

Kawan, apa itu neraka dunia? Mari kita bernafas lagi, menemukan kembali jalan kita. Banyak lumpur. Banyak belukar.
Suatu hari, nyala lampu di rumah, aroma kasur, meja game yang menggoda, visual video yang menggiurkan, mereka tidak akan berhenti menjadi hantu.
Dan aku, kamu, kita, akan selalu digentayangi, lantas apakah ini jalan yang akan kita ambil dan memilih kalah?
Aku tau, yang kita hadapi ini memiliki rupa menakutkan. Bermuka tua, bersuara gemuruh, mencakar malam, menusuk siang, lalu kitalah yang selalu menerima rasa payah dan nyeri hati.
Haa, mungkin selama ini kita dalam genggamannya. Aku tau, suatu hari, dia menjelma kesepian mendalam, mencakar dinding hati, serta melukai orang-orang di sekitar kita.
Tapi hari ini, dia yang menjelma nenek tua ini, akan kita hadapi.
Karenanya, hari ini aku sempat melukai nafasku. Sepagi-pagi kubungkus sisa udara dalam knalfot motor. Meraung ditengah jalan. Memergoki setumpuk macet, yang memagari celah-celah sempit jalanan. Lalu aku, lagi-lagi mati, tertimpa kekehannya yang memenjara tiap jengkal gerak. Kita terbatas. Kita tertawan dan saat segala upaya terpojok, aku melupakan alamat penting, untuk mengadukannya.
Kupikir, tidak ada kata untuk berdamai. Bertahun lama aku terjebak di kerut wajahnya yang kian hari kian menghimpit. Seorang lelaki yang geram ini mematuk-matuk tanda lampu merah yang dia tanam.
Aku tau arti isyarat itu. Dia menakutiku seolah segala upaya ini buntu. Dan mesti terima ending cerita sehitam apapun bentuknya. Atau dalam bentuk paling menyiksa. Dia menciptakan perangkap labirin tanpa jalan keluar, yang khusus hanya untuk kita sebagai tikus yang mengais-ngais di dalamnya.
Aku tegaskan terakhir kali, meski kesadaranku disita semuanya, aku masih mampu menuliskannya dengan utuh. Mengingat setiap sudut muram hari ini, kemarin, ataupun yang lusanya. Esok hari, segala hal yang dicuri dariku akan kuambil seutuhnya.
Selasa, 11 November 2025

