Lelaki Tua dan Papan Caturnya {Bagian 1)
Cerpen
Kutipan Cerpen Lelaki Tua dan Papan Caturnya {Bagian 1)
Karya ruwaidahanwar
Baca selengkapnya di Penakota.id

Waktu kenaikan kelas ke kelas sebelas, aku tidak terlalu bimbang untuk memilih kelas Bahasa. Sebab aku sangat percaya diri untuk menjadi ahli di bidang bahasa Indonesia. Banyak orang yang meremehkan bidang studi ini, bahkan menganggapnya tidak penting dipelajari. “Cukup sebagai bahasa sehari-hari, tidak perlu diperdalam.” Begitu ungkapan Wakil Kepala Sekolahku yang juga merupakan Guru Bahasa Inggris. Bagiku mereka tidak memiliki kesadaran bagaimana Bahasa Indonesia telah menyelamatkan bangsa Indonesia dari keterbatasan komunikasi dengan tantangan ragam bahasa daerah yang berjumlah ribuan. Bahkan aku membaca beberapa uraian esai-esai tajam dan penting para intelektual Bahasa dan Sastra Indonesia dimana Bahasa Indonesia di satu sisi telah menggusur Bahasa Lokal dan di sisi yang lain tergusur oleh tren Keminggrisan yang banyak diidap oleh generasi baru. 


Aku mengisi formulir pemilihan jurusan dan mengembalikannya ke meja Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan. Dengan rasa malas aku mencari urutan huruf R. Aku terpaku pada sebuah nama. Nama seseorang yang sering membuatku jengkel ketika kelas Sepuluh. Ramdin. Dia adalah anak yang paling sering merundung siswa lain, termasuk aku. Kendati aku pandai bela diri, namun aku lebih sering menahan diri untuk tidak melakukan kekerasan apapun di Sekolah. Aku tidak ingin membuatnya terluka dan tidak suka melibatkan orang tua dalam hal-hal seperti ini. Setiap kali Ramdin berulah, aku cukup mengarahkan tatapan tajam ke arahnya. 


“Rizky, kamu jadi ambil jurusan apa?” Bu Tuti, Guru Bahasa Indonesia, membuyarkanku. 

“Jurusan Bahasa Bu.” Jawabku.

“Wah baguslah, nanti jika jadi anak waliku, kau jadi ketua kelas ya.” 

Aku agak kaget. Dengan kebesaran jiwaku aku menyatakan keberatan. 

“Oh ya Bu, mungkin itu, kita perlu mendiskusikannya dengan teman-teman di kelas nanti.”

“Ya, tentu.” Jawab Bu Tuti sambil tersenyum. 


Di tingkat sebelumnya, aku juga menjadi ketua kelas. Entah mengapa Bu Tuti bisa dengan percaya diri memintaku menjadi ketua kelas. Aku menduga, Pak Mahmud, wali kelasku sebelumnya banyak membicarakanku di antara guru-guru. 


Suasana sekolah sangat lengang ketika masa-masa kenaikan kelas. Kami hanya datang untuk mengisi formulir dan membayar biaya pendidikan. Aku menunggu ayahku yang sedang menemui pihak keuangan sekolah sambil menikmati es jeruk buatan Bu Rina, petugas Kantin yang sangat ramah dan menyenangkan. Semilir angin membuatku lebih tenang biarpun matahari semakin terik. Buah-buah terakhir pohon jambu air yang ada di halaman sekolah nampak segar untuk dipetik. Aku memungut beberapa yang jatuh dan masih utuh. Lumayan untuk dinikmati. 


Dari jauh, aku melihat seorang Bapak paruh baya, Aku menduga itu adalah Pak Nur. Ayah Ramdin. Badan kurusnya sangat aku hafal. Setiap ke Pasar, aku pasti makan di Warung Gado-gado miliknya. Ia berjalan agak menyeret kaki kirinya. Aku segera mendekat ke arahnya untuk meyakinkan diriku. Ya betul. Itu adalah Pak Nur, ayah Ramdin. 

“Pak Nur!” Aku berteriak setengah berlari ke arahnya. 

“Eh Rizky!” balasnya, sambil melambaikan tangannya. 

Aku meraih tangannya, mencium punggung tangannya, “Pak, apa kabar, kakinya kenapa?” Tanyaku penasaran. 

“Oh ini, habis operasi. Diabetesku makin parah Ky.” Beliau menunjuk beberapa jemarinya yang sudah diamputasi. 

“Aduh, sabar ya Pak. Kenapa tidak Ramdin saja yang ke sekolah Pak?” Aku memapah Pak Nur menuju Ruang Kesiswaan. 

“Ah anak itu … “ sejenak Pak Nur menarik napas sambil mencoba mencari posisi duduk yang pas di ruang Kesiswaan.

“Tahun ini, dia naik kelasnya percobaan Ky, kata Pak Mahmud, nilai dan presensinya tidak cukup. Jika dua bulan ini membaik, dia akan tetap di sekolah ini.” jelas Pak Nur. 

“Hallo Pak Nur, apa kabar?” Mr. Ali, Waka Kesiswaan, datang ke arah kami. 

“Alhamdulillah, Baik Pak Ali.” Jawab Pak Nur, pendek. 

“Rizky, bagaimana kabar juga?”

“Alhamdulillah, baik juga Mr! Jawabku. 

“Hm, apakah oke bila saya bicara berdua saja dengan Pak Nur?” Mr. Ali menatap ke arahku. 

“Wah tentu Mr. Sepertinya Pak Nur memang datang menemui Mr, hehehe.” Candaku. 

“Pak Nur, saya duluan ya, nanti saya coba bicara juga ke Ramdin.” Aku meraih tangan Pak Nur dan Mr Ali, menciumnya takzim. 

“Terimakasih ya Ky.” Kata Pak Nur. 


Aku meninggalkan mereka berdua. Nampak beberapa siswa dari kelas lain juga sedang mengisi formulir. Semakin siang, semakin banyak siswa dan orang tuanya datang melakukan registrasi ulang. 


Aku menemui ayahku di parkiran. Ia melihat ke arahku sambil menghisap rokoknya. Asap mengepul dengan angkuh. 

“Ayah, kau tidak boleh merokok di lingkungan sekolah!” tegurku.

Ayahku tersenyum tipis. “Baik Bung Muda! Maafkan aku!” Ia mematikan rokoknya dan masuk ke dalam mobil. “Kau dari mana?” sambungnya. 

“Tadi aku menemani Pak Nur, apakah Ayah tahu, beberapa jari kakinya diamputasi karena diabetes.” Aku memasang sabuk pengaman. 

“Astaga! Separah itu?” Ayah seperti tidak percaya. “Gula benar-benar telah membunuh umat manusia, itulah mengapa Ayah lebih memilih kita minum yang sehat-sehat.” 

“Ya, Ayah juga harus mengurangi rokok, agar Ayah hidup lebih lama dan membiayai pendidikanku!” Aku melihat ke arah depan dan ayahku menertawakan peringatanku dengan puas.* (Bersambung)


….







28 Sep 2022 15:59
89
Yogyakarta, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia
3 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: