Pada sebuah stasiun kita tak pernah sengaja menumpang pada kereta yang sama. Namun kita tahu, sejauh apa asmaraloka sebagai tujuan akhir perjalanan.
Aku hanya penumpang gelap, mengendap dan tak sengaja terbawa lokomotif yang kau masinisi ini yang memuat getir dan kelakar di pundakmu.
Aku jadi terlempar pada perjumpaan sebelumnya. Di peron seberang, kau lambaikan tangan yang tak sengaja kudengar sebagai ajakan. Lalu Ketakutan selalu tumbuh padaku; perantau yang selalu bertanya bisakah kembali setelah begitu jauh pergi.
Aku kembali menghidu bau kampung pada tubuhnya. Sisa bakaran sampah, embik kambing dan kepulangan-kepulangan yang letih sehabis mengembara. Dan kau pun tahu itu sebagai tugu penanda batas antar kota antar kita. Itu sebab kau di kabin masinis dan aku di bagasi belakang.
Di kereta ini, kau tak pernah tahu ketrengginasanku menyusuri rel-rel ceritamu walau tanpa sekarcisun di saku. Sementara kota asal terus menungguku yang secara sadar tak sadar enggan melihat semboyan di jalur kiri dan kanan.