Tak lagi kutemui sapamu dipagi hari, matahari telah terbangun dari peristirahatannya, dan aku masih terjaga mendapati hati terkoyak mati saat kau tinggalkan pergi. Tawa masih tertahan dalam ingatan semalam, tentangmu kali ini begitu haru aku rasa.

Melewati hari kini sendiri tanpa kehadiranmu kembali, semestaku seperti berhenti berotasi, cerita panjang yang telah terangkai dibiarkannya teronggok sepi. Hanya aku yang memungut sisa keping hati yang terbakar sebab egois yang menggerogoti nurani. Keangkuhan membutakan logika, tak mampu berpikir jernih dalam menentukan pilihan. Bertaruh dengan segala keadaan, pisah seakan menjadi pilihan paling tepat di antara bertahan dan memperbaiki yang sudah ada. Bersenjatakan emosi yang meluap-luap kau diperdayakannya, semua yang terlintas adalah hal yang baik untuk sebuah pilihan yang mungkin tidak benar-benar baik.

Kau meninggalkan tanpa lambaian bahkan berpamitan, aku sudah muak dengan segala perpisahan dan kepergian, terlebih aku selalu menjadi pihak yang paling merasa sendirian dan kesepian. Kesedihan menggantung hebat dalam hati, bertanya pada diri sendiri mengapa ini bisa terjadi… “lagi dan lagi”.

Aku selalu takut untuk memejamkan mata, sebab wajahmu masih begitu tergambar jelas, perbincangan dan suaramu masih pekat teringat. Aku dipaksa berdamai dengan kerelaan yang sebanarnya kau saja yang rela, aku… tidak, tidak akan pernah rela dengan sebuah perpisahan.

Di pelataran senja tergantung harap, bahwa ini hanya sebuah mimpi buruk yang tak pernah terjadi. Malam kembali hadir menyambut takdir bahwa memang kau tak lagi hadir.