Didepan teras rumahku kamu bercerita
Udara puncak bogor setelah hujan sudah tak sehangat waktu aku dan dia bercanda bahagia dan bukan mimpi, bintang-bintang di langit, udara yang semakin malam semakin dingin dan tukang villa yang kita temui di pinggir jalan menjadi saksi kebahagian kita.
Aku dan dia selalu berada dalam percakapan yang panjang sebelum bercinta, sambil meneguk alcohol dan mengisap puntung-puntung yang sisanya telah memenuhi asbak bersama debu-debu tembakau, membuat bibirmu terasa manis seperti anggur saat ku lumat dan ku jilat.
Ruangan ini wangi cinta, aku dan dia, asap rokok, alcohol dan cumbu rayu.
Lampunya sudah redup,rambutku sudah tergerai,lepas pakaianku, semuanya saja, cium bibirku atau setubuh-tubuhku yang kamu mau, pegang lekuk yang kamu ingin, raba apapun yang membuatmu bangkit, pada lelaki seperti kamu aku serahkan semaumu adalah pasrahku, mau sambil duduk silakan, mau bersandar di meja boleh, mau diatas ranjang, tak apa, berisik kita bersama.
Ah bangsat... akan banyak malam yang ku hitung tanpa ceracaumu saat kita bercinta. Jarak, ku kira bisa menjadi alasan untuk kita bertemu di hari yang ku namai “ ENTAH KAPAN “. Waktu, ku kira bisa membawa kita pada tingkatan yang ku namai “ KESIAPAN “. Ruang ku kira adalah ia yang menjadikan kita yang ku namai “ HARAPAN “.