Aku masih saja duduk, ditemani secangkir kopi juga udud. Beberapa kali pindah mencari tempat nyaman untuk menyesap kopi.

Terkadang aku berhenti menyesap, seperti ada yang sedang mengaduk dikepalaku.

Apa itu? akupun tak tau.

Waktuku ditanah rantau hanya tinggal sedikit, itupun kalau tak mau dibilang habis. Ingin segera pulang pikirku, atau akau tambah saja sekalian. Seandainya boleh, menetap saja mungkin.

Tapi sepertinya itu bukan aku. Aku hanya seorang pengembara tanpa kompas, tak memiliki asset juga penghasilan tetap. Hanya saja aku kerap dijumpai keberuntungan, ya sepertinya tuhan memang sengaja memberikannya untukku.

Disela sesapan kopi dan hembusan asap yang berasal dari ududku, muncul pelik. Sedang dimana aku, apa yang aku cari, kemana tempat yang ingin ku tuju. Paling sering, pekik itu berkata. Apa guna kamu wahai pengembara?

Hidupmu yang sekali itu bukankah untuk menjadi seorang. Seorang yang berguna kah itu, terkadang aku balik bertanya. Dan sudah barang tentu tak ku temukan jawabannya. Bagaiman bisa pekik memberikan jawaban.

Ahh, rasa-rasanya masih saja ada yang mengaduk. Bahkan kini tak hanya dikepalaku, mungkin dihati juga seluruh tubuh.

Apakah bisa terus mengembara tanpa kompas?

Kalaupun tidak bisa, bagaimana mungkin aku masih bertahan sampai titik ini.

Harapan. Apakah itu yang membuatku bisa terus mengembara, sekalipun tanpa kompas.

Rasanya sia-sia jika aku terus bertanya. Lebih baik aku lanjutkan saja menyesap kopi. Mungkin saja aku akan menemukan kompas, yang akan menunjukkan arah jelas. Sekalipun belum ada arah tersebut, setidaknya aku memeliki kompas, harapan juga keberuntungan.