Saat pertama kali melihatmu, lalu mengenalmu, tahu tidak? Dengan sendirinya, ekspektasiku langsung melayang tentang pasangan hidup yang nantinya akan kamu inginkan.
Pertama, aku rasa pasti tampan dan punya gudang ilmu. Kedua, memiliki tempat berteduh dan punya kendaraan yang tidak akan bersentuhan dengan hujan ketika langit sedang menangis. Selanjutnya, memiliki rupiah yang cukup untuk sepuluh tahun kedepan. Dan, aku rasa itu alasan pasti.
Cukup wajar jika kamu akan mengabaikan lelaki yang mengajakmu mendaki di bukit yang tak punya puncak, berlayar di kapal yang tak punya tempat untuk berlabuh, melayang di langit yang tak cerah dan menapaki perjalanan yang benar-benar belum punya arah langkah.
Malam ini, aku dan kamu duduk menghadap dinding. Sambil menghabiskan vodka terakhir yang kita minum berdua dan membakar rokok yang asapnya sudah memenuhi sudut kamarmu, kamu tersenyum dan berkata “Dulu, aku pernah mencintai seseorang tanpa alasan. Dia berhasil meyakinkan aku untuk menapaki kaki di jalan yang belum punya arah, kapal yang tak punya tempat berlabuh, dan langit yang tak cerah. Ah, bangsat! Dia malah pergi dengan seseorang yang memiliki tujuan yang jelas. Dan aku? Aku tersesat sendirian di perjalanan, terombang ambing di kapal yang tak punya tempat berlabuh, dan menangis di bawah langit yang mendung"
Katamu lagi, sejak saat itu, ketika hari-hari sudah berganti, waktu tetap berlari tanpa menunggu, namun pikiran tentang dirinya tetap tak henti. Hatiku sudah mati pada lelaki, dan salah satunya pada lelaki yang tak punya arah langkah.
Aku mengangkat gelas terakhir dan berkata “Tuhan, doa kami tidak bisa panjang, sebab tersumbat pada vodka. Apa salahnya, jika rasa bertumpu pada orang yang tak akan pernah menjadikanku tempat tujuan?