Untuk Claudius-dengan-siapapun-nama-belakangmu,

Yang kerap menimbang-nimbang apakah kamu yang terlalu tua atau aku yang jauh terlampau muda untuk dipanggilnya seorang ratu.

Bisikkan padaku kisah dibalik lukisan-lukisan cantik yang tercetak di atas kulitmu.

Sebilah pisau dengan lilitan anak buah Medusa, perempuan berbibir ranum penghasil kecup, atau apa saja yang mungkin tak terjangkau sudut pandangku.

Nanti biar kuceritakan kisahku yang lain.

Kali ini bukan lagi perihal jalanan Jakarta yang selalu nampak asing di mataku.

Tapi di sini, di bibirku, ada seulas rahasia kecil tentang perempuan yang entah sungguh-sungguh asing pada dirinya sendiri, atau Ia yang memang tenggelam pada obsesi ratu sejagad.

Sekali waktu perempuan itu akan mematut dirinya di depan cermin. Melumuri wajahnya dengan pupur terlampau terbal seolah bisa menutupi dosa.

Dihirupnya pula aroma tubuhnya dalam-dalam; sesuatu yang mungkin tak akan pernah sudi dilakukan orang lain untuknya.

Pada malam-malam yang lelah, kau bisa menemukannya menangis dengan raungan pilu dalam kotak merah jambu. Meratapi nasibnya yang tak semujur perempuan berkaki jenjang.

Bagian mana yang paling kau ingin dengar?

Perihal pangeran impiannya?

Makian yang pernah dengan sengaja ditembakkan padanya?

Atau mungkin warna celana dalamnya malam ini?

Aku tau terlalu banyak. Terlalu rumit. Dan kerap membuat kepalaku pening.

Setidaknya, mungkin harus kubagi sedikit padamu sebelum kepalaku mulai meledak.

Jadi, Claudius-dengan-siapapun-nama-belakangmu,

Kamu tau ke mana harus mencariku, kan?