“kak tsumu, ayo kita makan dulu?” shouyou berdiri di ambang pintu, menatap kekasihnya yang berdiri di tengah ruangan.
“kamu tau? osamu emang rapih, tapi kamar ini gak pernah serapih ini. kemana semua barang-barang, sho?” shouyou melemah, ia berjalan menuju atsumu.
“kak, kak samu udah—”
“gak ada. iya, aku tau.” atsumu menatap kosong ke arah lampu terang di atasnya.
“ini rumah kita, tapi kalau osamu nginep, dia tidur di ruangan ini.” atsumu tersenyum simpul. “dia suka minta selimut double.” shouyou masih terdiam di belakang atsumu.
“dulu pas rumah ini dibangun, dia dateng ke aku, request sendiri soal kamar dia— kamar ini.”
atsumu mengepalkan tangannya.
“dia dulu... sering bilang sama aku, dia bakal terus dateng dan gangguin kita berdua, haha.” shouyou menunduk mendengar tawa renyah kekasihnya.
“shou, osamu lagi apa ya?” atsumu berbalik badan, membuat shouyou tertegun.
air mata yang sedari dulu belum ia keluarkan, kini menyerbu wajah atsumu habis-habisan.
“dia bisa aja ada di sudut ruangan ini, ngetawain aku, ya?” suara parau atsumu membuat shouyou reflek memeluknya.
“kak, udah yuk kita—”
“nggak, shou. biarin aku cerita.” shouyou melepas pelukannya, mengangguk.
“dia yang terbaik. dulu pas aku sd, aku gak ditemenin sama temen-temen aku. aku duduk di luar gym terus dia lempar bola voli ke aku.”
“lalu?”
“aku sadar, dia begitu biar aku gak sendirian. aku sadar, osamu mungkin gak bakat dalam hal menyampaikan kasih sayang, tapi perlahan aku mulai ngerti.” atsumu merebahkan tubuhnya di lantai, shouyou duduk di sampingnya.
“waktu aku ikut youth training camp yang ada tobio, dia sms aku mulu. dia ngomong katanya dia seneng disana gak berisik.” shouyou bingung mengapa atsumu mengatakannya dengan sumringah.
“tapi aku tau itu semua bohong pas dia cerita dia gak sengaja beli dua pudding, dua soda, dua makanan buat aku.”
“dia udah terbiasa.” lirih shouyou, diikuti anggukan atsumu.
“kalau aku lagi sakit, dia kelihatan gak peduli emang, tapi dia bakal masak dulu sebelum berangkat sekolah.” tangisnya sudah mereda.
“waktu aku liat kamu di nasional pertama kali dan kebetulan kalah, aku nangis di bis. dia nepuk pundak aku, dia bilang 'lo nangis gara-gara kalah atau gagal dapet nomor si oren?' aku langsung berhenti nangis, natap dia gak percaya.” shouyou terkekeh.
“terus kamu bilang apa?”
“aku bilang aku nangis karena dua-duanya. tapi bukannya berhenti aku makin nangis, karena di bis osamu ngasih onigirinya yang tinggal satu ke aku.”
“kenapa malah makin nangis?”
“osamu doesn't share his food to anyone, shou. even to me. so when he did back then, i know it's not just an ordinary thing from him. it means a lot to me”
shouyou terperangah, tangisnya sudah di ujung mata.
“there was some serious arguments back then, tentang perbedaan mimpi kita.” shouyou kini mengusap rambut halus atsumu.
“aku inget teriak aku bilang dia gak bakal bisa gapai mimpinya,” shouyou diam, menunggu atsumu melanjutkan kalimatnya.
“aku langsung minta maaf, aku sadar aku keterlaluan. dia gak maafin aku saat itu.” atsumu tampak sedih, lagi.
“terus aku cari cara, aku beliin dia apron gambar bebek gemes banget. waktu itu kita masih pake bunk bed, aku bisa denger dia nangis di kasur atas.” air matanya menetes lagi.
“aku ngomong pelan, 'maaf sam, maafin gue.' aku ngerasa bersalah banget waktu itu. karena osamu kalau marah langsung nonjok aku, tapi waktu itu dia masang wajah kecewa, dia diem doang langsung masuk kamar.”
“kamu lebih suka ditonjok?”
“iya, aku harusnya seneng dia gak ngelawan aku. tapi entah kenapa, aku gak terbiasa.”
“terus sebelum tes masuk jackals, dia nyeret aku ke kuil, ngajak aku berdoa. disana— disana dia berdoa khusyuk banget, bahkan pulangnya dia meluk aku, dia nepuk punggung aku sambil bilang, 'lo pasti lolos, kalah dan nyerah soalnya bukan gaya lo.' sumpah, aku mau nangis saat itu juga tapi malu.”
“shou, osamu gak pernah nyangka aku bakal beneran nikahin kamu. dia kira itu omongan lewat doang.” shouyou terkekeh lagi, dengan setetes air mata jatuh dari matanya.
“osamu... hampir gak jadi buka kedai pertamanya.”
“kenapa?”
“osamu gak percaya diri, apalagi dia di lokasi strategis. dia takut banget orang ngebandingin dan onigiri-onigirinya selalu direndahkan sama orang. osamu takut gak ada yang suka sama masakannya.”
“akhirnya dia jadi buka, kan?” atsumu mengangguk.
“aku yang kesana, aku yang marahin dia hehe. harusnya dia berterima kasih tuh, karena kalo bukan karena aku, sekarang dia gak bakal buka ampe tiga cabang.
aku dateng nyamperin dia, aku tarik tangannya terus mukanya aku siram pake air es. aku keluarin id card black jackals aku, 'lo liat ini! lo liat tanda gue raih mimpi gue! dari dulu gue bilang kita gak akan ada yang tertinggal atau pun ninggalin satu sama lain!
gue udah raih mimpi gue, lo juga harus melangkah sama gue, jangan biarin lo tertinggal, sam!”
“apa respon osamu?”
“responnya, dia nangis kayak anak umur lima tahun, gak bisa berhenti bilang makasih.” shouyou tersenyum.
“aku ikut nangis, osamu gak pernah blak-blakan bilang makasih dan bilang sayang dan beruntung punya aku di hidupnya.”
atsumu memindahkan kepalanya ke paha shouyou.
“shou, aku seneng banget punya kembaran. aku gak suka sendirian, jadi tuhan ngasih aku temen bahkan sebelum kita lahir.” tangannya menggenggam tangan shouyou.
lalu atsumu duduk menghadap shouyou, genggamannya pada shouyou melemah.
“shou.... osamu... udah gak ada?” lirihnya, bibirnya bergetar hebat.
“iya, tsumu. osamu pergi dua hari lalu. dia bilang makasih dan sayang sama kamu, itu kata-kata terakhirnya. dan di saat terakhirnya, dia makein kamu topi punya dia.”
“shou.. osamu udah gak ada.” tubuhnya bergetar, kembali menangis, kembali berduka.
atsumu kembali pada kenyataan bahwa osamu tak akan pernah datang menginap di rumahnya lagi.
atsumu kembali pada kenyataan bahwa osamu meninggalkannya.