MENGHANGATKAN NAMANYA
Cerpen
Kutipan Cerpen MENGHANGATKAN NAMANYA
Karya syamzilayt
Baca selengkapnya di Penakota.id
Tertanggal 21 februari 2013, malam tampak mendung dan rinai mulai turun jarang-jarang, jarum jam dinding berdecit di antara remang yang merajai ruangan delapan kali tujuh meter itu, di depan gedung empat lantai yang merupakan asrama santri terpanpang luas lapangan bola dua kali lemparan baru, di tempat itulah semua penat dan frustasi dituntaskan untuk kembali bisa mengambil napas baru yang dituang oleh semangat muda. Besok pagi lapangan itu akan kembali mengepulkan debu yang setebal matras yang digunakan santri tingkat dua melakukan senam lantai.
Aku terduduk di halaman depan asrama usai meramu secangkir hangat yang sanggup menandaskan haru musim dingin beralas sajadah juga sarung tenunan khas kampungku, malam sebelum keberangkatanku ke pulau seribu masjid, seorang gadis yang akan banyak kunarasikan kisahnya mendatangiku sebagai tamu istimewa, dua minggu sebelum itu aku pun menghampiri rumahnya dan dijamu oleh keluarganya, setidaknya, ada ibu dan kakaknya. Di ruang tamu rumahku itulah proses serah terima sarung berlangsung dengan khidmat meski terlihat separuh canggung sebab kita mengawali temu tak lebih satu bulan yang lalu.

Aku cukup mengenal gadis itu sebagai anak yang taat dan patuh pada titah orang tuanya, sangat pemalu dan tak suka berdebat meski tentang hal-hal kecil. Satu kali aku mendebatnya yang ingin bolos di jam terakhir hanya karena tahu bahwa aku sedang ada di dekat sekolahnya, ia teguh ingin menemuiku dengan belasan alasan yang pada intinya sama “Bapak guru absen di kelas terakhir.” Aku pun meyanggupi alasannya lalu memilih bersua di rumah pamanku yang berjarak dua kali panjang kereta Ambarawa Ekspres, belum juga gadis itu sempurna duduk di depanku aku mengejeknya sambil mengatainya pemalas, tentu aku tak pernah tahu bahwa itu akan mengeruhkan suasana batinnya yang kemudian merunduk dan menarik diri keluar rumah, aku membujuknya dan tanpa sengaja mengatainya cengeng, setelah itu ia bahkan tak menoleh barang sedetik dan menaiki sepeda motornya tanpa pamit.

Malam tampak buncah dan hamil tua, beberapa hari tersisa sebelum ia kembali beranak-pinak dan melahirkan purnama bagi kelam yang bagai mimpi buruk untuk semua, termasuk ikan yang terdampar di pesisir nirnama.

Satu persatu lampu asrama dan ruang kelas terpejam, beberapa orang bersarung beringsut ke asrama, memandangiku dengan jeda ragu lalu menyalamiku serta menambahkan Tanya.
“Antum belum ngantuk, Fit?” sembari tarpaku melihati tanganku yang membasahi ujung kertas dengan tulisan patah-patah
“Belum, Mi”
Zam Zami adalah teman sekelasku di tingkat akhir, ia berasal dari Surabaya, hobi membicarakan isu-isu politik dengan selalu mengkritik ketidakmerataan keadilan, kami kadang menganggapnya sebagai duta hak asasi, ia hafal pasal-pasal seputar hak asasi manusia bahwa semua sama di depan hukum. Seminggu terakhir dia semakin tak terkontrol membesarkan nama salah satu pasangan calon dalam kontestasi pemilihan presiden setahun mendatang. Di sisi yang lain aku mengaguminya sebagai santri serba bisa, Zam Zami menguasai banyak bidang ilmu pengetahuan, dari ceritanya ia pernah menjuarai Olimpiade Mipa, lomba pidato dua bahasa asing tingkat provinsi sampai lomba pancak silat tingkat nasional.
Zam Zami kembali masuk ke kamar, selang beberapa menit keluar membawa sebungkus biskuit dan sehelai sajadah miliknya.
“Antum keluar tidak besok, Fit?”
“Ana juga belum tahu, Mi. Dua minggu yang lalu sudah ana pakai jadwalnya.”
“Emangnya Antum mau kemana?” Zam Zami sebenarnya tahu tempat yang kutuju ketika berlibur, beberapa kali kita bahkan sempat berpapasan di tempat itu. Hanya saja ini adalah kali pertama aku hendak keluar pada waktu yang bukan jadwalku,
“Besok adalah hari milad Kusuma” lirihku dengan tak sempat memikirkan warna muka pria di sampingku yang mendadak muram, ia seperti berpikir keras, tangan kirinya menggaruk-garuk kepala.
“Antum harus bisa keluar”
“Setidaknya jangan melengkapi ketiadaberadaan antum di sana.” Ulas Zam Zami mengajakku sedikit berpikir lebih keras.
Kami menandaskan belasan menit sampai pria itu bangkit dan berteriak kecil.
“Ana punya ide” ungkap pria itu yang kemudian meraih kertas dan polpen di sampingku. Ia menerangkan begitu cerdas membuatku menatapnya dengan rasa takjub yang membengkak dalam dada.
“Jangan lupa kirimkan dia hadiah yang berkesan,” pesan Zam Zami yang kusambut dengan anggukan “Tentu,” Lirihku membatin.

Keesokan harinya Zam Zami berhasil membuatku keluar dari pondok yang seluruh santri sepakat menamainya penjara suci dengan alasan terkonyol yang pernah kudengar, seorang pembina menatapku dengan teduh saat aku memasuki ruang guru, ia sempat mengelus punggungku perlahan, “Kenapa tidak pernah cerita kalau punya riwayat ambeien?” “Pasti sakit sekali, yah? Sambungnya lagi, aku hanya mengangguk sambil memasang mimik penuh derita.
Di gerbang masuk seorang teman lama melambai, aku menyambutnya dengan salam dan betukar kabar, tidak banyak yang kita bicarakan di awal temu sehingga aku memintanya mengantarkanku ke toko buku, aku membeli tiga buah novel dan satu kumpulan puisi untukku, lalu berpindah menuju toko bunga yang masih sejalur dan tak begitu jauh serta amat mudah dijangkau sebab berada di pinggir jalan utama, tak lebih sepuluh menit sampai aku menemukan bunga yang cocok dengan warna yang disukai oleh gadisku,. Tepat di seberang jalan berdiri sebuah bangunan baru yang kutebak adalah toko kerajinan tangan, aku meraih lengan sahabatku yang memandangiku bingung, seorang wanita muda menyambut kami di depan pintu dengan senyuman dan rona muka yang biasa dijual resepsionis saat menyambut tamu yang datang,
“Maaf Mbak, di sini bisa buat sketsa wajah berbahan kayu?” tanyaku sedikit gusar
“Bisa, silakan duduk dulu, yah” pinta wanita itu ramah.
Tak lama kemudian aku mulai menjelaskan segala hal yang ada di kepalaku tentang lukisan wajah yang kuinginkan dan menyerahkan gambar yang beberapa menit lalu kudownload dari media sosialku.

Tak begitu lama setelah pesananku mulai dikerjakan, aku meminta pria yang cukup kukenal tabiatnya itu untuk menemaniku berkeliling, ia pun menyanggupi dengan sukarela, pria yang kuperkenalkan sebagai teman lamaku ini adalah mantan santri, tidak, sejatinya dia adalah model santri yang baik, tidak pernah dihukum sebab tidak salat jama’ah atau pernah loncat pagar atau bahkan ketahuan melakukan penyimpangan seksual secara sengaja, tidak sama sekali. Pihak pondok mendropoutnya karena ketidaksanggupan dirinya memenuhi persyaratan naik tingkat, yaitu menghafal dua juz al- quran dalam setahun. Namun aku tidak pernah menyesal pernah menjadi bagian dari cerita malamnya atau meneguk cemburu yang ia nyalakan di hadapanku, dia terlalu sempurna untuk dijauhi, meski dalam banyak hal dia terbaca lamban.

Sore itu kami menjelajah kebebasan, aku melompat riang gembira, temanku tentu akan sangat memahami caraku yang demikian, aku mulai melecuti cemas dan gema nestapa, aku sangat ingin bahagia hari itu, dan perlahan memahami harga dari jarak yang mengasingkan banyak mata.

Sore mulai cemes ketika gemerlap eloknya dikaburi kusut warna langit yang mulai bangga dengan warna muramnya, aku menyudahi menikmati senja yang robek, dan berjalan dengan malam, temanku melempar kunci kendali motornya padaku, aku sumringah, untuk pertama kalinya aku akan menjajah jalan raya ibu kota, sebaliknya temanku menggenggam semua barang yang akan kukirim pada gadis pemilik tenunan hangat itu, aku bisa membayangkan warna mawar di mukanya, rinai yang menggelayut di wajah pemalunya, aku bisa merekam senyum simpul dan emosi rindunya. Aku mulai menggambarkan semuanya di kepala. Namanya, tingkah lucunya dan…

Dua bulan kemudian, aku menemukan diriku di ujung ruangan, dengan bebat yang melilit seluruh kepala dan kedua tangan, mataku hampir tak mengenali tubuh-tubuh yang berdiri tegap dan seorang yang mengibaskan tangannya. Suara-suara saling sahut menyahut dari dalam dan luar ruangan lalu aku terlelap dan tak mendengar apa-apa. Keesokan harinya aku terbangun oleh seorang yang menyebut nama gadisku. Apa dia benar-benar di sini? Aku ingin melihatnya namun tubuhku lumpuh dan tak ada yang tersisa kecuali rapuh.

Enam bulan aku mengikuti saran dokter ahli untuk tinggal di atas deritaku, setidaknya aku menyanggupi demi ibuku yang terlampau lelap dalam pilunya. Aku menandaskan saran itu dengan sempurna, aku mulai bisa menyantap makanan rumah sakit, dan duduk di atas kursi roda. Perlahan aku menangih potongan cerita yang terjadi malam itu, ibuku tegas tidak ingin mengulang lukanya. Namun aku berusaha menyatukan kembali ingatanku yang bagai puzzle berserakan di dasar kepalaku lalu menuntaskan semuanya dengan haru di mataku. Aku tak pernah menemukan kembali mawar di wajah pemalunya atau dia yang akan tertawa menangkap sketsa wajah lucunya. Sebabnya kini hasratku lumpuh. Dan tak pernah ingin menemukan pagi pada esok. Tak ada yang ingin kutunggu selain hari di mana aku menggugurkan mawarku pada pusara milik gadis yang mendahuluiku malam itu.

Lima tahun telah usai
Hiduplah dengan doa dan puisi yang kutenun setiap tahun.
Bahwa namumu tak pernah usai
Tetap tinggal dan kueja kala sendu

(22/02/2013)
(22/02/2018)
22 Feb 2018 22:40
109
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: