Sangkuriang, Glosolalia Lelaki Tua, dan Selinting Bako Mole
Cerpen
Kutipan Cerpen Sangkuriang, Glosolalia Lelaki Tua, dan Selinting Bako Mole
Karya ruhlelana
Baca selengkapnya di Penakota.id

Seorang lelaki tua; belum berkarat; kau bisa melihat ketuaannya melalui mata mapannya; tajam, bijak, dan sedikit merengek khas orang tua; menghembuskan asap bako mole berlintingkan papir manis berbau 5 dekade lalu; membawanya pada sebuah pelaminan sakral tanpa teks-teks terjemahan; membawaku pada saat-saat kota Bandung masih memiliki ribuan pohon rindang dan kereta kuda berlalu-lalang; sejumput memori; sisa-sisa kekejaman Daendels; berderet-deret heritage; pakaian khas kebudayaan Indis: sarung batik, jas putih, serta blangkon; dan kata-kata baru yang begitu halus dari Majalah Poesaka Soenda; seperti jenengan dan mulih.


 


Dia mengerutkan keningnya yang terbangun oleh sejarah dan bentuk-bentuk huruf Kawi yang dimulai oleh ha dan diakhiri oleh ngha; sejarah yang begitu disesalinya; begitu tidak inginnya dia mengingat itu seperti kau tidak ingin mengingat seorang perempuan…


 


…yang kau pikir begitu mencintaimu 


tapi kau pernah memergokinya bercinta dengan lelaki lain…


tapi saat itu kau memberikan apologi atas tingkahnya... 


meski kau sangat ingin membunuh keduanya saat itu juga…


tapi kau tidak melakukannya sebab kau begitu mencintainya...


yang ada dalam pikiranmu adalah... 


menyodomi laki-laki itu... 


hingga laki-laki itu menyesal pernah lahir ke dunia...


 


Belanda mengubah seluruh sejarah leluhurnya (yang sudah ribuan tahun dibangun melalui tradisi lisan) menjadi teks-teks tanpa ruh; menggelayuti berbagai kaitan makna dan kata; semewujud kehambaran itu sendiri; sehambar keheningan artifisial yang diciptakan oleh kejemuan yang memadat hingga nyaris mati; sesunyi dirinya saat ini.


 


Lelaki Tua itu, dalam racauan skizofreniknya, menjelaskan...


 


“Cerita Sangkuriang mengalami perubahan pada setiap generasi tapi masih ada satu nilai yang terus dipertahankan oleh para pendongeng.


 


“Tradisi teks menghancurkan itu. Tradisi teks mempertahankan cerita tapi menghilangkan nilai utama cerita.


 


“Teks membuat sebuah cerita menjadi seolah abadi karena berhasil dituangkan dalam media lain, padahal busuk; dan abadi dalam kebusukannya.


 


“Akan terus melusuh seperti buku-buku tua di perpustakaan penuh debu, tak terawat, berbau kematian para penulis.


 


“Kering improvisasi, kering reduksi, kering diksi.


 


“Kau harus belajar banyak tentang tradisi teks dan tradisi oral, Anak Muda, jangan cuma oral seks yang ada dalam pikiranmu!”


 


Lelaki Tua itu diam sejenak, memandangku, terus menghisap kembali bako mole-nya, memandang jauh Tangkuban Parahu di utara.


 


“Saat itu segala hal mengalir, pengetahuan mengalir dari satu mulut ke mulut lain tanpa pernah menjadi baku…


 


“Bahasa bagaikan air, mengalir dan luwes mengikuti tempatnya berpijak...


 


“Kata-kata menjelma angin selatan, menghembus…” dia menyulut lintingan barunya yang tersusun rapi dalam sebuah kantung kain bergambar koboy.


 


Asap rokoknya mengingatkanku pada bau sapi betina yang baru diperah susunya, menguik.


 


Lalu dia melanjutkan ceritanya, “Huruf-huruf itu dijejalkan ke dalam otakku seperti sampah busuk, memprovokasiku, meracuniku, menggilasku menjadi serpih-serpih tinja, mengotori seluruh kisah-kisah masa lalu yang pernah kuelu-elukan bersama teman-temanku...


 


“Aku selalu ingat waktu kecil, bersama mereka, berenang telanjang di sebuah leuwi sambil menceritakan kekonyolan Si Kabayan. Selalu ada versi berbeda untuk cerita yang sama...


 


“Saat ini Si Kabayan sudah tidak seluwes itu lagi, sudah tidak selucu itu lagi. Si Kabayan sudah bermutasi menjadi teks...


 


“Menjadi ribuan kata yang bergelora, menggeliat, ingin melepaskan diri dari keterpurukan yang diba-ngun oleh huruf-huruf itu sendiri, terjebak dalam kertas, lalu menguning di sana; rapuh, renta, tua. TEKS-TEKS SEKARAT!” dia mengakhiri paragraf itu sambil berteriak, lalu-lalang dan lalu-lintas spon-tan menoleh pada kami.


 


Lelaki Tua itu diam, menghisap bako mole-nya, melihatku, meracau tak jelas, lalu memandang lagi Tangkuban Parahu.


 


10 menit berlalu...


Aku tetap di sana, duduk di jembatan itu bersamanya, Sang Lelaki Tua, menunggunya bercerita tentang seluruh kerisauannya pada teks-teks yang sekarat.


 


Lelaki Tua itu melanjutkan lagi ceritanya, “Ingin sekali aku membakar tumpukan bangkai-bangkai teks itu, agar lidah masih bisa bercerita, memberi ruh reduksi dan spirit improvisasi pada pengulangan cerita dari satu mulut ke mulut lain...


 


“Aku sudah mendengar ratusan versi cerita Sangkuriang, Anak Muda…


 


“Bahkan aku pernah melihat Sangkuriang berwajah Arab dan Dayang Sumbi berwajah Indo…


 


“Aku juga pernah melihat Dayang Sumbi menolak status quo yang diperankan Arahmaiani dalam performance art-nya…”


 


Ya, aku ingat pertunjukan itu, Dayang Sumbi Menolak Status Quo. Aku ada di sana, menontonnya. Tapi aku tidak ingat pernah bertemu dengan Lelaki Tua ini.


 


“Saat ini cerita Sangkuriang dipermanenkan oleh teks, tidak berkembang lagi, berakhir pada versi yang saat ini kau tahu, yang paling keliru!” tandasnya.


 


Lelaki Tua itu diam kembali dan menghisap lintingannya lagi sambil memandang Tangkuban Parahu. Kali ini diamnya cukup lama. Sore mulai menjelang.


 


Dalam beberapa saat pada keheningan itu, dia meracau cepat, sedikit sekali yang bisa kutangkap dari kalimat-kalimat skizofreniknya.


 


Dari beberapa hal yang bisa kutangkap, ada beberapa frase yang menarik bagiku, seperti: sasaka domas, budak angon, dan balung tunggal.


 


Aku makin penasaran siapa Lelaki Tua ini sebenarnya, makin penasaran juga pada lanjutan ceritanya.


 


Bandung sebentar lagi dirundung kegelapan, Lelaki Tua itu menunjuk Tangkuban Parahu, ”Anak Muda, Sangkuriang itu simbol…


 


“Simbol dari sekelompok orang yang memberontak… yang mencoba mengubah tatanan… melawan kemapanan…


 


“Dayang Sumbi adalah simbol generasi tua yang jatuh cinta pada ide-ide baru… tapi mereka berdilema dengan kerentaan dan aturan yang menjebak tubuh mereka sejak lahir…


 


“Dua kelompok ini tidak mewakili gender tertentu, tapi mewakili generasi tertentu…


 


“Sangkuriang mewakili generasi muda, adalah generasi legenda, generasi penggembala. Dayang Sumbi mewakili generasi tua, adalah generasi maestro, generasi berjanggut…


 


“Saat itu kedua kelompok ini melawan musuh yang sama seperti yang sedang kulawan saat ini: KEKUASAAN!


 


“Oedipus, Jim Morrisson, Mikhail Bakunin, Gatholotjo, Syech Siti Jenar, Buddha, Nietzsche… adalah anak-anak haram seperti Sangkuriang, dan kita berdua, aku, aku yakin kau juga, Anak Muda, semuanya memberontak melawan kekuasaan, setidaknya melawan ayah mereka, ayah kita, penguasa kolektif terkecil: keluarga!”


 


Aku memandangi Lelaki Tua itu, memandangi kerut-kerut di mukanya, daki yang sudah menempel ribuan tahun di kulitnya, racauan skizofreniknya yang berulang-ulang, rambutnya yang menggimbal, bau tubuhnya yang seindah tumpukan sampah sore hari di pasar-pasar tradisional.


 


Bandung sudah benar-benar gelap jika saja lampu-lampu kota tidak menerangi tempat ini. Lelaki Tua itu terus meracau tak jelas.


 


Sudah saatnya aku pergi. Kupikir dia sudah menceritakan semuanya.


 


Aku bangkit berdiri. Lelaki Tua itu memegang pergelangan tanganku lalu menariknya. Aku sedikit kaget. Saat itu wajahku hanya beberapa senti dari wajahnya.


 


“Kau jangan percaya pada sejarah, Anak Muda! Sejarah adalah alat kekuasaan!” ujarnya dengan hentakan misterius di setiap akhir kalimat.


 


Lelaki tua itu melepas tanganku, mengambil selinting bako mole dari tas kainnya, dan menyerahkannya padaku. Aku mengambilnya sambil berucap terima kasih. Dia mengangguk dengan matanya yang tajam, setelah itu memandang lagi Tangkuban Parahu yang sudah menjadi siluet.


 


Sedetik kemudian, sebelum aku melangkah pergi, purnama menetas di timur, cahayanya merekahkan senyum di bibir hitam Lelaki Tua itu dan menyamarkan sorot liar di matanya.


 


 


Bandung, Purnama Bulan Mei, 2001


 

25 Feb 2019 15:42
211
Perpustakaan Ambu, Jalan Mega Bhakti, Sawah Gede, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Indonesia
2 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: