Jauh terlentang mengenggam angan
Jarak dan waktu. Semuanya telah usang secara bersamaan
Hilang sudah mimpi dan kenyataan
Gejolak hati mulai takut tertampar
Serasa mau bahagia, namun ada beton tak terhindarkan
Ku gapai satu per satu, ku bertaruh antara hati dan pikiran
Tak peduli seberapa besar yang ku korbankan
Ku menulis tanpa adanya paksaan, namun perjuangan
***
Kabut pagi menutupi jalan di Desa Watukenongo. Namun, tak menghalangi niatku untuk melakukan penelitian. Ini adalah hari pertamaku melakukan penelitian di desa ini. desa terpencil jauh dari keramaian. Hawa sejuk terus mengikuti, semilir angin dingin mulai bergelut manja merasuki pori-pori tubuhku. Aku terus berjalan dengan membawa buku note serta pena. Yang kulihat saat ini hanyalah hamparan sawah nan hijau. Namun kutak peduli, tujuanku di desa ini hanyalah menyelesaikan penelitianku. Sampai akhirnya kakiku terhenti sesaat aku melihat seorang pemuda sedang merokok di pinggiran sawah. Aku bukan tipe orang yang suka merokok. Kakiku bergerak menghampirinya. Mungkin ini bisa jadi petunjuk juga bekal untuk penelitianku. “hai, boleh duduk?” tanyaku sambil takut-takut. Sekilas penglihatanku dia hanya menganggukkan kepalanya. Kutak ambil pusing, langsung ku duduki tempat di sampingnya.
15 menit mengalami keheningan. Kupecahkan dengan suaraku sendiri. Kugerakkan leherku untuk melihat ke arahnya “kamu... setiap pagi memang seperti ini, ya?”. Dia tidak menjawab. Aku berdiri dari dudukku. Susah berbicara jika tidak ada responnya. Jengkel juga!! Tapi, saat kumau berbalik melanjutkan jalanku. Tiba-tiba dia menahan tanganku. “duduk ..” suruhnya. Ya sudah kuturuti kemauannya. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Sambil mendengarkan curhatannya, sambil mengorek plus mengintrogasi tentang desa dan penduduk di desa ini lalu kelar sudah tugas penelitianku tentang desa ini. Hahaha.
“kamu pernah dapat masalah?” akhirnya dia bicara juga. Kuhanya menjawab dengan menganggukkan kepalaku saja. “kenapa?” aku bertanya. Dia menginjak-injak rokoknya dengan kakinya “kamu, anak pendatang kan?” aku hanya manganggukkan kepalaku saja. Tanpa menoleh kearahnya. “mau apa kamu ke desa ini?” “aku kesini untuk menyelesaikan tugasku”. Selang beberapa menit, dia mulai bercerita “kamu punya someone yang special di hidupmu?” aku mulai penasaran dengan arah pembicaraannya ini. Tanpaku jawab dia melanjutkan pembicaraannya sendiri. “tapi kamu beda agama sama dia, beda kasta. Banyak yang pro dan kotra antara hubunganmu dengannya” “kamu anak kota kan? pasti taulah masalh kayak gini pemecahannya gimana. Di desa ini sederhana pemikirannya, jika kita bukan jodohnya... ya sudah tinggalkan saja. Tapi aku mau ada ikatan sama dia” aku mulai paham akan masalah dan pemecahannya. “apakah itu sudah menjadi adat dari desa ini?” dia diam tak menjawab. Diam sama halnya “iya” kan?. “seseorang harus berani berkorban. Ntah, dia maupun kamu” dia terus diam. Kuberdiri dari tempatku kemudian menepuk pundaknya dan berkata “jodoh sudah ada yang ngatur” lalu kutinggalkan dia sendiri.
*
Ternyata, namanya Bayu. Darimana aku tau? Saat aku sudah jauh dari tempatnya duduk, dia berlari mengejarku untuk mengucapkan terima kasih kemudian memperkenalkan dirinya. Dan, sudah seminggu aku tinggal di desa ini. Aku dan Bayu sudah menjadi teman akrab. Aku sering searching tentang keadaan, suasana yang dia ketahui dari desa ini. Semua sudah kutulis pada lembar demi lembar kertas kerjaku.
Malam sudah menghampiri desa ini. Hawa dingin mulai menjamah merasuki tubuhku. Aku keluar rumah dengan pakaian tebalku. Aku merasakan gelisah. Ada apa ini?!! Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan dari arah utara. “Ayo dek, kita pindah dari desa ini” suruh seorang yang menghampiriku. Kau bingung, kenapa dengan desa ini? dari arah utara banyak penduduk yang berlarian ke arah selatan. Kuhentikan salah seorang bapak-bapak dan bertanya “pak, ada apa ini? kok semuanya pada lari-larian?” “lari neng, itu ada tawuran antar pemuda desa. Soalnya anak desa sebelah ngiranya pemuda desa ini yang telah melakukan perbuatan keji terhadap salah satu gadis perempuan desa itu. Padahal bukan desa ini yang melakukannya, di pintu gerbang sana udah ada beberapa warga desa yang nunggu. Jadi neng sekarang lari, ayo neng” bapak itu sudah melarikan diri menyelamatkan dirinya. Tidak!! Ini salah paham. Pikiran dan hatiku mulai bertolak belakang. Aku harus menyelamatkan martabat dan harga diri mereka masing-masing.
Aku melangkah menuju gerbang masuk desa Watukenongo. Yang kulihat saat ini banyak penduduk yang membawa banyak senjata. Aku tidak takut sama sekali, pikiranku menerawang kedepan, aku berusaha menyusun antara strategi untuk masalah ini dan untuk penelitianku. aku berjalan pelan ketika ku sudah mendekati tempat dimana mereka berkumpul “Ariani, kamu ngapain kesini?” aku tersentak kaget. Dunia nyataku kembali sesaat dia memanggilku. Dia, Bayu. Anak yang minggu lalu kutemui di pinggir sawah. Yah, namaku Ariani. Ariani Risky Octavia yang di kirim sekolah untuk melakukan penelitian di desa Watukenongo. Dia menghampiriku dimana kuberdiri “kamu ngapain disini?!! cepat sana kamu bersembunyi dengan yang lainnya” dengan cepat aku jawab “tidak!! Karena aku tau ini hanyalah salah paham” “ya... benar ini hanyalah salah paham..” dia menghela nafasnya kasar dan dengan suara yang mendadak lesu. “kenapa, Bay?” dia mendongakkan kepalanya keatas menghadap kearah langit kemudian memejamkan mata dan menjawab “dia ... perempuan itu ... perempuan yang aku cintai, yang telah mendapatkan perbuatan keji itu. Tapi, aku berani sumpah!! bukan aku pelakunya. Namun, orang tuanya menyalahkanku dalam masalah ini. Mereka menginjak-injak harga diriku dan desaku, membanding-bandingkan tingkatan kasta, antara aku dengan dia ...” matanya mulai berkaca-kaca, aku mulai tidak tega “kenapa gak di tanyain dulu sama si perempuannya. Kenapa itu bisa terjadi?” tanyaku dengan pelan-pelan “dia jadi gila karena masalah itu, siapapun yang menanyainya dia pasti marah-marah gak jelas ...” frustasi!!. Itulah yang dia rasakan saat ini. Ck, miris sekali.
Selang beberapa menit kemudian. Aku mendengar suara gemuruh, tandanya hujan akan turun. Pertengkaran ini tidak boleh terjadi. Aku melarikan diri, mendahului semuanya yang mau maju menjadi gerbang utama pertengkaran ini di mulai.
“STOOOOP!!” semuanya diam saat aku menjadi penegah antara kedua belah pihak
“hey kau anak muda. Apa yang kau lakukan disini?!! Cepat minggir sana”
Amarahku sudah tidak bisa di bendung lagi.
“APA UNTUNGNYA JIKA PERTEMPURAN INI DI LANJUTKAN?!! APA DIA BISA KEMBALI NORMAL?!!”
Hujan pun turun membasahi tanah desa Watukenongo, semua orang yang ada di sana diam mematung. Melihat seberapa besar nyali anak perempuan itu. Dari ujung rambut sampai telapak kakiku udah basah. Aku tak peduli
“apa kalian pikir, ulah kalian tidak meresahkan warga?”
“kalo kalian semua ada masalah dengan siapa pun dan dimana pun, selesaikan dengan baik-baik, dengan kepala dingin. Apa kalian punya bukti untuk menyalahkan desa ini atas masalah yang menimpa salah seorang keluarga di desa kalian?”
“kita satu bangsa, satu bahasa, meski beda budaya maupun agama. Tapi kita tetap bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika. Berpedoman pada sang garuda. Maaf, jika saya lancang, boleh saya menemui anak itu”
“kenapa kamu tiba-tiba ingin menemuinya” celetuk dari salah satu puluhan orang itu.
Aku mencari siapa orang yang berbicara seperti itu. Ketemu!! “aku bisa menyembuhkannya” jawabku mantap
*
Akhirnya, mereka semua menyetujuiku untuk melakukan penyembuhan terhadap gadis itu. Kuberjalan, untuk menemui gadis itu, aku ke tempat itu ditemani oleh Bayu dan para perangkat desa. Dengan perlahan namun pasti, setelah sampai di rumahnya tepatnya di kamarnya. Aku masuk sendiriran tanpa ada yang menemaniku. Memang itu yang kumau. Betapa kagetnya diriku!! Ketika melihat keadaannya. Kudekati dia .. kusentuh ujung kepalanya. Namun dia terus menyangkal agar tidak menyentuhnya. Dia di pojokkan kamar dengan duduk memeluk lututnya sendiri. Aku kasihan padanya!! Kudekati dia lagi dan kutanya “gimana kabarmu?” tak ada balasan “kamu tau? Bayu sangat menyayangimu. Meski kamu dan dia beda agama kamu akan terus bersamanya. Kamu jangan terlalu terpuruk ... Masih banyak orang di sekitarmu yang sayang sama kamu ... Btw, kita belum saling kenal, yaa .. namamu siapa?” kutanya dirinya dengan tanganku yang masih mengelus rambut kusutnya. Aku tersenyum tulus padanya. Dengan perlahan dia mendongakkan kepalanya menghadap kearahku dengan sebuah senyuman tipis di lekungan bibir ranumnya itu. Aku mengulurkan tanganku, lama tidak ada balasan kuraih tangannya dan kuajak dia menjabat tanganku “kenalkan, aku Ariani. Aku pelajar yang sedang melakukan penelitian disini” dengan senyuman mengembang akhirnya dia juga memperkenalkan dirinya. Wahhh... kemajuan pesat nih. “aku Dewi” kuraih dia untuk berdiri “sekarang ayo dandani dirimu dan keluar untuk menemui dia dan keluargamu”
*
Sejak beberapa kejadian kemarin. Aku merasa di hargai disini. Aku senang, setidaknya aku masih ada harganya selama aku melakukan penelitian di desa ini. Sudah sebulan lebih aku tinggal di sini, penelitianku juga mendekati selesai. Mungkin, sekarang aku harus balik ke asalku. Aisssh, bakal kangen sama Dewi dan Bayu, nih. Btw, soal hubungan mereka sekarang, baik-baik saja tidak ada pro dan kontra selama apa yang di lakukan pada hubungan mereka itu terkesan bahagia satu sama lain.
Aku semakin bahagia ketika melihat kedua desa itu sudah rukun satu sama lain. Tanpa kuberkata aku sangat nyaman ada di desa ini. Hanyalah waktu yang menyita kegiatanku saat aku di sini. Jika ada pertemuan pasti ada perpisahan. Aku udah berpamitan pada Bayu dan Dewi juga pada semua warga yang ada di desa ini.
Ku dorong koperku menuju ke dalam mobil yang telah menjemputku. Perlahan aku mauk kedalam moobil dengan melambaikan tanganku kearah mereka semua yang kini melihatku pergi.
**
Aku mendapatkan inspirasi dari penelitianku saat aku pulang dari desa Watukenongo. Setelah penelitianku telah di ACC oleh guruku. Aku kembali melanjutkan cerita ini yang akhirnya selesai juga. Kututup hasil karangan cerita pendek yang telah kubuat saat ini. judul teks pendekku “Mencintaimu dalam Pena dan kertas”
“huh, lelahnyaa...”
“sudah 2 tahun ternyata”
Ya benar, memang bukan aku tokoh utama dalam cerita pendek yang telah ku buat itu, tapi aku yakin perjuanganku dalam cerita itu adalah yang utama buatku.
Kugoreskan pena dalam sebuah kertas usang, lalu kutulis
Jika kita semua sama, maka tak ada yang special dari sang garuda. Semua hal yang sama tentu tidak akan menarik. Dimana letak kreativitas kita jika kita semua sama, sama budaya, agama, ras, suku, warna kulit? Semboyan Bhinneka Tunggal Ika sangatlah tepat untukmu dan alammu. Perbedaan menyatukan segalanya. INDONESIA TANAH AIRKU. INDONESIA TUMPAH DARAHKU.
Aku mencintaimu dalam sebuah pena dan dalam kertas ini, kutuliskan lagi “aku mencintaimu” kenapa? Kau hebat dalam memperjuangkan, mengorbankan, dan mengikhlaskan. Untuk itulah aku meniru sikap dan sifatmu. Aku, Ariani Risky Octavia mengabdi pada negara ini. Negara INDONESIA.
Kini penelitianku telah usai, dengan judul PERJUANGAN TAK TERKALAHKAN. KALAH DALAM BERJUANG.
Setelah kumenulis kata-kata itu pada kertas putih, aku lipat menyerupai pesawat dengan make a wish “semoga keberuntungan selalu ada di pihakku” dan ...
**
3 tahun kemudian .. setelah semuanya telah usai. Benar-benar usai.
Aku kembali menginjakkan kakiku di sini di desa Watukenongo ini.
Semua kenangan kembali terukir jelas dalam memory hidupku.
Semoga ... kutemukan jodohku di tempat ini. Aamiin. hehehe