/1/
Di Tanjung Karang, kekasih,
tempat kita kembali menyusuri jalanan
yang menyebut-nyebut puisi ini sebagai pertanyaan,
“dengan apa sebaiknya kesepian ini dinamai?”.
/2/
—kau membacanya dalam lalu-lalang kelisanan
sebagai surat kabar berbahasa asing
dan berharap mendung yang tandang kali ini
memberi jawab tanyamu yang ditunggu-tunggu
seperti saat jeda dan libur, semasa kuliah; dulu.
/3/
Masa silam menjelma lampu-lampu tua.
Ia terkutuk atas nama menjaga diri—termasuk kita yang
berada di dalamnya, menjadi; aku dan kau, tapi tanpa
ada kita di antaranya.
/4/
Di Tanjung Karang, kekasih,
kita tak dapat menemukan apa-apa,
selain diri kita yang menutup perjalanan puisi ini dengan
menenggak segelas air mata kita berdua masing-masing.
Bandar Lampung, 2019