oranment
play icon
Rumaya
Cerpen
Kutipan Cerpen Rumaya
Karya saktiramadhan
Baca selengkapnya di Penakota.id
“Rumaya, jika sampai lusa aku tak pulang, naiklah motor ini dan berkendaralah ke utara. Jangan khawatir tersasar, sebab sepanjang hidup ini, hatimu adalah peta terbaik untuk menemukanku."

Hening menjelma jadi selimut dalam obrolan. Laki-laki berambut ikal dan wajah penuh minyak itu sempat tersenyum. Kendati Rumaya tak melihatnya.

"Namun, jika nanti di perjalanan motor ini mogok, jangan marah. Rawatlah sepenuh hati seperti kau merawat cinta dan kakao kita di ladang Pak Agam. Kau bisa membetulkannya sembari menungguku setelah membeli hadiah perkawinan untuk Cut.”

Itulah pesan yang akhirnya membuat Rumaya betul-betul memerhatikan motornya. Sebelumnya, ia hanya membiarkan motor itu terparkir di pelataran rumah, tak peduli hujan, tak peduli panas, tak peduli badai, dan tak peduli jika dicuri. Untuk pilihan yang terakhir, ia rasa tak akan ada maling yang kehabisan barang curian hingga harus mencuri motor yang kalau digas pada kecepatan 40 km/ jam, terasa rontok besi-besinya.

Motor itu, hadiah pernikahan pemberian orang tuanya – yang diniatkan sebagai modal awal untuk pulang-pergi ladang. jadi tak perlulah yang bagus. Asal rodanya masih berputar sesuai diameter lingkaran, itu sudah cukup. Tak perlu yang besar, asal muat ditaruh karung-karung kakao sehabis panen, Itu sudah sempurna. Asal pantat Rumaya masih nyaman dibonceng jok yang kerasnya seperti batu, itu sudah lebih dari apa pun untuk mendeskripsikan sebuah motor bagus di dunia ini. Seumur dengan pernikahan, lima belas tahun sudah motor itu menjadi temannya.

“Motor ini memang ditakdirkan bergerak lambat, Rumaya. Supaya kita bisa menikmati setiap detik perjalanan ini,” jawaban santai suaminya setiap kali Rumaya mengeluh, mengapa harus berpergian dengan ‘batu berjalan yang lengkap dengan dua roda’.

“Tapi Cut sudah kelaparan, kita harus cepat sampai rumah. Kasihan dia, masih enam tahun tapi sudah berteman dengan lapar. Kita harus secepat mungkin menukarkan kakao ini dengan uang. Hari ini harus makan enak, sekali-kali lah kita bisa buat anak kita bahagia, jangan makan nasi dan sayur bening terus.”

“Iya, Rum,” jawab suaminya kala itu. Tangannya langsung menarik tuas gas lebih dalam lagi, namun motor tidak bertambah cepat, hanya jelaga yang bertambah pekat.

Kenangan yang berputar seperti kaset otomatis itu membuat Rumaya refleks memegang knalpot motornya. Dua hari motor ini tak digunakan membuat tabung knalpotnya dingin. Ia menengok ke dalam lubang knalpot. Dalam kepalanya berputar suara sumbang khas knalpot motor yang bocor. Sudah lima buah lubangnya. Entahlah, berlubang karena apa, yang jelas kata suaminya dulu, bisa jadi karena karat yang dibiarkan tumbuh subur sebab motor tak pernah dibersihkan dari debu-debu becekan yang mengering. Akhirnya keropos juga. Rumaya percaya saja, ia tak punya dasar ilmu selain yang dikatakan suaminya. Ia hanya tahu bagaimana merawat dan memanen buah kakao, dan memberi kebahagiaan kepada Cut.

“Suamiku, gelisah pikiranku seperti suara yang muncul dari knalpot motor ini, benar-benar berisik dan tidak enak sekali. Tiap suara yang muncul dari kepalaku hanya menanyakan di mana kamu? Hanya menanyakan keberadaanmu. Tapi sebisa mungkin aku jawab bahwa perjalananmu mencari hadiah perkawinan begitu jauh, kamu sedang mencari emas-emas terbaik seperti yang pernah dilakukan Aceh untuk membantu negara membeli pesawat pertamanya. Dan seperti Kakao pikirku, emas-emas terbaik pun tumbuh subur di tempat-tempat yang pas. Kamulah yang tahu ilmunya suamiku, aku hanya tahu tentang kakao.

Rumaya menggoreskan ujung jarinya ke dalam lubang knalpot. Hitam jelaga menempel pada jarinya. Ia luluhkan jelaga itu seperti menebar garam pada masakan. “Gosong,” bisiknya. Tangannya gemetar, bertepatan dengan itu, air matanya tumpah.

Bukan menangisi kegosongan. Hanya saja, tak ada lagi yang diingat dari kata gosong selain kejadian seminggu lalu. Karena sedikit selisih pendapat, Rumaya menolak untuk naik motor. Dia kekeh untuk membeli sepeda saja. Uang pun sudah ditabungnya. Tapi seperti embun pagi di ladang kakao, suaminya begitu teduh menenangkan.

“Rumaya, motor dan kehidupan itu sama saja. Mereka sama-sama berjalan. Dan apalagi yang bisa diambil dari sebuah perjalanan selain menikmati dan mensyukurinya? Seperti itulah kehidupan dan motor. Maka, naiklah Rumaya, biarkan kehidupan dan motor ini berjalan berdampingan, dan tugas kita, hanya menikmati dan mensyukurinya.”

“Kau betul suamiku, jika kehidupan itu sama seperti motor yang selalu berjalan. Tapi kau lupa satu hal, jika sudah banyak jelaga yang keluar, ada baiknya motor itu dibawa ke bengkel, jangan dipaksakan untuk terus berjalan. Begitu pun kehidupan ini, jika sudah ada asap yang mengepul dan jelaga hitam membumbung tinggi, janganlah dilanjutkan, sebab ...”

Kata-kata jelaga dalam pikirannya membuatnya tersengal. Rumaya tak kuasa menahan tangisnya. Rumaya sudah melarang suaminya untuk keluar rumah, sebisa mungkin. Dia sudah merasakan ada yang tidak beres di luar sana. Itulah mengapa ia melarang suaminya untuk keluar rumah. Bahkan hanya untuk mengurus kebun kakao sekali pun.

“Jangan takut Rumaya, aku hanya petani kakao dengan motor yang luar biasa,” ledek suaminya.

“Cik Abu juga cuma petani Kakao. Tapi dia hilang, dan rumahnya dibakar. Aku mohon, jangan keluar rumah.”

“Aku tidak ikut serta dalam gerakan pemberontak itu, Rum. Tenang saja.”

“Siapa juga yang bisa memastikan Cik Husen sudah ditanya, apakah dia terlibat atau tidak dengan gerakan pemberontak itu — sebelum kita menemukan kepalanya di karung yang diletakan di pinggir jalan, sementara tangannya di aliran sungai? Barangkali jika betul, kelaminnya pun sudah disayat dan sudah jadi makanan ikan.”

Tapi Rumaya, orang-orang bilang, ini bukan pemberontakan. Ini hanyalah bentuk perlawanan dari ketidakadilan. Apakah kau menyadari kenapa rakyat sini masih banyak yang miskin? Itu karena ketimpangan ekonomi antara pusat dengan daerah. Ini adalah kekecewaan, Rumaya. Kalau kau sempat baca buku, bacalah sedikit tentang tanah kelahiran ini. Betapa kayanya tanah ini, namun rakyat masih terus berada dalam lengkung kemiskinan. Itu karena sebagian besar hasil kekayaan ini dilahap oleh penentu kebijakan di kota. Baca juga buku yang lain. Tentang nilai minyak bumi dari tanah ini barangkali. Mungkin kau akan kaget melihat digit angka yang banyak sekali, tapi tak sedikit pun bisa memperbaiki kehidupan masyarakat sini.

Suaminya memilih terdiam. Ia tahu betul, kekhawatiran Rumaya. Semenjak banyak orang-orang yang kecewa, banyak juga orang-orang yang hilang dan rumah-rumah dibakar serta jelaga membumbung di mana mana. Tapi sebagaimanapun, ia tidak mungkin memberitahukan urusan laki-laki yang tak akan dimengerti wanita. Menurutnya, laki-laki dilahirkan agar kuat seperti paku-paku bumi. Sebagaimana mereka tidak akan membiarkan tanah kelahirannya bergeser kekuasaan oleh orang-orang yang tidak berasal dari sukunya. Harus tetap berdiri di atas kaki sendiri.

Sementara itu, jika saja suaminya berkata jujur, jelaslah Rumaya tidak akan terima. Perempuan itu punya hati yang lembut seperti sutera. Jika dalam kondisi seperti ini, kebanyakan dari mereka akan memilih jalan aman untuk menghindar, bukan melawan. Ikut meskipun ditindas, yang penting kehidupannya tetap aman dan tenteram. Berbeda betul dengan laki-laki.

“Aku pastikan, aku tidak terlibat gerakan pemberontak itu, percayalah Rumaya.”

“Bek tubiet rumoh, suami loen.” (jangan keluar rumah, suamiku)

Hening tercipta.

Rumaya menangis lagi. Sembari melihat jelaga hitam di tangannya yang memudar. Kemudian, ia tersenyum kecut. Ia menaiki motornya. Duduk di kursi depan sembari memegang stang. Ia berlagak menarik-narik tuas gas seolah-olah motornya menyala. Senyumnya tambah kecut. Angin berhembus pelan di pelataran rumah.

Suaminya teguh pendirian. Ia pergi. Semenjak perdebatan yang melarangnya untuk keluar rumah, telah membuat sedikit banyak perubahan. Hal-hal kecil pun yang tak sejalan dengan pikirannya, akan menjadi api yang siap melalap apa pun. Begitu pula halnya dengan hadiah perkawinan untuk anaknya. Rumaya bilang, jika tak harus hadiah dari emas, di mana suaminya harus keluar rumah. Tapi suaminya bilang, pernikahan itu sekali seumur hidup. Bukankah Rumaya sendiri yang bilang harus selalu membahagiakan Cut? Termasuk di hari pernikahannya nanti?

Rumaya kalah. Kebahagiaan Cut, adalah cara terakhir membeli ‘izin keluar rumah’ dari Rumaya. Pria yang datang melamar Cut berasal keluarga yang biasa-biasa saja. Pada acara lamaran pun, laki-laki itu sudah mengatakan untuk menikah secara sederhana. Karena kondisi di luar yang kurang bagus jika diadakan perhelatan. Rumaya dan suaminya tidak mempermasalahkan.

“Tapi aku ingin seperti bapakmu yang tiba-tiba memberi hadiah di perkawinan kita — motor ini,” kata suaminya seraya menepuk-nepuk jok ‘batu’ motornya. “Tabunganku cukup untuk beli emas. Aku pergi dulu, mumpung Cut baru pulang dari pekerjaannya tiga hari lagi.”

***

Hingga hari ini, motor masih terparkir di pelataran. Rumah mulai ramai. Dua keluarga sudah berkumpul. Penghulu belum datang. Rumaya masih dan selalu yakin, kalau suaminya akan pulang. Rumaya menyingkap gorden kamarnya, langit semendung matanya. Tiba-tiba Cut datang menghampiri.

“Ayah belum pulang juga, Bu?”

Rumaya terdiam sesaat. Sesak. “Sabar, ia sedang membelikan hadiah perkawinan untukmu.”

“Hadiah?"

Hening tercipta begitu lama dan menyakitkan. Udara berubah bagai mata pisau bermata banyak. Ingin sekali Rumaya mengatakan kalau hadiahnya adalah emas terbaik yang dibeli ayahnya dari tempat terbaik. Tapi urung. Ia hanya melihat ke pelataran lagi, ke arah motornya.

Meskipun beberapa hari belakangan ini ia terus memerhatikan motornya, ia tak menyadari kalau bensinnya sudah kering. Ia tak menyadari kalau olinya sudah harus diganti. Ia bahkan tidak menyadari bahwa hadiah pernikahan untuk Cut sebenarnya sudah ada dari jauh-jauh hari.

Yakni:

Motor yang sedang dilihatnya, juga ucapan:

“Rumaya, jika sampai lusa aku tak pulang, naiklah motor ini dan berkendaralah ke utara. Jangan khawatir tersasar, sebab sepanjang hidup ini, hatimu adalah peta terbaik untuk menemukanku."[]


Bintaro, Maret 2018
***

Cerpen terinspirasi dari motor tukang galon dan sejarah Gerakan Aceh Merdeka

calendar
26 Apr 2018 11:04
view
173
idle liked
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig