oranment
play icon
Transkrip Wawancara yang Tak Dimengerti dan Sopir yang Tak Menyukai Kopi
Cerpen
Kutipan Cerpen Transkrip Wawancara yang Tak Dimengerti dan Sopir yang Tak Menyukai Kopi
Karya saktiramadhan
Baca selengkapnya di Penakota.id
Demi kepentingan cerita ini, sebagaimana pentingnya kejujuran seorang sekretaris desa atau jujurnya seorang akuntan perusahaan sandal jepit, dan pentingnya keberadaan seorang ketua rukun tetangga atau ketua rukun warga yang setidaknya masih dibilang pejabat meskipun berada dalam kasta terbawah, transkrip wawancara ini harus dilampirkan sebagaimana harus melampirkan fotokopi akta lahir dalam mengurus kartu tanda warga negara yang tidak jadi-jadi itu.

Transkrip wawancara ini, adalah hasil perbincangan yang dilakukan tim penyidikan (Bapak Sutoyo) dengan saksi (Bapak Karman) yang direkam dengan gawai Sonny Experia Ray yang bentuknya akan mengingatkan siapa pun dengan tempe goreng di warung-warung nasi. Diambil dari sudut kamera yang pas (dari sisi kanan bapak Sutoyo sehingga hanya menampilkan gambar Sutoyo dengan laptop dan gelas kopinya dan tidak terlihat ada asbak dan puntung rokok yang masih menyala di samping kiri laptopnya. Setidaknya inilah salah satu alasan kenapa dibilang sudut kameranya pas. Karena kalau suatu saat video ini bocor, Bapak Sutoyo masih punya niat baik karena tidak mengajarkan anak di bawah umur untuk merokok). Beginilah isi transkrip wawancara itu:

“Sebenarnya, saya sedang loro boyok1, Pak. Tulang rasanya mau rapuh. Tapi karena bapak memaksa dan memenuhi panggilan aparat negara itu wajib, jadi saya mbela-belain datang ke sini, Pak. Meskipun rasanya tulang saya kayak patah kalau digerakan.”

“Bapak pernah patah tulang?”

“Alhamdulillah, belum, Pak. Saya hanya ikut-ikut orang saja yang bilang kalau loro boyok sakitnya kayak patah tulang. Bapak pernah patah tulang?”

“Belum.”

“Oh-eh, saya paham, kenapa Bapak menanyakan saya sudah pernah patah tulang atau belum. Bapak ingin menanyakan rasanya, kan?”

“Bukan seperti itu juga. Bapak sudah tahu kenapa dipanggil ke sini?”

“Um, mungkin bisa saya tebak. Tapi nanti saja saya kasih tahunya. Saya takut salah, malu. Tapi setidaknya, kata teman Bapak yang menjemput saya tadi, saya akan dimintai keterangan. Saya sempat mikir sih, kenapa harus saya? Yang cuma sopir gitu loh. Kenapa bukan Bi Kisma yang pembantu di dapur, atau Mang Supri tukang kebun. Oh ya, saya jadi ingat, Bi Kisma sudah malas masuk dan Mang Supri lagi beli rumput gajah untuk ditanam di pekarangan. Jadi tinggal saya doang di rumah itu. Mbetul, Pak?”

“Saya paham, tapi belum tentu membetulkan. Karena, justru yang membuat bapak dijemput ke sini adalah bapak seorang sopir beliau. Bagi pejabat seperti beliau, mobil biasanya akan dijadikan kantor ketiga setelah gedung parlemen dan rumahnya. Biasanya juga, seorang sopir itu lebih tahu urusan kantor bosnya ketimbang si istri bos. Menerima telepon, membuat perjanjian pertemuan, menyetujui urusan kantor, itu biasanya sering dilakukan di atas mobil. Jadi, bisakah bapak bersikap kooperatif dengan menjawab jujur semua pertanyaan saya?”

“Jujur? Saya jadi ingat guru ngaji dulu. Dia bilang, kejujuran harus selalu ditanam sejak kecil. Jadi, saya kira saya bisa jujur karena dari kecil saya sudah jujur.”

“Begini, Pak. Sudah bapak ketahui dan mungkin sudah bapak dengar dari televisi dan siaran itu terus diputar berulang-ulang, kalau Bapak NS ini sudah dijatuhi hukuman karena terjerat kasus korupsi. Dalam persidangan kemarin, ada hal yang unik yang keluar dari mulut beliau. Saya ingin mengutip pernyataan beliau yang mengatakan, ‘Terserah kalian ingin menjerat saya dengan cara seperti apa pun. Yang jelas, yang tahu kehidupan saya itu hanya Tuhan, dan paling tidak, supir saya.’ Setelah Bapak NS menyampaikan pernyataan yang seperti itu, maka yang muncul pertama kali dalam benak saya adalah pertanyaan pertama yang akan saya ajukan. Bagaimana kebiasaan Pak NS kalau sedang di mobil?”

“NS itu siapa?”

“Majikan Bapak.”

“Oh, Pak Nova— Tya—. Iya-iya saya paham. Pantas saja saya kenal kalimatnya yang Bapak sampaikan. Itu bercandaan kita, Pak. Dia memang sering bilang begitu kalau kondisi hatinya lagi senang. Majikan saya itu orang yang paling unik yang pernah saya temui, Pak.”

“Bagaimana kebiasaan Pak NS kalau di dalam mobil?”

“Nah, seperti yang tadi saya bilang, Pak. Tentang majikan saya adalah orang yang paling unik yang pernah saya temui. Kebiasaan dia itu, beda-beda, Pak. Tergantung mobil yang ia pakai. Kebiasaan dia saat naik Alphard pasti beda kalau dia sedang naik Velfire dan berbeda juga kalau dia sedang naik jeep. Coba Bapak bayangkan deh, bagaimana mungkin psikologis seseorang bisa begitu berbeda hanya karena naik mobil, mungkin satu-satunya orang yang seperti itu hanya dia saja, Pak.”

“Bisa diperjelas maksud kalimat psikologis seseorang bisa begitu berbeda hanya karena naik mobil?”

“Lha, gimana tho. Tadi kan, saya yang nyuruh bapak mbayangi, masa Bapak nanya lagi ke saya. Gini deh, saya kasih tahu contohnya ya, Pak. Kalau sedang naik Alphard, dia sering nelpon. Dan di telpon, biasanya dia sering membahas nama-nama makanan, Pak. Pernah yang saya ingat waktu itu. Beliau begitu bahagia. Di telpon dia ketawa-ketawa terus. Tapi obrolannya lucu. Masa, dia bilang ke lawan teleponnya, ‘Ya sudah, sediakan daging busuk sama Apel Washington.’ Kan lucu, Pak. Masa iya orang seperti dia yang bisa beli onta malah minta disediakan daging busuk. Dan apa coba maksudnya Apel Washington itu. Apa yang sering dimakan Donald Trump kalau lagi jamuan makan malam itu Pak? Ah kayaknya sama-sama saja.”

“Apel Washington itu salah satu jenis apel, nanti bapak bisa mencari tahu di internet. Tapi itu nanti saja, karena bisa dilakukan sambil bersantai atau sambil buang air besar. Nah sekarang, coba Bapak ingat-ingat lagi, apa yang pernah beliau bahas di mobil, Pak?”

“Alphard atau Velfire atau Jeep?”

“Alphard dulu.”

“Kalau di Alphard, hanya bahas buah-buahan. Saya ingat juga waktu itu, dia dengan lawan bicaranya di telpon, dia bilang gini juga, ‘Apel Malang aja, sekilo buat gantinya semangka. Kau tahu, Apel Malang, punya vitamin yang hampir sama kayak semangka. Jadi kebutuhan gizi, tetap terjamin.’ Katanya gitu ke lawan bicaranya. Bapak percaya? Kalau saya sih, ndak. Mana mungkin semangka yang besar begitu bisa sama kandungannya dengan apel. Tapi saya maklumi, beliau itu orang yang paling senang bercanda. Pernah waktu itu, pas lagi ulang tahun, dia bilang sama lawan bicaranya kalau mau durian. Nah, saya pengen kasih kejutan, hitung-hitung rasa hormat saya sebagai supir, saya bawa beliau ke tukang durian. Tapi pas sampai sana, dia bilang ndak jadi. Lah, saya bingung, tadi katanya dia minta durian. Tapi giliran dibawa ke tempat durian, malah ndak jadi. Ya sudah, saya sama dia ketawa-ketawa aja. Terakhirnya dia bilang, 'Wo ya Man, jadi orang jangan bego-bego amat sih ya'. Sebenarnya mau saya balas, Pak. Kalau saya pintar, sudah pasti saya jadi pejabat seperti dia. Bener tho, Pak?"

“Jadi polisi juga bisa.”

“Tapi kok, muka Bapak kelihatannya tidak pintar-pintar amat ya? Lihat bentuk kepala Bapak, mirip Deadpool."

“Baiklah. Ada yang bisa diceritakan lagi tentang aktivitas Pak NS?"

“Apa lagi ya. Saking banyak yang lucunya, saya jadi bingung, Pak. Um-eh, oh ya, masih soal durian. Dia suka nanya saya, suka buah durian apa ndak. Nih ya, setiap kali dia habis minta diantar ke tempat durian, dia pasti nanya, kamu suka durian apa ndak? Saya jawab ndak suka. Baunya ituloh bikin enek. Tapi dia balas lagi, suatu saat kamu bakal suka durian. Saya aja suka. Apalagi kalau belah durian. Saya ketawa aja. Sampai besok, lusa atau minggu depan pun, saya ndak akan suka durian. Saya sendiri suka bingung gitu ya, Pak. Setiap dia minta diantarkan ke tempat beli buah, tapi malah nunjuknya ke tempat lain. Kalau saya tanya, apakah jadi beli buah, dia cuma ketawa. Bapak jangan kasih tahu dia, kalau saya mau bilang kalau dia itu sedikit sinting. Saya sebagai supirnya sering merasa dikerjai.”

“Baiklah, cukup. Kalau kebiasan beliau di mobil Velfire, bagaimana?”

“Wah, Velfire ya. Di mobil Velfire, Pak NS juga gak kalah unik. Kalau di mobil Alphard dia sering bahas nama-nama buah-buahan, kalau di mobil velfire, dia mendadak jadi agamis, pak.”

“Maksudnya?”

“Pembahasan dia jadi agamis sekali, MasyaAllah. Saya aja kagum. Harus diperbanyak orang seperti dia Pak, yang unik, lucu tapi agamis.”

“Bagaimana contoh pembicaraan itu?”

"Waktu itu, dia sering minta ke saya untuk mengantar ke tempat pengajian, Pak. Coba deh Bapak mbayangi. Seorang pejabat yang sibuknya setengah mati seperti beliau masih mau datang ke pengajian-pengajian. Ah, saya jadi ingat guru ngaji saya lagi. Dia bilang, jadi manusia, jangan hanya mementingkan dunia saja. Akhirat juga harus dipersiapkan.”

“Saya selalu suka cerita-cerita menarik. Silakan lanjutkan."

“Tapi ada lagi yang bikin lucu, Pak. Dia bilang mau ke pengajian, tapi ndak pernah saya lihat dia pakai gamis, Pak. Dan yang lebih ngeselinnya lagi, dia minta antar ke tempat pengajian, tapi ternyata malah ngantar ke hotel. Dia bilang di hotel itu juga banyak kiai dan ustaz. Kadang ada pertemuan antar pondok pesantren juga. Memangnya benar, Pak?"

"Ya, bisa jadi. Hotel kan, tempat umum. Baiklah, cukup."

"Kenapa, Pak? Bapak merasa aneh dengan sikap Pak NS? Wah, padahal dia lucu. Ah, Bapak ini. Saya sudah menduga dari awal. Pasti Bapak punya selera humor yang aneh."

"Tahu dari mana?"

"Bibir Bapak mirip tongkat baseball. Ya, susah sekali melengkung."

"Ya, lumayan, bibir saya bisa dipakai untuk mukul kamu kalau bicara seperti itu lagi. Lanjut saja. Bagaimana kebiasaan Pak NS kalau sedang di mobil Jeep?"

“Nah, yang paling saya tidak sukai, kalau sedang naik mobil Jeep Commander.”

“Kenapa memang?”

“Pasti obrolan yang paling ndak saya sukai. Saya malas kalau naik jeep commander keluaran tahun 2007 itu.”

“Ngobrolin apa?”

“Kopi. Saya ndak suka kopi, Pak."

“Apa yang dia bilang?”

“Macam-macam kopi, tapi dia juga pernah bahas cara menyeduh kopi sachet. Coba pak bayangkan, di dunia ini, mana ada orang yang ndak ngerti cara menyeduh kopi sachet?”

"Sepertinya tidak ada. Kecuali orang yang malas dan buta huruf. Malas karena tidak mau membaca petunjuk penyajian di balik bungkus kopi, atau buta huruf yang— Bagaimana cerita Pak NS di mobil Jeep?"

"Pertama yang Bapak harus tahu, Pak NS adalah kebalikan dari saya. Saya ndak suka naik mobil Jeep, dia paling suka. Saya ndak suka kopi, dia paling nafsu."

"Bapak pernah diajak ke kedai kopi? Atau hal yang lain yang berkaitan sama kopi?"

"Pernah, ke warung Rezeki Lancar buat beli kopi lima dus."

"Kopi buat siapa itu?"

"Saya ndak tahu. Tapi, lucunya, dia ngasih kopi itu ke saya. Bukan buat minum, karena dia tahu kalau saya minum kopi, sama saja kayak menyuruh saya bunuh diri teratur."

"Terus kamu apakan?"

"Inilah momen paling kurang ajar Pak NS. Saya ndak akan pernah lupa akan hal ini. Perbuatan paling kurang ajar. Masa saya disuruh menghafalkan cara penyeduhan kopi yang ada di belakang sachet. Kurang ajarnya lagi, masa ada ujiannya. Cuma nyeduh kopi, Pak? masa ada ujiannya? emosi saya kalau mengingatnya."

"Ujian? Jangan bercanda kamu. Saya makin enggak paham."

"Nah, mangkanya tadi saya bilang, bapak itu kelihatannya ndak pinter-pinter amat."

"Jangan kurang ajar sama saya. Jelaskan saja bagaimana ujian itu. Jangan sekali-kali kamu mengarang!"

"Ah bodoh. Kalau saya bohong, kenapa Bapak panggil saya ke sini?"

"Ceritakan ujiannya."

"Yang jelas, ujian ini ndak bisa dilakukan oleh orang bodoh seperti Ba— Ujiannya seperti ini: saya disuruh memerhatikan langkah-langkah penyeduhan kopi. Lalu dia akan kasih deskripsi. Kalau deskripsi itu ndak dihafal, saya dipecat."

"Deskripsi? Makin aneh kamu. Perlu saya gampar?"

"Yang aneh bukan saya, tapi Pak NS. Begini, Pak. Misalkan di petunjuk penyajian, langkah pertamanya adalah membuka bungkus sachetnya. Terus dia kasih deskripsi seperti: pertama, yang harus saya lakukan dalam menyeduh kopi adalah membuka sachetnya. Nanti saya bisa mencium aroma kopinya. Jangankan kopi di kedai, kopi sachet pun wanginya beda-beda. Jadi coba saja satu-satu. Diciumnya harus cermat. nanti saya bisa berpikir, apa apa saja yang bisa diada-ada dari aroma kopi seperti itu. Entah biaya administrasi, entah uang dokumen, entah apa. Ingat, setiap kopi beda-beda wanginya. Beda-beda juga kesempatan dan cara penggunaannya."

"Apa? Administrasi? Uang dokumen? Apa maksudnya?"

"Mana sempat saya nanya. Wong kalo salah dipecat."

"Ya sudah, bagaimana kelanjutannya?"

"Deskripsi yang kedua nih pak. Kan di saschet kopi bertuliskan siapkan gelasnya. Pak NS ngasih deskripsi kayak begini: Lalu siapkan gelasnya. Wadahnya. Saya harus tahu juga wadahnya. Untuk kopi yang ini, butuh gelas yang seperti apa besarnya? Gelas itu kan wadah pendukung, saya juga harus kenal itu, apa yang bisa dimanfaatkan, orang-orang mana yang bisa dimanfaatkan. Apakah dalam penyeduhan itu butuh tukang sapu, tukang sapi, atau tukang apa. Pokoknya harus disiapkan, paling tidak, saya tahu gelasnya."

"Saya tidak berkomentar sampai kamu selesai bercerita. Ini bagian yang paling menarik."

"Yang ketiga, di saschet kopi, tulisannya tuang bubuk kopi ke gelas. Deskripsi yang Pak NS berikan adalah: Setelah sudah siap kopi dan gelasnya, tuang kopi itu ke dalam gelas. Saya harus gabungkan itu, peluangnya dan pendukung saya itu harus sinkron, supaya bisa digabungkan. Lakukan kerja sama di situ. Kongkolikong sering terjadi di situ. Semua orang pun tahu, saat bubuk kopi sudah dituang ke gelas, maka yang sebenarnya terjadi adalah perbincangan antara bubuk dengan gelas.

Yang keempat, Pak. Di saschet kopi bertuliskan tuang air panas. Maka deskripsi yang Pak NS berikan adalah: ini air panas bukan sembarang air panas. Tahu apa artinya air panas? Artinya adalah supaya peluang saya dan gelas itu bisa menyatu. Setelah bubuk kopi berdiskusi dengan gelas, maka harus disiram air panas—simbol penyatuan. Selain itu, air panas memang bukan sembarang air panas. Saya pasti tahulah, ada ada saja yang harus disiram pakai air yang lumayan panas. Kopi luwak sachet itu, bagus untuk disiram air panas. kalo gak disiram air panas, luwaknya suka nongol.

Yang kelima, Pak. di saschet kopi bertuliskan aduk hingga larut. Maka deskripsi dari Pak NS seperti ini: Diaduk itu bukan sembarang diaduk. Saya harus tahu kenapa kopi itu harus diaduk. Supaya larut, dan benar-benar larut. Jadi semuanya bergabung jadi satu. Bukankah sulit untuk menguraikan hal-hal yang sudah bercampur aduk?

Yang keenam, Pak. Terakhir. di sachet kopi bertuliskan kopi siap dihidangkan. Deskripsi dari Pak NS adalah: inilah yang paling enak dari setiap kali menyeduh kopi. Ya, bagian menikmatinya. Saya bisa nikmati kopi itu, bersama dengan aroma-aromanya. Berduduk santai sambil nonton teve atau jalan-jalan ke Bali menonton tenis, bisa saya lakukan sambil menghirup aroma itu. Saya harus tahu itu."

—Pembicaraan selesai. Di layar Sony Experia Ray terlihat Pak Sutoyo pergi ke belakang. Lalu mengambil sampah bungkus kopi di tempat sampah dapur—
***

SORE itu, suara televisi sangat menggelegar semenjak Sutoyo menekan tombol pemantiknya. Membuatnya kesal sendiri, ia tekan tombol mengecilkan volume seperti buru-burunya orang yang tak tahan buang air besar. Istirahatnya sore ini tak mau diganggu gugat. Ia berjalan pelan menuju meja kerjanya, lalu duduk bersamaan dengan iklan kopi seduh yang sedang muncul di layar televisi.

Di mejanya, sudah ada setumpuk kertas laporan tugas yang tadi minta disalinkan oleh asistennya. Ia menggapainya segera, merapikan sedikit, lalu membacanya perlahan. Iklan kopi seduh masih berputar. Suaranya mengisi ruangan yang kosong tapi tak bisa menembus otaknya yang penuh.

Ia memerhatikan kertas itu lagi, lalu membuka laptop. Ada yang masih mengganjal dari hasil wawancara tadi. Ia ketikkan kalimat: Kamus Bahasa Koruptor di Google. Ia tak melihat satu pun tulisan yang berwarna ungu sebagai tanda dia pernah membuka web itu. Dia klik tetikus pada web yang paling atas2. Lalu matanya berkerut. Dia ambil transkrip tadi, mencocokkan kata-kata yang tadi dia tidak pahami. Seperti daging busuk, Apel Malang, Apel Washington, semangka, pesantren, pengajian, kyai can ustaz dan yang lainnya. Ia segera mendengus kesal sekali. Tapi hatinya lega. Sambil mencocokkan kata-kata itu, dia mengelus perutnya yang agak tidak ramah kancing.

Semakin sore, ia makin berkutat dengan pikirannya sendiri. Ia masih tak percaya, jika kasus korupsi sebesar ini, ternyata tata caranya sudah tersebar ke mana-mana. Sepanjang karirnya menanggapi kejahatan, baru kali inilah ia mendapatkan kasus besar tapi sumbernya hanya dari bungkus kopi seduh yang jika bernasib baik pun, hanya akan jadi bahan prakarya anak SMA untuk membuat tas plastik di praktek kewirausahaan.

Bintaro, April 2018


#prosatujuh #tugastulis10 #cerpen

***
1. sakit pinggang dalam bahasa Jawa.
2. https://www.kompasiana.com/raniveliana/kamus-sandi-koruptor_552e16116ea834e7378b4585
calendar
27 May 2018 06:19
view
247
wisataliterasi
Bintaro, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
idle liked
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig