Suasana Pesantren tampak khidmat dan khusyu. Tak ada yang berani mengatakan apapun pada saat yang sakral ini. Bagaimana tidak, baru saja santri-santri dikejutkan dengan sebuah kabar mendadak bahwa salah satu teman mereka meninggalkan dunia. Masih mending bila meninggal dengan tenang akibat penyakit, ini meninggal sebab kecelakaan. Sebuah mobil dari arah kiri menabrak dengan cepat saat ia hendak menyeberang.
Alunan tahlil menggema diseluruh masjid diikuti santri yang khidmat mengikuti. Beragam pula cara khidmatnya. Ada yang asyik dengan mimpinya dan ada pula yang asyik dengan tasbihnya hingga ia terjungkal ke belakang.
Zoni, salah satu santri kelas Tiga Tsanawiyah sibuk membangunkan temannya yang dari tadi terjungkal akibat fokus pada bunga tidurnya.
“Oi! Bangun!, Tidak habis pikir aku apa bebanmu. Bangun cepat. Habis kau ketahuan Pengurus”
Demi mendengar kata “pengurus”, mata Hakami langsung terbuka lebar. Kepala celingak celinguk mencari yang disebut.
“Ah bisa ae lu. Sengaja kan lu biar gua bangun”
“Kau ini sulit kali bangun. Tak habis pikir aku. Sudahlah bangun. Teman kita ini meninggal. Tidak bisa kau sedih sedikit?”
“Hah?”
Ahh,iya benar. Gunawan adalah santri teman sekelas mereka yang meninggal saat ini. Menurut kronologi yang didapat dari mulut ke mulut, Si Gunawan ini sedang keluar untuk pergi mencari tempat untuk melakukan...... sesuatu. Tapi,nasib sepertinya tidak berpihak padanya karena dalam perjalanan ia meninggal. Cukup ironis mengingat dia adalah salah satu anak yang mengikuti arus, tidak terlalu nakal dan diam-diam saja kerjaannya. Diam-diam tahu-tahu sudah meninggal.
“Walah, iya juga ya. Ni orang kan baru masuk tahun kemaren, dah ilang ae. Mana cepet beut. Belum juga gua kenal dia”
“Oi, mulut kau itu...”
“Oh iya iya, sori sori. Kebiasaan bro.”
Keduanya hening sejenak mengikuti tahlil yang hampir selesai.
“Bro,gua boleh nanya gak?” tanya Hakam.
“Kenapa kau?
“Jujur-jujuran nih ya. Lu sebenarnya kena efek gak sama kejadian ini?”
“Maksudnya?” Kening Zoni berkerut mendengar pertanyaan ambigu dari Hakam.
“To the point ajalah ya. Lu.. sedih gak Wawan isded?”
Tersentak Zoni mendengar pertanyaan itu. Ia tahu temannya memang ceplas ceplos. Tapi pertanyaan itu benar-benar memiliki kesan berbeda.
“Hah?, Kenapa kau tanya itu?”
Hakam tampak berhenti sejenak sebelum menjawab pertanyaan Zoni.
“Soalnya jujur aja gua gak ngerasa apa-apa. Sedih enggak, marah enggak. Biasa aja. Fine”
Hakam makin terkejut mendengarnya. Jawaban dari temannya ini benar-benar seperti orang tak berperasaan.
“Slow dulu, sabar, bukan gua ga peduli ato apa ya. Tapi.. kaya... Gua ga ngerasa kehilangan aja. I mean iya dia temen gua tapi kaya, ya, Yaudah. Gitu aja. Kalo dia meninggal gua mungkin cuman kayak ‘oh dia meninggal,sedih juga’ abis itu udah. Gak sampe tersedu-sedu kayak temen-temen yang lain”
Setelah merenunginya, ia baru sadar. Bahwa teman-temannya yang lain memang bersedih. Sangat bersedih malahan. Ada yang tersedu-sedu. Semua larut dalam doa masing-masing.
Penuh kesedihan dan belasungkawa.
Tidak seperti dirinya dan Hakam yang malah berdiam saja, tidak bersedih dan tidak pula senang.
“Lu liatkan” lanjut Hakam “Teman-teman pada sedih banget keknya. Gua jadi ngerasa bersalah nih. Apa gua orang yang gaada perasaaan ya?”
“Kau ini, yang benar sa-“
BUGH!
“HAKAM! ZONI! BERDIRI DI DEPAN!”
Nasib, obrolan mereka terhenti karena sedari tadi sudah diperhatikan oleh pengurus pesantren dari sudut masjid. Hakam dan Zoni akhirnya maju menyibak barisan dan berdiri di depan bagai figuran tak layak pandang.
“Kau ini, berisik kali lah” bisik Zoni, yang hanya dibalas pandangan datar.
Setelah tahlil, keduanya mengikuti kegiatan pesantren, kegiatan ini kegiatan itu dan akhirnya pukul setengah sebelas semua kegiatan pesantren dihentikan dan santri diarahkan untuk tidur.
Namun tidak dengan dua sahabat ini.
Di teras asrama, di sudut paling gelap, mereka menyalakan lilin, mengambil kacang dan buku pelajaran, lalu mengobrol. Percakapan tahlil belum selesai. Maka itulah topik obrolan mereka.
“Eh, Zon”
“Hmm?”
“Sori ya, gua ngomong kek tadi. Tapi jujur aja,gua gak sedih. B aja. Hampa gitu.”
“Iya iya, Tahu aku. Tapi jujur kawan-kawan kita ini aneh pula lagaknya dari tadi”
“Hah? Emang kenapa?”
“Dari tadi mengobrol dikamar gak habis-habis aku dengar mereka ngobrolin Wawan.”
“Ngobrolin apaan?”
“Banyak pula kam!, Mulai dari hobi,idenya,apanya,ininya,itunya,was wes wos banyaklah”
“Tapi arahnya ke Ghibah gitu gak?”
“Enggak sih”
Mereka asyik memakan kacang dan mengobrol. Berbagai topik mereka lahap.
Hingga pukul satu malam...
“Eh lu tau gak Anime baru itu, yang katanya keren beut grafiknya”
“Aih, apalah, tak nonton anime aku”
“Tau gua. Duo Upgrades kan?”
Seketika, keduanya membeku. Mereka sadar. Benar-benar sadar. Diantara Zoni dan Hakam, hanya Hakam yang perbendaharaan Animenya cukup banyak. Sementara Zoni tidak tahu anime kecuali segelintir saja. Dan satu-satunya yang bisa sefrekuensi dengan Hakam hanyalah.... Wawan.
“Wa..... Wawan..” gemetar Zoni mengatakannya.
“Lu... Emm.. kok disini” sambung Hakam.”
“loh kenapa? Gaboleh join nih?”
Keduanya benar-benar panik,gemetar,tak tahu apa yang harus dilakukan. Hingga tiba-tiba Wawan merangkul mereka berdua dan berkata....
“Santai, jangan panik dulu. Harmless gua. Lagian harusnya lu berdua tahu dong kalo gua ini Cuma perwujudannya si Wawan. Yang aslinya mah udah ke barzakh”
Sejenak keduanya lega. Sekilas terasa betul betapa dinginnya tangan Wawan yang merangkul mereka berdua.
Setelah tenang, keduanya langsung menodongkan Wawan dengan kacang dan segala macam benda disekitarnya”
“LU! LU NGAPAIN ANJ-“ omongan Hakam langsung disentak
“IYA! KO INI! SAPILAH! NGAPAIN PULAK KO INI MASIH HIDUP HAH!?”
“Ssst. Tenang dulu,tenang. Tujuan gua Cuma satu kok. Nyamperin pesan terakhir si Wawan.”
“HAH!?” Keduanya tersentak berbarengan”
Sentakan itu menbuat pengurus di teras masjid menodongkan senter ke arah mereka. Wawan menyuruh mereka untuk diam namun keduanya malah tambah panik, akhirnya Wawan membungkam kedua mulut temannya itu. Setelah situasi tenang dan jelas. Baru keduanya mulai bicara.
“Jadi, Lu bukan Wawan tapi semacam Jin gitu?”
“Benar sekali”Ucap Wawan sembari tersenyum
“Ya sudahlah, cepat kau mo bilang apa?”
Wawan menarik nafas dalam-dalam,lalu tersenyum sembari mengatakan.
“Dari semua teman sekelas yang ku miliki, yang dekat denganku, hanya kalian yang aku sukai. Aku sangat berterimakasih pada tuhan sudah bisa sekelas dengan kalian”
Keduanya terdiam. Bukan karena tersentuh, melainkan karena keduanya justru adalah orang yang paling cuek dan tidak peduli pada Wawan. Selama 2 tahun Wawan di kelas, hanya sedikit interaksi mereka berdua.
“Mungkin kalian heran, Tapi aku tahu. Aku tahu kalian memiliki perasaan tulus. Sangat tulus. Selama ini, aku sering berteman dengan mereka, sahabat-sahabatku. Benar-benar menyenangkan rasanya. Mereka menerimaku, mengayomiku, semuanya sangat baik. Aku benar-benar berpikir bahwa merekalah temanku.
“Tapi saat meninggal, kalian tahu bukan bahwa ‘ketika seseorang meinggal maka dibukalah semua tabir yang menyinkapnya’. Dan itu benar. Aku dapat melihat isi hati dari semua orang.... Dan kau tahu apa yang menyakitkan....
“Yah” Wawan mengusap matanya “Ternyata semua sahabatku itu palsu. Mereka hanya mau memanfaatkan diriku yang naif dan polos ini untuk membuat reputasi mereka seakan ramah dan tidak kasar. Dan kau tahu, aku juga bodoh. Jujur saja aku sering sekali melihat mereka, melakukan tindakan yang aku tidak tahu benar atau tidak. Banyak sekali. Terlalu banyak”
..Hening...
“Tapi saat aku melihat hati kalian berdua, kalian bersih. Omongan dan hati kalian selaras. Tidak ada kebohongan. Kalian benar-benar jujur saat menyukai ku dan saat membenciku. Hingga akhirnya, aku tahu bahwa kalian punya masa lalu yang... Yah tak perlu kusebut. Kalian benar-benar jujur. Meskipun akhirnya dijauhi orang lain.”
“Sehingga aku bersyukur bisa berteman dengan kalian meski hanya sekilas. Mungkin penyesalanku hanyalah tidak bisa bermain dengan kalian. Tapi jujur saja, kalau aku diberi kesempatan hidup lagi, aku ingin berteman dengan kalian.”
Sebuah sinar kemudian memancar dari timur,pertanda mentari yang sebentar lagi terbit. Fajar Shadiq sudah dimulai.
“Ahh., waktuku sudah menipis. Sebagai penutup, aku hanya ingin bilang, jaga diri kalian baik-baik. Dunia ini begitu kejam. Menguji seberapa kuat mental seseorang. Maka, janganlah putus asa ya, ingat, tuhan selalu menyertai kalian”
Pelan-pelan, Wawan mulai memudar.
“Oh iya, jangan lupa, kalian harus kembali menduduki peringkat atas ya...”
Dan pudar.
Tepat setelah itu, Hakam dan Zoni terdiam, lalu pingsan tak sadarkan diri.
Saat siuman, Zoni melihat Hakam yang masih tak sadarkan diri. Lalu ia mulai bertanya-tanya
Apa pula semalam itu, nyata kali, mimpikah?
Hakam pun menggeliat dan ikut bangun.
“Zon.”
“Yo..”
“.........”
“.........
“Semalem tu asli ya?..”
“Mungkin...”
Keduanya terdiam. Menatap langit kamar.
“Jujur aja ya,Zon”
“Hah?.”
“Jujur, gua geli sendiri denger si Wawan ngomong begitu. Untung orangnya kecil ama baby face. Coba kalo gede orangnya terus brewokan, gajadi nangis gua.”
“Hahaha.. iya juga”
Hening. Hanya suara burung dan keramaia
n pesantren.
“Thanks ya,Zon. Dah mau nemenin gua...”
Keduanya merenung.... Hening dan tenang.