Cerita Banta: Selembar Daun dan Seruling
Cerpen
Kutipan Cerpen Cerita Banta: Selembar Daun dan Seruling
Karya rhsrofiq
Baca selengkapnya di Penakota.id
Kau tak hendak menghitung jemarimu. Dalam dasawarsa terakhir, kau mengais dan terus melulu seperti itu. Waktu demi waktu melintas begitu saja. Tanpa kau ucapkan salam kepada masa depanmu. Kau seolah pamit kepada kenangan, sembari melekatkan tanganmu kepada khayalan tentang jalan panjang. Tak berkesudahan.

Kau sematkan angan-anganmu pada selembar daun yang tak bisa kau temui di sekitar tempat tinggalmu. Sehingga kau berlari mengitari kampung-kampung— pelataran kota— dan tak menemukan apa-apa. Daun yang begitu berharga hanya sekelabat waktu saja muncul. Tak diketahui kapan muncul kembali.

Nyaris belasan tahun terlalui. Belum genap dua dasawarsa memang. Tetapi, bukan rentang waktu yang sebentar, hanya sekadar untuk menanti selembar daun itu. Telah kau tinggalkan perangaimu, aktivitasmu yang dulu. Seharusnya kau mampu untuk mandiri, tak tergantung pada selembar daun itu. Aku benci daun itu. Ia telah lama mempengaruhinmu. Begitu picik.

Yaitu mengandung sebuah angan-angan tentang pasangan yang tiada kau prediksi sebelumnya. Saat laki-laki itu meminangmu. Kau melamun sembari membayangkan kau menyusui bayimu dan mendendangkan sebuah lagu, saat suamimu tertidur pulas. Bahwa sebuah cerita sudah siap tersaji manis di hadapanmu. Tinggal kau hiasi dengan perilaku yang baik. Moral yang baik. Untuk anakmu kelak.

Kau racik sendiri ceritamu itu di atas piring-piring yang telah kau siapkan, dengan telaten tanganmu menjadi mahir setelah berlatih berbulan-bulan menggunakan alat-alat itu. Hitungan periodik waktu telah lama tanpa kesudahan. Bayangan itu lama-kelamaan kabur. Semakin kabur. Kurasa kau mengerti bahwa mimpi sama sekali tak bisa kau sangkal dan kau hindari.

Tahun berganti dan skema tentang cita tak pernah menjadi hal semenarik ini. Kau memadukan bagan demi bagan. Antara cabang yang satu ke cabang yang lain. Kau membuat semuannya menjadi jelas dan tahu darimana asalnya. Kau memang begitu berkualitas dalam memadukan antara kejadian dengan harapan. Tak kau beri kesempatan untukku mengais sedikit barang-barangmu yang mampu mengubah keadaan. Kau begitu egois dengan segala semangat dan keinginanmu.
Waktu selalu berganti, tiap tahun, tiap detik, tak berhenti. Demikian dengan selembar daun yang kau cari selama ini. Setelah sepuluh tahun kau mencari, tak banyak lagi cerita yang tersisa. Bahkan cerita tentang siluet suamimu yang hendak putus asa, dari harapannya yang mungkin telah pudar. Kau mengganti cerita-cerita baru dalam diksi, yang kau ketahui caranya. Diksi tersebut telah lama tumpul dan berganti menjadi diksi yang baru. Namun tetap sepi.

Lalu, apakah aku harus bertanya bagaimana kau membuat racikan untuk siluet suamimu itu?

Siluet suamimu mulai rebah di dadamu hampir setiap malam. Pelukannya tetaplah seerat seperti dahulu kau bermanja kepadanya. Namun, terlalu banyak kau berharap tentang selembar daun itu. Hanya kemustahilanlah yang dapat mengembalikan suamimu dari belenggu siluet itu. Kurasa masih banyak cerita tersimpan utuh dalam ingatanmu. Bukan hanya tentang selembar daun itu.

Telah selesailah kau mengacaukan pagi ini dengan lesu yang tiada bemuara. Daun jendela menjadi singgasana yang paling adil. Agar kau merasa dihakimi. Dan tak mengulanginya. Aku tahu. Ia bukanlah sesuatu yang Maha Adil seperti Tuhanmu. Dari kejauhan kau mendengar suara yang tak begitu tentu kau ketahui.

Tampaknya itu suara ibumu datang. Dibawanya sebuah keranjang dipenuhi sayuran. Memang seringkali ibu ke pasar dan sudah barang tentu membeli beberapa kebutuhan untuk beberapa hari ke depan. Namun ada yang aneh dari perangainya. Ia begitu gugup dan selalu memalingkan wajah ketika kutatap matanya. Kurasa ada yang ia sembunyikan kepadaku. Firasat. Bukan, ini pertanda.

“Duduklah, bu, ” salam sapaku menyambut kedatangan wanita yang amat berjasa dalam hidupku. Kemudian aku berlagak riang, sambil sesekali tak mampu menahan kepedihan yang menghujam.

“Ibu kelihatan lelah, biarkan aku mengambilkan secangkir teh hangat untukmu,” Aku kembali mengatakan sesuatu yang berada di luar keinginanku, namun kutetap mengembangkan senyum. Agar tak ibu dapati aku dalam masalah.

“Tidak usah nak, aku hanya ingin duduk. Dan berbicara denganmu. Bukan merepotkanmu.” Ibu menjawab dengan isyarat melarangku ke dapur, untuk sekadar mengambil teh. Ibu memang begitu.

Kau atur kursi dan meja dalam nuansa yang apik. Kau ingat saat masih kecil dulu, ibu adalah orang yang paling rapi dan kritis. Mungkin dari situ kau mulai menyamai beberapa tingkah lakunya. Karena kau memang benar anaknya. Anak perempuan satu-satunya. Lalu, kau menghabiskan waktu untuk memperbincangkan tentang apa yang terjadi hari ini bersama ibumu. Kau menanyakan kepadanya tentang racikan bumbu yang sedap untuk memasak sayuran. Di dalam keranjang itu memang terdapar banyak sekali jenis sayuran, mulai dari wortel hingga daun bawang, cabe dan juga kol. Ibu memang membawa keranjang yang begitu besar, sehingga mampu terisi banyak sayuran yang dibeli. Dan kau selalu bergairah jika mendengar cerita dari ibu. Kau mulai melupakan segala kepedihanmu tentang cerita siluet suamimu atau tentang selembar daun itu.

Selembar daun? Ah, daun macam apalagi yang membuatmu seperti tadi. Sebuah daun yang menjadi penanda apakah engkau memang benar-benar telah terpengaruh atau tidak. Entahlah aku benar-benar tidak sudi melihat kau berbicara tentang daun itu. Ku yakin suamimu akan marah jika ia mengetahuinya.

Orang lain boleh saja menilaiku dari luar, dari fisikku. Namun, agamaku mengajarkanku tak menjudge orang tanpa tahu yang sebenarnya. Lagipula, aku masih dapat menalar dan memahami tentang apapun. Begitupun dengan memahami ajaran agamaku, yang menuntunku kepada kebenaran yang Haq. Aku memang tak bisa mengungkiri bahwa aku terpengaruh pada selembar daun yang tak ku mengerti itu apa, juga kepada cerita tentang suamiku itu. Selain daripada itu, aku baik-baik saja. Iya. Aku baik-baik saja Tuhan. Percayalah.

“ Nak, kau sudah tumbuh dewasa.” Suara ibu memecah kebuntuan sekalian membuyarkan segala lamunan tentang diriku ini. Apabila itu sebuah pernyataan, mungkin lebih pantas kiranya dia katakan kepada kakak. Ia sudah mampu menentukan jalan hidupnya sendiri. Jika itu pertanyaan, lalu mengapa dia mengatakannya kepadaku? Entahlah, ibu memang orang yang tak bisa diduga. Kemudian tangannya memegangi erat tanganku, ia bercerita tentang ayah. Bagiku ayah tak begitu berarti, ia telah terbang ke angkasa dengan merpati-merpati itu. Tanpa bekas, tanpa jejak. Aku, kakak dan ibu seperti tergopoh-gopoh, atau mungkin pincang kakinya. Tapi ayah seolah menolakku secara halus. Ia tak mau menemuiku lagi. Kurasa penolakan halus itu lebih menyakitkan. Apalagi dengan cara seperti ini.

“Ayahmu, mungkin tak sehebat suamimu, tetapi dia tetaplah ayahmu. Agamamu mengajarkan untuk hormat dan menghargai orang tua. Jangan kau kurang-kurangkan hal itu.” Aku tersentak, ia membandingkan dengan suamiku. Apalagi pikiran ini, siluet suamiku mulai menceracau di angan-anganku, aku kembali memimpikannya.

Aku juga memikirkan tentang selembar daun itu. Meski, aku tidak tidur, tidak pula termenung. Kejadian macam apa ini, baru kali ini aku rasakan. Semakin aku menolak untuk tidak memikirkannya, maka aku semakin teraniaya. Hentikanlah. Kumohon hentikan.

“Apakah yang Ibu sembunyikan dariku tentang ayah? Dari matamu terlihat kegugupan dan keinginan untuk bercerita. Ceritakanlah, bu.” Suara yang berlawanan dengan keinginanku sebenarnya.
Kau memaksakan untuk mengetahui lebih dalam tentang ayahmu, kutahu kau terpaksa melakukan ini. Seberapa daya untuk kau menghindarinya, semakin kau harus mengetahuinya. Kau sudah pasrah tampaknya dengan keadaanmu. “Tuhan, aku masih sadar. Penuh dengan kesadaran melakukan semua aktivitasku. Sungguh. Tetapi, mengapa aku tak bisa melupakan beberapa hal tadi.” Mungkin itu beberapa kalimat yang ingin kau sampaikan. Namun, kau memang pandai menutup luka. Begitu menyedihkan.

“Ayahmu yang memomong dan memandikanmu. Kadang-kadang Ibu gantikan jika dia lelah. Ayahmu menyukai hal itu, jadi aku tak suka menggangunya jika sedang bersamamu. Kau selalu menjadi yang pertama, nak. Ia begitu menyayangimu.” Mata Ibu melirik kepadamu, menahan pedih yang mungkin sebentar lagi akan menyeruak. Bola matanya yang bening, hampir mengeluarkan cucuran air mata. Kau berlagak seorang pecundang yang tak mengakui kepahlawanan dari yang menolongmu. Kau begitu angkuh. Tak seperti biasanya kau seperti ini. Memang, pikiranmu tentang selembar daun itu telah mengubah cara pandangmu tentang kehidupan. Begitupun dengan siluet suamimu yang penuh misteri.

Sunyi. Berbagai suara yang tak diperkenankan masuk, baru kali pertama enggan menerobos, Entah kemana perginya.

“Ibu, apakah aku boleh tahu kemana ayah pergi? Aku mungkin harus menemuinya. Dalam waktu dekat ini.”

“Tidak, bisa Nak, .” Ibu berbicara sedikit tegas dengan intonasi yang jelas. Tanda ia berbicara begitu tulus dan serius. Memang itu kebiasaanya yang aku ketahui.

“Tetapi, aku harus mengetahuinya, Bu.” Kau memohon, sambil mulai menyadari apa yang salah darimu, apa yang tidak kau ketahui. Air matamu mulai menetes, hingga tak terhitung berapa deras mengalir.

Airnya begitu bening. Kurasa itu tanda kesucian. Tidak, mungkin kebenaran. Lalu, bagaimana dengan selembar daun dan siluet aneh itu. Kau tidak benar-benar melupakannya. Dan mengapa pula kau menangis. Aku bingung.

Kau sebegitu indahnya dari sebuah mahkota adalah harta terindah. Ketika ibumu membanggakanmu dan suamimu. Kau melahirkan sebuah bayi yang sarat akan sebuah kemasyhuran hidup. Di tanah Nangroe Aceh Darussalam. Meski awalnya didera banyak kesengsaraan dan pelajaran hidup. Banta Barensyah. Kausebut bayimu itu dengan bangganya.

Sewaktu dulu yang semakin sayu dengan siluet suamimu. Kau mencoba mencari jejak suamimu dari hulu hingga muara sungai. Dari pesisir ke pesisir pantai Tanah Aceh. Tak diketemukan satu keberadaan kehidupan suamimu. Dia nampaknya sudah menjadi pemilik Surga. Kendatipun begitu ada satu peninggalan dari suamimu yang tak pernah kau lupa untuk membawanya. Kau begitu bahagia ketika melihat benda itu. Peninggalan terakhir dan mungkin yang paling akhir. SERULING.
Apabila mentari yang paling mashyur terbit dari barat, Tanah Aceh menjadi saksi bisu terbitnya engkau matahari. Seperti kelahiran bayi tanpa ayah yang kau menafkahinya sendiri. Semoga daripadanya timbul sebuah keberkahan yang entah darimana kaudapatkan.

***
Banta Berensyah sang calon Saudagar. Dieluh-eluhkan oleh sang Ibu menjadi anak yang baik, rajin juga penurut. Kau begitu tampan dengan seruling pemberian ayahmu. Kau menarik setiap kicauan burung wanita muda. Mereka melihatmu seperti kepakan sayap elang dengan matanya yang amat tajam. Kau begitu gagah dengan pakaian sederhana dan alas kaki seadanya. Ada satu hal lagi yang membuatmu menjadi perbincangan orang banyak. Terutama di sekitar penduduk kerajaan yang begitu tinggi. Ya. Keahlianmu dalam memainkan seruling. Kau diidolakan. Meski banyak yang tak tahu tentang keadaanmu bersama seorang janda. Yang tidak lain adalah ibu kandungmu.

Atap rumah yang terdiri dari sekat ilalang tua, dengan pondasi bambu yang telah rapuh, tiada mampu menopang derasnya hujan ketika menghujam kediamanmu. Aku tak bisa menilai hal tersebut sebagai rumah yang layak. Karena jauh dari unsur kelayakan dan kepatutan. Kau bertahan dan selalu tersenyum. Meski ibumu selalu mengeluh tentang keadaannya. Sebab upah yang kau terima dalam bermain seruling dan menanam padi di sawah, hanya bisa memenuhi kebetuhan perut. Yang harus dibebankan pada dirimu

Kau tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Kau membuktikan kepercayaan ibumu yang lama-kelamaan sudah mulai tidur. Dalam peristirahatan yang makin syarat akan menjemput. Aku tahu ibumu masih hidup, tetapi dengan sikapnya itu. Aku tidak yakin dengan kehidupannya. Aku tahu. Ibumu kerap membantumu menyemai padi di sawah. Lalu menyekam padi di lumbung padi. Membantumu untuk terus bersemangat. Namun, ketika usia menggerogotinya. Tak ada perasaan puas dan yakin. Kau tetap tersenyum.

Setiap hari ibu dan anak ini selalu menjaga semangatnya, kendatipun mereka tahu tempat yang mereka kerjakan terkenal tidak pernah maju. Sebab, pemilik dari lumbung padi itu tak lain dan tak bukan adalah paman Barensyah sendiri. Jakub. Seorang saudagar kaya yang masih saudara dengan ibu Barensyah. Ia begitu kikir, loba dan tamak.
Sehingga pada suatu ketika, Sang Ibu yang begitu renta dan sabar atas kebiadaban sang Saudagar. Di rumahnya ada anaknya Barensyah yang belum makan seharian dan dalam keadaan sakit. Dan Ibu datang ke lumbung padi, dan tak menemukan satu pekerja pun datang. Para pekerja telah pergi meninggalkan pekerjaannya itu. Dan saat itu ibu pulang lagi ke rumah. Barensyah yang seketika itu masih kecil merengek meminta makan. Sebab, perutnya amat kosong dan tak terisi. Kemudian sang ibu pun menangis.

“ Kenapa ibu menangis?” Tanya Banta dengan suara pelan.
Dan bibir yang keluh sangat sulit untuk berucap. Atas keadaan yang tak sama sekali dia harapkan. Ketika paruh baya itu sedang memikirkan kata yang tepat untuk menjelaskan keadaan yang dialaminya. Sejenak beberapa menit mereka berdua terdiam.

“Bu, jangan membohongi Banta. Aku tahu mengapa ibu menangis. Pasti karena tidak mendapatkan upah hari ini. Iya kan bu? Jangan bohongi Banta.”

Masuklah bunyi keindahan ke dalam telinga seorang ibu paruh baya. Dari mulut seorang anak satu-satunya kesayangannya. Ibu kira anaknya masih kecil. Ternyata pemikirannya telah jauh begitu dewasa. Kemudian, ia memeluk anak jagoannya itu.

“Anakku, Ibu bangga sekali kepadamu, Nak. Ibu amat menyayangimu. Kaulah harta ibu satu-satunya di dunia ini.” Ucap Ibu dengan perasaan haru.

Kemudian, tanpa ada yang menginginkan untuk difikirkan, sekelibat saja pikiran melintas pada benak Banta Barensyah untuk bertemu dengan pamannya Jakub. Dan ia senantiasa pulih dengan cepatnya dan langsung bertenaga. Mungkin karena melihat ibunya yang sama dengannya, belum makan seharian. Begitu pucat wajahnya. Namun ibunya tidak mengizinkan niatan Banta untuk menemui pamannya itu. Karena Ibu sadar bahwa pamannya sudah terlampau kikir dan bukan keridhoan yang didapatnya saat menemui pamannya, justru malah cacian dan hinaan.

“Jangan, Nak! Pamanmu tidak akan menyambutmu dengan baik. Bukankah engkau tahu wataknya?” Ibu berusaha mencegahnya.

“Banta mengerti, Bu. Tapi apa salahnya kita mencoba meminta bantuan kepadanya. Dialah satu-satunya saudara kita. Kalau bukan kepadanya, kita harus meminta bantuan kepada siapa lagi.” Banta mulai meneguhkan pendiriannya.

Dan tak ada yang dapat diperbuat oleh Ibunya, sudah berulang kali ia mencegah keinginan anaknya tersebut. Namun, nampaknya sang anak telah memantapkan pilihannya untuk tetap mendatangi pamannya yang pada akhirnya telah dapat diprediksi hasilnya. Tetapi, usaha harus terus dilancarkan dan dibuat. Bukan hanya pasrah menerima takdir.

Banta Barensyah, pemuda yang memiliki hati baja. Kau disambut dengan suara pekikan dari kejauhan. Teriakan yang amat merusak telingamu dan juga hatimu. Ketika pamanmu sendiri menghardikmu dengan perkataan yang amat menyayat hati. Apabila engkau mampu melampauinya, kau dapat menjadi orang yang amat mengagumkan.

“Hai Orang Miskin! Jangan mengemis disini! Pergi kau jauh-jauh dari pekarangan rumahku!!” Hardik saudagar itu.

“Paman, berikanlah saudaramu ini segenggam padi, supaya aku dan Ibuku dapat mengisi kekosongan perut sedari kemarin. Tolonglah kami, Paman!” Banta dengan suara lirih dan sedikit memelas.

“Ah, persetan dengan keadaan kalian, Hidup atau mati pun aku tiada peduli. Pergi sana!” Saudagar itu kembali menghardik dengan ditambah cacian dan makian kea rah Banta.

Di saat itu pula, Banta Berensyah langsung mengalami kekecewaan yang amat dalam terhadap paman sekaligus saudagar yang ia kerjai tempatnya. Ia pulang dengan membawa kesedihan dan kepiluan hati atas keadaan yang keluarganya derita. Begitu pun kesedihan melihat perilaku pamannya tersebut. Sesampainya di rumah pun air mata terus saja membasahi kedua pipinya. Dan tak berhenti-henti.

Dan saat perjalanan pulang ketika dia selesai di hardik oleh pamannya, tersohor kabar dari seorang warga bahwa raja dari sebuah negeri yang tidak jauh dari dusunnya akan mengadakan sayembara. Kau mungkin tak pernah tahu bahwa cerita tentang kerajaan selalu menambahkan sayembara ke dalam perebutan kekuadaan. Sebab, hanya orang terpilihlah yang hendaknya mampu menjadi pemimpin. Orang yang tidak dapat terseleksi dengan baik, kecil kemungkinan untuk terus menerus maju menghadapi rintangan. Banta adalah seorang pemuda yang mampu menghadapi tantangan itu.

Kemudian, Banta meminta doa restu kepada rang tuanya untuk mengikuti sayembara yang diadakan oleh sang raja di dusun dekat tempatnya tinggal. Banta mengharapkan peruntungan yang memang tak setiap saat datang menghendakinya. Kau tahu-bahwa setiap jengkal hidup Banta dihiasi dengan kesedihan dan ketidakmapanan. Oleh karena itu, dia mencoba peruntungannya dengan mencoba sayembara tersebut. Banta tahu ia tidak memili kemampuan yang terlalu hebat, tetapi asal ada usaha dan keyakinan yang kuat pada dirinya sendiri, dia mampu melaluinya.

Sayembara yang diadakan bertitahkan raja bahwasanya siapapun yang sanggup mencarikan pakaian dari emas dan suasa untuk puterinya, maka dapat mempersunting Puteri Terus Mata. Dan siapakah puteri Terus Mata?

Puteri Terus Mata adalah anak perempuan Raja yang cantik jelita juga rupawan. Siapapun yang melihatnya pasti takjub akan kecantikannya. Apabila di dalam surga mengalir sungai yang berisi air susu dan madu, terdapat bidadari di setiap sudutnya. Maka Puteri Terus Mata adalah salah satu dari bidadari itu. Tak ada kata dari syair maupun puisi yang mampu membandingkannya dengan wujud apapun. Karena daripadanya kecantikan itu muncul, bahkan kata kecantikan itu tumbuh dan berakar dari setiap lekuk tubuhnya. Kulitnya yang putih langsat menjadikannya sangat mengagumkan. Belum ada perempuan di luar kerajaan yang bisa menandinginya. Dan aku pun termenung melihat deskripsi tentang seorang Puteri itu.

***
Kehidupan membawamu menjadi insan pembelajar yang lebih baik lagi. Ketika apa yang kau inginkan tak sesuai kenyataan, kau selalu berusaha tanpa mengenal letih dan waktu. Usahamu menjadi kebahagiaan yang tak dapat dibayarkan dengan barang apapun. Dengan untaian kata apapun. Ketika setiap orang mempunyai cita-cita maka banyak cara yang dapat ditempuh untuk mencapainya. Dan itu pula yang menjadi dasar yang kuat dari seorang Banta Berensyah agar dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul, mungkin sebelum dia lahir sampai saat ini.

Keesokan harinya, Banta kembali menyambangi kediaman pamannya yang tak jauh dari rumahnya. Meminta saudagar kikir itu untuk membantunya untuk mencapai tengah samudra. Dan senantiasa pamannya itu mengiyakannya. Karena dalam benak sang paman. Banta akan bunuh diri. Dan baginya ada satu orang pemuda miskin mati adalah kebahagiaan untuknya. Kemudian Banta menumpang kapal pamannya itu dengan beruntungnya. Sampai ke tengah samudera. Dan pamannya langsung menyetujuinya.

Sesampainya di tengah lautan lepas, tengah samudera. Banta meminta pamannya untuk menurunkannya, dan senantiasa anak buah kapal dari saudagar itu menurunkan Banta ke tengah lautan lepas. Dan seketika itu Banta mengeluarkan lipatan daunt alas yang diselipkan di bajunya. Yang tidak pernah ia lupa bawa setiap mau pergi kemanapun. Daun itu adalah pemberian dari sang ibu. Seperti seruling yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Karena Banta yakin, kedua barang ini akan membantunya di saat ia dalam keadaan membutuhkan dan terdesak.
“Dasar anak Bodoh! Cepat turunkan anak ini dari kapal. Biar dia dimakan ikan besar! Hahaha… “ Hardik sang paman kepada anak itu

Namun, yang tak pernah saudagar itu bayangkan ketika daun talas itu mampu menopang berat badan Banta dan dengan dibantu angin mengarahkan tubuh Banta ke arah barat. Ke arah tujuan Banta. Seketika itu arah kapal pamanya ke utara. Dengan mata yang terbelalak dan tidak percaya Paman Jakub merasa ini semua hanyalah khayalannya. Dia tahu anak miskin itu tidak bisa apa-apa. Di dalam lubuk hatinya masih tidak percaya. Ini semua tidak mungkin.

Ketika dunia lapang mengucilkan seorang Banta Berensyah, ternyata samudera tak kalah mengombangambingkanya di tengah lautan lepas. Layaknya seorang ksatria yang tak pernah menyerah. Meskipun berkali-kali kesedihan hidup kerap menerpa dan menggoda keteguhan hatinya agar senantiasa menyerah dengan kepahitan hidup yang dialaminya. Sampai beberapa waktu ia menemukan sebuah pulau. Pulai yang amat indah lagi memesona. Betapa pun kau memejamkan mata. Yang ada hanyalah hamparan pantai yang indah. Memesona.

Kau mengitari setiap sudut pantai dan desa, dan yang kau temukan adalah hamparan kain tenun yang dijemur amat rapi. Menyilaukan setiap mata yang memandang. Dan rupanya, kain tenun adalah mata pencarian utama warga pulau tersebut. Betapa beruntungnya Banta, kau menemukan jalan terang menuju tujuanmu. Kain Emas dan Suasa.

***
Tiap detik menjadi amat berharga. Hamparan waktu menjadi dilema yang tak berkesudahan. Pada puncak gunung terdapat suatu hal yang ingin dicapai, pada luasnya samudera terdapat suatu hal yang ingin direngkuh dan pada tingginya langit terdapat suatu hal yang ingin diraih. Kau tak ayalnya sebuah debu yang tak terlihat namun harus terus ada. Sebab, kau hanya mengikuti angin. Mengalir di saat hujan membasahimu. Dihancurkan dalam tubuh yang makin kecil. Debu.

“Tok.. Tok..Tok..! Permisi Tuan!” Seru Banta Berensyah pada salah satu rumah yang tidak lain adalah rumah kepala kampong pulau tersebut. Sebab, hanya rumah inilah satu-satunya yang belum disinggahinya selama beberapa hari terakhir berada di kampong tersebut.

“Ada yang bisa kubantu, Anak Muda?” Tanya laki-laki paruh baya yang tak lain adalah kepala kampung pulau tersebut. Dan Banta langsung memperkenalkan diri seraya menceritakan asal-usul kedatangannya beserta maksud kedatangannya.

“Maaf, Tuan! Kedatangan saya kemari ingin mencari kain tenun yang terbuat dari emas dan Suasa. Jika Tuan memilikinya, bolehkah saya membelinya?”Pinta Banta Barensyah

Bapak kepala kampung pun kaget, ia bertanya-tanya apakah pemuda lusuh dana mat sederhana ini mampu membeli kain emas itu.

“Hai, Banta! Dengan apakah kamu dapat membayar kain emas dan Suasa itu? Apakah kamu mempunyai uang yang cukup untuk membayarnya?” Tanya kepala Kampung

“Maaf, Tuan! Saya memang tidak memiliki banyak uang, tapi saya akan membelinya dengan lagu. Apakah Tuan memperbolehkan saya membayar dengan lagu? Pinta Banta seraya mengeluarkan seruling. Ya seruling itu.

Kemudian, Kepala kampung langsung bertanya kepada Banta tentang yang dilakukannya tadi. Ketika ia amat mengeluh-eluhkan Kain itu. Padahal Banta tak memiliki modal yang cukup untuk membayarnya. Dan dijelaskan kepadanya apa alasan yang amat mendasar dia menginginkan kain dan suasa itu. Hati Kepala Kampung pun menjadi iba. Seperti manusia, umumnya memiliki sifat empati terhadap seseotrang tentang pengalaman peristiwa demi peristiwa yang dilalui.

“Kamu sangat mahir memainkan seruling, Nak! Kamu pantas mendapatkan Kain Emas dan Suasa ini.” Kata Kepala Kampung sambil tersenyum menahan tangisan bangga kepada Banta

“Terimakasih, Tuan. Banta berhutang budi kepada Tuan. Semoga Tuan diberikan pahala yang setimpal dengan apa yang Tuan berikan kepada hamba.” Kata Banta

Setelah itu, Banta pun meninggalkan pulau itu dan berlayar mengarungi lautan luas. Daripadanya dibawa kain emas dan suasa yang susah payah ia dapatkan dan ia perjuangkan. Kau begitu gembira dalam naungan kebahagiaan dan ketaatan. Dengan daun talas yang kau gunakan untuk berkendara mengejar cinta seorang Putri Terus Mata.

Namun, kegembiraan itu tak bertahan lama ketika datanglah seorang Jakub yang amat bengis. Kepulangan Banta bertepatan dengan kepulangan Jakub berlayar. Sehingga mau mereka berdua bertemu kembali. Kemudian dengan akal piciknya, Jakub mampu dengan mudah merebut kain emas dan suasa yang begitu sulit untuk didapat itu. Maka Jakub merebutnya tanpa ada belas kasihan kepada pemuda malang itu. Jakub begitu bangga dan bahagia karena dengan otomatis dia dapat menikahi Putri Terus Mata. Jakub merayakannya sampai larut malam di kediamannya. Dan esok harinya langsung ia berangkat ke kerajaan dekat dusunnya itu seraya menyerahkan Kain Emas dan Suasa yang ia rebut dari Banta.

Keadaan Banta pun tak kalah tragis, sebab kesedihannya itu ia tenggelam dalam lautan dan terdampar di pesisir pantai. Ia begitu lemah dan tak berdaya. Banta terus menyalahkan dirinya sendiri. Untungnya ia ditolong oleh sepasang suami-istri yang baik hati. Dirawatnya dengan obat herbal yang berkhasiat. Tak sampai seminggu ia langsung sembuh. Dan berterimakasih kepada sepasang suami istri itu. Mereka pun tak mengharapkan imbalan apapun. Hanya kesediaan Banta sebagai anak angkatnya saja. Banta pun tak ragu menerima mereka sebagai orang tua angkat.

***
Ada yang bersedih, secara bersamaan adapula yang bersukacita. Seperti adanya malam selalu diiringi dengan bintang dan bulan. Seperti matari yang selalu diiringi dengan planet-planet yang bergerak sesuai orbitnya. Dimanapun kebahagiaan itu tumbuh, pastilah ada duri-duri kesedihan muncul. Namun, kembali menghilang. Begitupun yang terjadi pada pemuda itu, telah direlakan dari lubuk hatinya melepaskan setiap kecurangan demi kecurangan yang dialaminya. Hanya bisa kau lihat tanpa bisa berbuat. Kau laksana buah yang begitu saja dipetik orang saat masak. Dan tumbuh kembali lalu dipetik lagi.

Jakub pun tiba saatnya menkahi sang Putri Raja. Seorang paruh baya yang diberikan kesempatan dalam kepicikan yang dibuatnya sendiri. Melengganggkan dirinya dalam kubangan kebahagiaan demi kebahagiaan. Dan seketika datanglah burung-burung elang dari langit. Tak biasanya ini terjadi. Burung-burung elang itu membongkar kedok si laki-laki tamak ini.

“Jakub… Licik… klik! klik! Jakub… berbohong… Klik! Klik! Kain dan Suasa itu bukan miliknya.” Semua orang yang ada di acara pernikahan itu terkejut mendengar suara burung ajaibitu. Seketika wajah Jakub menjadi pucat karena malu. Sementara itu Berensyah menghadap baginda Raja.

Kemudian, segera mungkin sang Raja memastikan bahwa Kain Emas dan Suasa itu bukan milik Paman Jakub. Kesemuanya adalah milik Banta Berensyah. Si pemuda gagah berani itu. Yang tidak satu orang pun tau jerih payahnya yang amat bersungguh-sungguh. Mencari ke tengah samudera dari pulau ke pulau. Dan bersamaan dengan itu, untuk menahan rasa malunya, Jakub kabur dan melarikan diri secepat mungkin. Ya. Dia masih menjadi saudagar kaya. Tetapi, kekayaannya hanya di harta saja, bukan di hati.

Kau yang tak menapaki jalan lurus akan dengan mudah terlalaikan dengan pesona alam di sekitar. Godaan-godaan akan selalu datang menghinggapi seperti lalat-lalat yang mengerubungi sampah dan makanan busuk. Kau yang begitu, hanya menjadi sebuah keniscayaan dari orang-orang terdahulu. Ketika sikap dan moralnya tidak mencontohkan kepatutan.
03 Mar 2018 00:31
271
Dapur Mandiri, Jalan Juragan Sinda IV, Kukusan, Kota Depok, Jawa Barat
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: