapa tahun ke depan
Polly Hartosuryo
Aku tentu saja ingin meluaskan bisnis real estate-ku hingga ke desa-desa seperti ini, seperti yang kukatakan tadi, rumah ini cocok untuk dibangun penginapan bintang lima dengan nuansa tradisionalnya
Fajar Hartosuryo
Lalu jika rumah ini dijadikan penginapan dan sebagian dijual, aku mendapatkan apa?
Fahri Hartosuryo
Ya kau dapat sisanya saja, Mas.
Fajar Hartosuryo
Aku kakak tertuamu, lho!
Polly Hartosuryo
Mau kakak tertua, mau arwah bapak, aku tidak perduli, Mas. Keputusanku bulat menjadikan rumah ini sebagai penginapan tradisional.
Fahri Hartosuryo
Keputusanku juga sudah bulat, Mas!
Fajar Hartosuryo
Kita harus membaginya secara adil, dong! Apalagi aku kakak tertua kalian, jangan kalian serakah dengan diri kalian sendiri.
Polly Hartosuryo
Memangnya kau ingin apa, Mas Fajar?
Fahri Hartosuryo
Ya, kau ingin apa, Mas?
Fajar Hartosuryo
Aku ingin pergi ke Korea
Polly Hartosuryo
Hahah ke Korea? Ngapain? Lihat K-Pop? Oh, jadi Mas Fajar penggemar K-Pop.
Fahri Hartosuryo
Sejak kapan, Mas?
Fajar Hartosuryo
Ngawur, aku ke Korea ingin operasi plastik untuk wajahku ini.
Polly Hartosuryo
Oalah, bilang dong, Mas Fajar. Ya bisalah kita atur untuk itu nanti, harta bapak masih terlampau banyak kalau untuk operasi plastik saja, Mas.
Fajar Hartosuryo
Aku juga ingin balas dendam kepada istriku yang telah meninggalkan aku. Aku akan membayar persidangan dan kembali merebut anakku!
Fahri Hartosuryo
Apapun bisa kau lakukan jika kau kaya, Mas Fajar!
Polly Hartosuryo
Ya! Balas dendam adalah hal paling melegakan di dunia.
Eh, tapi tunggu dulu. Lalu bagaimana dengan Ningrum?
Fahri Hartosuryo
Ah, dia diberi uang lima puluh juta juga senangnya bukan main! Kita lebih utama, Mbakyu, nanti saja kita pikirkan tentang dia.
Fajar Hartosuryo
Masalah yang sesungguhnya adalah bagaimana cara kita membunuh ibu?
Fahri Hartosuryo
Iya, bagaimana ya?
Polly Hartosuryo
Kita racuni saja!
Fajar Hartosuryo
Jangan, terlalu beresiko, tim forensik juga akan mengetahuinya.
Fahri Hartosuryo
Atau kita sewa perampok untuk merampok rumah ini dan membunuh ibu?
Fajar Hartosuryo
Ide yang bagus, tetapi polisi sekarang pintar dan mempunyai alat yang canggih, tidak berapa lama pasti akan tertangkap orang suruhan kita itu, dan ia akan membeberkan semuanya, habislah kita.
Polly Hartosuryo
Iya juga, ya, Lalu bagaimana, dong?
Fajar Hartosuryo
Kita taruh sabun cuci yang cukup banyak di lantai kamar mandi, dan ketika ibu masuk, ibu akan terjatuh juga pendarahan, itu akan terkesan seperti kecelakaan, bukan?
Polly Hartosuryo
Ya, lalu siapa yang patut kita salahkan?
DARI BALIK HORDENG MENUJU KE KAMAR, SEDARI TADI WATI SEBENARNYA MENGUPING PEMBICARAAN MEREKA, DAN TERKEJUT KETIKA INGIN DIJADIKAN SEBAGAI TERSANGKA DALAM RENCANA PEMBUNUHAN IBU NESIA
Fajar Hartosuryo
(berbisik pelan-pelan)
Bibi Wati!
Polly Hartosuryo
(terkejut)
Apa, Mas Fajar sudah gila!? Bibi Wati tidak melakukan salah sedikitpun kepada kita, bahkan ia telah membantu keluarga ini selama tiga puluh tahun, ia pun juga menggangi popokku, popokmu dulu ketika kecil, dan Mas Fajar ingin memfitnahnya?
Fajar Hartosuryo
Jangan sok moralis seperti itu deh, Polly. Memangnya siapa yang ngotot untuk membunuh ibu dan menginginkan harta bapak? Kamu kan? Sudah ikuti saja rencanaku
Fahri Hartosuryo
Iya, Mbakyu, nurut saja sudah, nanti bisa kubuatkan narasi tentang pembunuhan ibu, ya bisa saja kukatakan kepada para warga bahwa Bi Wati sebenarnya menaruh dendam kepada ibu, karena suka diperlakukan tidak manusiawi. Urusan gampang itu, yang penting ibu mati dan surat wasiat tertulis atas nama kita.
Polly Hartosuryo
Baiklah, itu yang terpenting, jangan bunuh ibu terlebih dahulu sebelum ia menyerahkan surat wasiat itu atas nama kita, selama itu belum terjadi kita membutuhkan ibu hidup-hidup.
MENDENGAR HAL ITU WATI MERASA TERKEJUT KARENA INGIN DIFITNAH ATAS PEMBUNUHAN IBU NESIA, LANTAS IA MEMBANGUNKAN IBU NESIA YANG SEDANG TERTIDUR DAN MENGATAKAN BAHWA ANAK-ANAKNYA MERINDUKAN IBUNYA UNTUK SARAPAN BERSAMA DI PAGI HARI, PERSIS SEPERTI APA YANG MEREKA LAKUKAN DAHULU
Fahri Hartosuryo
Kita harus mempersiapkan ini matang-matang dan secepat mungkin. (beranjak dari sofa)
Kita mulai sekarang.
IBU NESIA TIBA DI RUANG KELUARGA DENGAN WATI DI BELAKANGNYA, FAJAR, POLLY DAN FAHRI TERKEJUT KARENA IBU NESIA BANGUN SEBELUM RENCANANYA DILAKSANAKAN.
Ibu Nesia
Lho, anak-anakku sehabis dari pemakaman kalian belum juga tidur?
(mencari-cari Ningrum)
Di mana Ningrum, Fajar?
Fajar Hartosuryo
Anu.. Ibu.. Ningrum sedang tidur, ia kelelahan katanya.
Ibu Nesia
Oh, baiklah. Senang rasanya kita bisa berkumpul kembali sebagai keluarga, Bi Wati yang membangunkan Ibu tadi, katanya kita akan sarapan bersama seperti dahulu, aku terharu kalian masih mau tinggal dan menemaniku, anak-anaku semua. (terharu)
Polly Hartosuryo
Sarapan, Ibu?
Ibu Nesia
Iya, sarapan, anakku. Benarkan, Bi Wati?
KETIKA IBU NESIA MEMBALIKKAN TUBUHNYA KE HADAPAN WATI, TIBA-TIBA WATI MENUSUK PERUT IBU NESIA DENGAN PISAU YANG SEDARI TADI IA TUTUPI SERBET, IBU NESIA TERKAPAR DAN TERJATUH DI LANTAI, POLLY, FAJAR, FAHRI TERKEJUT TIDAK KARUAN, NINGRUM PUN BERHASIL KELUAR MELALUI JENDELA DAN MASUK MELALUI PINTU DEPAN. NINGRUM TEPAT MELIHAT PERISTIWA ITU.
Ningrum
Ibu, mereka semua ingin membunuhmu!
BELUM SAMPAI TERDENGAR HABIS KATA-KATA NINGRUM, WATI MENGHUNUSKAN PISAUNYA KE PERUT IBU NESIA
Wati
Iya, sarapan kematian, Ibu. (menusuk pisau ke perut Ibu Nesia)
Ibu Nesia
(memegangi perutnya) (kesakitan)
Wati, mengapa kau tega menusukku?
Wati
Hahah! (tertawa menyeramkan) tanyakanlah itu kepada arwah suamimu! Hampir setiap
malam ketika Alzheimermu kambuh dan kau lupa akan segalanya, Hartosuryo lelaki keparat yang menjadi kepala desa selama 32 tahun itu menggerayangi tubuh indahku, selama 20 tahun aku ditidurinya, ia berkata akan menjadikan aku istri keduanya dan membagikan harta warisannya kepadaku, tapi betapa hancur hatiku ketika ia mati, namamulah yang ada di dalam surat wasiat itu, aku tidak pernah dianggap olehnya! Dan betapa hancur hatiku ketika anak-anakmu ingin menjadikan aku sebagai tersangka atas rencana pembunuhanmu, haha! Daripada aku difitnah lebih baik aku langsung membunuhmu! Dan anak-anakmu yang keparat ini tidak akan mendapat surat wasiat itu, hahah! Betapa indah kehidupan!
POLLY, FAHRI, FAJAR DAN NINGRUM MENDEKAP TUBUH IBUNYA, MEREKA MENANGIS DAN GERAM TERHADAP WATI, TAPI IBUNYA TELAH MATI TEPAT DI HADAPAN MEREKA .
WATI BERJALAN KE FOTO HARTOSURYO, MELEPASNYA DARI DINDING, MENGAJAKNYA MENARI, PERLAHAN-LAHAN LAGU DANSA TERDENGAR DENGAN MERDU, DICAMPUR TANGISAN ANAK-ANAK HARTOSURYO ATAS MENINGGALNYA IBU NESIA.
WATI MENARI DENGAN LUKISAN HARTOSURYO.
PERLAHAN LAMPU MEREDUP
LAMPU MERERUP
MUSIK DANSA DAN TANGISAN TERUS MENGALIR
PERLAHAN MUSIK DANSA DAN TANGISAN MEREDUP
LAMPU DAN MUSIK JUGA TANGISA PERLAHAN MENGHILANG
BLACK OUT. SELESAI.