PULANG
Cerpen
karya @sayyid
Kutipan Cerpen PULANG
Karya sayyid
Baca selengkapnya di Penakota.id



“bu, apakah kaka akan pulang “


Suara lirih Helena dari dalam kamar menembus gendang telinga ibunya yang sedang memasak. Ibunya lebih fokus menuangkan bubur kacang hijau dari wajan ke mangkuk, tak banyak, cukup untuk disantap bertiga dengan porsi yang sederhana. Masih sangat panas, bila bubur kacang itu langsung disantap ketika baru saja dituang, rasanya akan berbeda, bukan nikmat tapi siksa. Rongga mulut akan terkelupas, tenggorokan akan terbakar dan lambung akan tersiksa. Sabar adalah senjata paling ampuh untuk menahan setiap godaan agar terselamatkan.


Helena dan ibunya tinggal berdua di rumah kecil jauh dari keramaian kota. Ketika matahari tenggelam, tidak ada suara klakson atau bising knalpot. Mereka hanya mendengar suara kodok, jangkrik dan segala serangga kecil yang tak sabar untuk menjelajahi malam. Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada yang berbeda, tetap berdua, makan seadaanya. Biasanya, setiap pagi mereka hanya meminum teh hangat, siang hari makan nasi yang tak seberapa, dan semangkuk bubur kacang ijo sore hari jika beruntung. 


Matahari terlihat terburu-buru untuk tenggelam, barangkali matahari itu mengerti jika besok adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Helena dan ibunya. Setelah satu tahun ditinggal anak sulungnya Antonio pergi mengembara. Meski Antonio seorang sarjana, ibunya tetap mengerti bahwa Antonio belum banyak pengalaman hidup di dunia fana, penuh kebohongan, kejahatan, kekerasan dan ketidak adilan. Namun sejak Antonio pergi dari rumah, ibunya selalu mendoakan keselematan Antonio. 


Seratus hari pertama, sepucuk surat dari Antonio datang untuk pertama kali. Tukang pos mengayun sepeda berkilo-kilo meter untuk sampai ke rumah Antonio. Dengan sigap, Helena dan ibunya membuka surat dari sepotong kertas yang sudah lusuh, bahkan tulisan di surat itu sudah tidak begitu jelas. Tukang pos terus mengayun sepeda, menerobos hujan, tubuhnya kuyup, surat kecil yang dibawa telah lusuh. Tapi, karena kekuaatan cinta. Ibunya bisa memahami apa yang ditulis oleh Antonio,. Tak banyak kata, apalagi kalimat. Hanya pesan cinta, penuh harapan, penuh kepercayaan. 


“Ibu, apakabar? Semoga kau baik-baik saja. Jangan khawatir, aku baik-baik saja di sini. Doakan saja aku, bu. “


Setelah penantian seratus hari, tiba saatnya untuk melegakan hati yang tak karuan selama itu. Helena dan ibunya tersenyum. Hujan berhenti, suara kicau burung mengindahkan suasana. Langit kuning kemerah-merahan menutup langit kelabu. Helena melihat keujung halaman rumah, pelangi tanpa warna hitam terbentang begitu indah. Barangkali, di ujung pelangi ada sebuah negeri tempat Antonio sedang berdiri, tersenyum, dan menatap langit senja yang sama, entah di mana.


Sebagai seorang anak pertama, Antonio berusaha dengan sangat keras untuk keluarga yang jauh disana. Antonio berjanji akan mengikirim surat seratu hari sekali. Helena dan ibu Antonio selalu menunggu kabar itu datang. Hari demi hari mereka lewati dengan harap-harap cemas. Penantian memang menjengkelkan, selalu saja hati tidak tenang. Barangkali hidup memang sebuah penantian yang panjang. Kabar Antonio baik-baik saja sudah sangat cukup untuk membuat hati Helena dan ibunya tenang.


Sejak surat pertama datang, senyum kecil selalu tergambar di bibir Helena. Kecemasan berubah menjadi ketenangan, semangat untuk melanjutkan hidup terus bertambah. Bagi Helena, Antonio adalah contoh teladan untuk keluarga. Bersemangat, tidak pantang menyerah, tekun, dan tidak pernah menangis. Sejak kepala keluarga di rumah tersebut hilang, Helena memusatkan segala harapan kepada kaka tertunya itu. Saat umur Helena 5 tahun dan Antonio 10 tahun, mereka harus kehilangan sosok seorang pemimpin. Ayah Helena dan Antonio mati tersambar petir saat mengembala kambing. Dunia seolah berhenti, menjadi tidak asik, yatim sejak dini. 


Helena dan Ibunya tidak tahu apa yang Antonio kerjakan sejak ia pergi jauh dari rumah, mereka hanya bisa berdoa untuk kebaikan dan keselamatan Antonio. Hanya sebuah doa yang mampu menembus ruang dan waktu, membelah cakrawala, mengikuti setiap langkah Antonio. Pada langit biru yang Antonio tatap, disitu selalu ada doa yang dititip. Sejauh manapun Antonio pergi, ia akan tetap bernaung dibawah doa ibunya.


Tiga ratus hari setelah kepergian Antonio, surat kedua datang. Pintu rumah kecil itu terbuka, Helena dari pagi buta sudah duduk di halaman rumah menunggu tukang pos datang. Satu jam, dua jam, sampai dua belas jam, Helena tetap setia menunggu di depan rumah. Ketika langit kuning kemerah-merahan yang selalu ditunggu-tunggu oleh orang-orang, Helena hanya mau menungu tukang pos datang, membawa sepucuk surat yang telah dijanjikan. Di ujung jalan, siluet seorang laki-laki mengayun sepada usang berlatar senja sedang menuju rumah Antonio.


“ tukang pos datang, tukang pos datang “


Helena berteriak memanggil ibunya yang sibuk di dalam rumah. 


Dengan cepat surat itu mereka ambil, tak perlu masuk ke dalam rumah untuk membacanya. Helena dan ibunya langsung dengan sigap membuka kertas kecil dalam amplop. Hanya satu harapanya, Antonio baik-baik saja. 


“ seperti janjiku, aku akan tetap baik-baik saja. Beberapa hari aku akan pulang ke rumah “


Tak banyak kata dalam surat tersebut. Meski begitu, surat tersebut mengandung kepastian dan menenangkan. 


Helena dan ibunya kembali lega, mereka bisa melanjutkan hari demi hari tanpa ke khawatiran. Kasih sayang dan kepercayaan telah mereka pertaruhkan dalam diri Antonio. Mereka percaya, sejauh apapun Antonio berada, doa akan melindunginya. 


Hari yang dijanjikan telah datang. Helena terbaring lemah di atas kasur, ia menderita sakit yang lumayan parah. Sudah satu minggu tidak bisa bangkit dari tempat tidur, tanpa pengobatan medis, hanya dengan kekuatan cinta seorang ibu. tiga mangkuk bubur kacang menemani ibunya duduk di meja makan menunggu kedatangan Antonio, hanya mangkuk-mangkuk itu yang cukup setia bersama ibunya, tidak berubah meski penantian begitu panjang. Seperti sebuah perasaan, bila perasaan itu biasa-biasa aja, penantian akan menjadikan perasaan tersebut hambar sepeti secangkir kopi yang telah mengendap.


Pada sebuah pintu, sepasang bola mata tetap setia menunggu. Hitungan jam bukan sebuah masalah, bola mata itu sudah terbiasa selama 365 hari. Air matanya telah kering, terkurang habis dalam setiap doa sebagai pembuktian dihadapan tuhan. Tak lama sejak kepergian matahari sore, seorang laki-laki dengan baju lusuh dan raut wajah yang tak karuan datang dari balik pintu. Sepasang bola mata yang berlinang menatap sosok wanita tua sedang duduk sendiri dikelilingi 3 mangkuk di atas meja. Laki-laki itu berjalan perlahan sempoyongan seperti seorang bayi yang berusaha menyeimbangkan tubuhnya, menuju meja makan.


Tak ada kata, hanya sebuah pelukan hangat yang sarat akan makna. Hujan mengalir deras di pipi Antonio. Namun, ia masih bisa berteduh di bawah kelopak mata sang ibu. Perjalanan berat Antonio yang tak mau seorangpun tau, bisa di fahami oleh ibunya hanya dengan sebuah pelukan. Bagi dirinya, ibu adalah sebaik-baiknya tempat pulang, berteduh di bawah langit kasih sayang, kemanapun Antonio pergi, doa itu akan menyematkannya.



19 Nov 2020 08:19
159
Jl. Iodida No.9, Cemp. Putih, Kec. Ciputat Tim., Kota Tangerang Selatan, Banten 15412, Indonesia
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: