sebatang lisong untuk alina yang malang, ia hidupkan di depan dinding kost kuning berbau melati pada malam yang dingin di hari hujan bulan juni

lilin-lilin di kamar menyala, tapi tak satupun dapat memecah malam yang begitu bising dengan suara kereta, motor motor mahasiswa baru pulang ospek, atau mobil grab yang masih mencari recehan

alinaku yang kesepian, malam ini begitu lembab tanpa tanda tanda hujan akan turun sebentar lagi. barangkali kau harusnya berkumpul dengan teman-temanmu di kampus untuk sekedar berdansa atau berdialektika.

alina... alina...

kan, sudah kubilang. bergabunglah dengan bintang-bintang yang bergerombol itu, agar kau juga nampak bercahaya. setidaknya, bila kau adalah rembulan, maka kau tak akan kesulitan mendapatkan cahaya pantulan.

tapi salahmu sendiri, kau yang memilih berdiam diri di kamarmu yang gelap dan sumpek itu sambil memakan timtam dan menyelami buku yang ditulis murakami.

kujelaskan sekali lagi, alina.

buku memang baik, juga teori teori di dalamnya. ya, tentu buku mengajarkanmu banyak hal. tapi kau cuma bisa membayangkan saja. bukankah akan lebih baik bila tidak hanya dibayangkan?

sebatang lisong alina hampir mencapai ujungnya. namun halaman dari buku yang berlembar-lembar itu belum lagi ia buka.

—puisi ini untuk dikenang ketika sedu sedan menghampiri ia yang baru saja ditinggalkan.