Gang-gang kecil yang aku temui tadi siang begitu jujurnya. Sedang terang matahari siang itu, tidak mampu pula menampik; bahwa yang namanya tempat kumuh memang kacau dan balau. Ingin sekali untuk tidak mencium bau got berlumut mereka.
Tapi hendak bagaimana, bila warkop tempatku singgah ini berada diatasnya?.Entah sudah berapa banyak gantungan kunci dan uang receh berakhir melewati papan-papan di bawah ini. Tidak ada yang peduli, baik pemilik barang tersebut, atau orang-orang lain.
Genteng karat warung kopi merelakan dirinya ditembus oleh cahaya yang bias. Jatuh di pojok bangku, juga tepat di kepala pak tua, dengan kretek menempel di kupingnya. Juga pekat kopi, tak pernah ia relakan menganggur lebih dari semenit.
“Kalau tidak panas bukan kopi itu!” tegasnya. Lalu menaikkan kaki sebelah ke atas bangku.
“Cek dulu! jangan-jangan itu cuman es teh medan!” ketawanya keras, tegas, dan sendirian.
Asistenku: Tono, ia mengangguk pelan mendengar kisah-kisah dan suri tauladan dari pak tua. Tono akan menelan seluruh cerita, terus membalas pak tua dengan: “lalu pak?” atau dengan kalimat penutup paling efektif “oh begitu”.
Perbincangan mereka, yang Tono tahu, akan berlangsung sangat alot. Aku tidak tahu persis bagaimana ekspresi tono. Kulihat ia juga ikut merokok, juga memesan kopi. Nampaknya memang sulit mengusahakan pembicaran Tono dan Pak Tua menuju topik sebenarnya, yaitu: dimana dia?
Cahaya lainnya jatuh di sebrang jalan. Mengisi lemari kosong itu dengan harapan, walau sedikit kekuningan dan berlebih. Rak kedua, dihitung dari bawah, seekor kucing abu-abu beradu tatap denganku cukup lama. Ia tenang, apalagi dengan dua kaki depan disilang. Aku mengalihkan mata, menuju sebuah pot keramik. Diatasnya tumbuh, maaf maksudku layu, sekawanan keladi coklat. tapi bukan mereka yang mencuriku. Tapi seekor kucing abu-abu, yang mengasah kuku mungilnya, melalui lumut di sekeliling pot.
Mataku menyusuri rongsokan di depan. Berfikir apakah sedari tadi memang banyak kucing di sana. Tidak. Hanya dua, satunya di lemari, sedang satunya, kulihat berjalan dari pot berlumut menuju kucing satunya, yang ternyata masih menatapku di kejauhan.
Mereka abu-abu dan kembar.
“Nah, udah ingat ini minah yang mana?” suara tono menggangguku.
Juga tono sendiri, ia menoleh padaku, sembari menunggu jawaban pak tua. kini aku akan mendengarkan.
“hahaha ingatlah” ia menenggak kopi lagi. “si minah kan?”.
Tono ingin memastikan, apakah ini orang yang kami cari. Ia mengeluarkan foto itu, lalu menunjukkannya pada pak tua. Aku tak pernah tahan bila melihat foto ini, makanya kuberikan tono saja untuk disimpan, terlebih juga sebagai bahannya untuk mencari si perempuan.
karena memang, orang di foto hitam-putih itu, benarlah ajaib. Neon biru, aku ingat sekali, mengisi cahaya wajahnya di ruang-ruang yang remang. Bajunya krem polos, dengan renda sedikit di lengan. Roknya lebih lutut, jelas corak bunga, tapi entah itu bunga apa. sebentar aku ingat dulu, mawar kah? atau sakura yang merah muda?
Lily! tentu saja itu bunga lily, Putih yang merekah di bulan Mei.
Oh, dia malu, tapi senyumnya makin mengembang. Aku mengambil kamera saku di atas meja. Ia bilang tak perlu, “lusa juga ketemu”.
Bagaimana suara kucing? aku tidak tau cara menuliskannya. yang penting, setelah tono mengeluarkan foto itu, dan setelahnya sekian detik kepalaku mengambang, tiba tiba saja kucing itu memanggil. Dan entah mengapa, aku menoleh ke mereka.
Kini dua kucing itu di tempat yang sama, rak kedua dari bawah. Si kucing yang sebelumnya di pot, sudah naik, kulihat dia mulai menjilati kucing yang satunya, pelan, sambil memejamkan mata. Kulihat salah satu tangannya sedang merangkul. Kurasa ia menjaga Nia dengan baik. dari jauh aku memerhatikan Ari memang selalu di belakang Nia, memberi dukungan setabah dan sekuat itu, untuk adiknya. Mereka memang kembar, tapi tak sulit membedakannya. Yang dibelakang itu Ari, dia jantan, sedang betina yang menatapku, namanya Nia.
Tunggu, bagaimana bisa aku telah menamai mereka?