"Apa masalahmu? Kumohon turunlah, semua ada solusinya" kataku dengan kehati-hatian penuh. Salah sedikit congorku berucap bisa jadi akan memudahkan malaikat maut dalam mengerjakan tugasnya. "Kau boleh cerita padaku, siapa tahu aku bisa membantu."
Perempuan itu menatap bintang, awan mendung, dan bulan yang terang, ia nampak sangat yakin.
Aku ikut menoleh langit. memang indah di sana, tapi tak ada jawaban atas segala masalah.
"Kalau kau mau terjun, lihat ke bawah! Tak ada indah-indahnya di sana!". Astagah, bodoh. Kenapa yang kupikirkan keluar begitu saja. Perempuan itu menoleh ke arahku sepintas, memastikan siapa orang dungu yang baru saja memberikan pisau kematian kepada dirinya. Belum sempat kubicara lagi, perempuan itu telah terjun, secepat petir namun seolah melayang, tangan dan kakinya tak bergerak banyak, kepala dan rambut legamnya dengan mantap menyongsong bebatuan granit. Aku berteriak kencang dan panjang dan berhenti ketika mendengar dentuman.
---
Kejadian itu 3 tahun yang lalu, dan aku kembali berdiri di tempat yang sama. Kunyalakan rokok, kusesap dalam-dalam sambil menutup mata. Kuberi tahu bagi yang tidak merokok, sesapan pertama dan terakhir itu luar biasa nikmatnya, kata temanku yang setiap bangun dan sebelum tidurnya lebih memilih menyalakan marlboro ketimbang minum air putih: surga dapat terjadi di dalam paru paru bung!
Dulu aku menertawakannya, tapi malam ini aku sangat setuju. Aneh. Dan benar saja setelah sesapan pertama yang teramat istimewa, berikutnya hanyalah sesapan sesapan formalitas, basa basi untuk menunggu sesapan terakhir yang agung.
Aku teringat perempuan itu. Terlebih dosaku padanya. Rasa bersalah ini terus bertumbuh. Seharusnya aku membiarkannya menghadapi kematian yang nyiur. Alih alih menjadi lelaki alay yang sok peduli, berusaha memahami masalahnya, padahal mungkin setelah berhasil mencegahnya terjun, aku tak peduli lagi dengan dirinya
⠀
Dan dosaku nomor satu adalah, mengapa aku harus teriak selagi ia terjun? Malangnya nasib perempuan itu, frekuensi terakhir yang ia dengar malah suara cemprengku yang gemetar seperti anak anjing, kencang pula, bangsat. Wahai perempuan kala itu aku benar- benar minta maaf. Malam itu padahal sangatlah romantis, mungkin malam itu pula untuk pertama kalinya kau akan mampu mengobrol dengan deru sungai dan angin malam.
⠀
Demi Tuhan aku sangat sangat menyesali perbuatannku. Kalau bisa melompat ke malam itu, aku hanya ingin menawarinya sebatang rokok, lalu meninggalkannya sendirian.
⠀
Dan untuk kalian yang berniat terjun juga. lakukanlah. bila kebetulan ada orang yang melarangmu, jangan lakukan malam itu, pulanglah ke rumah dan tidur. Lakukan esok. saat hanya tersisa kau dan kematian.