Sekecup Permen Romantis
Cerpen
Kutipan Cerpen Sekecup Permen Romantis
Karya syaneirawan
Baca selengkapnya di Penakota.id
Kau tahu apa yang lebih panas dari panci air yang sedang di panaskan? Bukan. Bukan api nya. Tapi cahaya matahari sore ini. Angin bertiup kencang bersama alunan kicau burung yang tengan bersemangat menutup hari. Barangkali si jantan mendapatkan banyak makanan untuk makan malam bersama si betina. Pasir-pasir beterbangan bersama daun melinjo kering tak berklorofil. Asap hitam pekat berhembusan di belakang bus-bus yang sedang di panaskan oleh sang supir sembari menunggu penumpang. Penjual kaki lima dengan bugar nya menyambut setiap pembeli yang mampir sebelum naik bus yang ada di halte depan nya.

"Beli permen?" Entah pertanyaan atau pernyataan bariton pria yang mampu mengalihkan pandangan ku dari kumpulan warna bungkus permen-permen yang di taruh ke dalam toples yang berada di hadapan ku.

Pria berkaus lengan pendek bertuliskan Hum Pim Pah warna merah marun yang di tambah kaus lengan panjang serupa manset wanita berhijab tersenyum kepada ku. Mata nya berubah menjadi bulan sabit seketika, hidung nya merah sementara permukaan kulit muka lain nya putih bersih jauh beda dengan kulit sawo matang serta berjerawat milik ku. Gigi nya besar berjajar rapih di tambah kumis tipis yang mampu menggoda setiap wanita yang melihat nya. Alis nya tebal dan rapih membuat ku iri. Rambut nya panjang sepundak tertiup angin serta tangan kiri nya menggenggam tali tas gitar berwarna hitam menahan nya agar tidak lari dari pundak kiri nya. Bisa di pastikan dia adalah seorang pemain musik. Ya musisi!

Aku hanya membalas entah pertanyaan atau pernyataan yang ia ujarkan dengan sebuah senyuman. Sebenarnya aku ingin sekali berkata pada nya "Kamu pria tapi mengapa kamu begitu cantik? Indah di lihat seperti dewa-dewa langit yang selalu ku lihat pada lukisan yang terjajar rapih di museum seni." Tapi keberanian ku tak sebesar gantungan bola yang ada di video klip lagu Wrecking Ball milik Miley Cyrus. Tak sebesar nominal rupiah yang di curi oleh Tikus negara. Kepala ku kembali ku arahkan ke toples-toples berisi permen. Tangan kanan ku mencabut salah satu permen kojek berwarna merah muda dengan tulisan Strawberry di bungkus nya yang tertancap di tutup toples berlubang. Memberi selembar uang bernominal dua ribu rupiah kepada si penjual, lalu pergi berjalan kaki sekitar dua meter ke halte bus untuk menunggu bus yang akan mengantarkan ku pulang ke rumah.

-

Sore yang lain masih dengan cuaca dan tempat yang sama tapi hanya berbeda keadaan. Aku tidak membeli permen walaupun aku berniat membeli nya. Tapi apa guna nya membeli sesuatu yang sudah ku punya. Suara anak-anak riang memenuhi rongga telinga ku. Para anak laki-laki bermain bola, anak laki-laki yang lain bersorak sorai mendukung tim-tim nya. Ada juga suara melengking anak perempuan tomboy yang sedang berseru "Bimo! Ayo giring bola nya!" Ia berbeda dengan anak perempuan lainnya yang sedang bermain masak-masak dengan pasir di atas panci yang terbuat dari kaleng bekas biskuit Monde sisa lebaran. Barusan anak yang berseru mendukung Bimo menghampiri ku dengan sebuah permen dan memberikan nya kepada ku dengan paksa. Aku terima. Aku memasang headset di kedua telinga ku lalu duduk di trotoar halte yang berada di pinggir lapangan terbuka. Kursi di halte sudah penuh, bukan dengan para lansia, ibu hamil atau disabilitas. Tetapi dengan para remaja yang sedang bermain ponsel pintar yang tak membuat mereka pintar. Mereka kehilangan sopan santun dan kepedulian hanya karena serius menatap layar yang entah menyaksikan apa. Sepasang nenek dan kakek duduk di trotoar samping ku mengikuti ku. Sebenar nya ini bahaya, tapi bagaimana? Etika datang dari diri masing-masing, kalau aku mengusir remaja itu. Aku takut mereka viral karena berkata "Saya ini anak nya Arman Depari." Atau mungkin mengaku anak pejabat lain nya. Ya aku penakut karena dari awal aku sudah bilang bahwa keberanian ku tak sebesar bola pada video klip Wrecking Ball ataupun nominal uang yang di curi tikus negara.

Aku lebih memilih membaca secarik kertas yang ada di genggaman ku. Senyuman melengkung di bibir tipis ku. Lalu aku mengeluarkan tip-ex dari dalam tas ku. Menyoretkan sebuah kata di trotoar tak berwarna yang ada di samping ku. "Tisa." Itu yang ku tulis. Nama ku sendiri. Sebenar nya kita tidak boleh mencoret trotoar sembarangan, tapi menurut ku mencoret trotoar usang bercat pudar bahkan hampir hilang di sebuah halte terbengkalai sah-sah saja. Bus ku menepi aku berdiri lalu lari masuk ke dalam nya, semua kursi penuh. Aku membuka permen kojek dengan bentuk yang sama seperti yang ku beli. Memasukkan nya ke dalam mulut ku dengan tangan kiri, dan tangan kanan yang menggenggam handcrip metromini 47 tujuan Senen-Pulo Gadung. Aku rasa panas di sore ini telah mendingin secara perlahan.

-

Sore berikut nya di tambah sepeda berkeranjang jamu serta wanita berkebaya seksi nan cantik di hadapan ku. Bisa di tebak bahwa usia nya sekitar tiga puluh tahunan, tapi badan dan wajah nya tetap awet muda. Mungkin karena jamu-jamu jualan nya yang secara diam-diam ia minum juga. Tak ada larangan kan kalau seorang tukang jamu meminum jamu. Entah ramuan dedaunan dari dunia mana sehingga jamu yang di minum nya memberikan nya wajah awet muda dan membuat para pelanggan nya awet berlangganan pula. Anak-anak mengelilingi sepeda tersebut, hanya sekedar untuk membeli beras kencur atau mungkin buyung upik yang sedikit lebih mahal dan enak dari pada beras kencur. Para pekerja pria pun tak mau kalah, membeli jamu untuk menambah stamina sembari menggoda si tukang jamu yang murah senyum itu dengan ucapan-ucapan gombal.

Aku menatap kertas yang ada di genggaman ku sembari mengemut permen. Di samping ku tak ada lagi sepasang nenek-kakek. Hanya ada Mala yang ikut duduk di trotoar sembari menyedot jamu buyung upik nya dari dalam plastik es mambo yang sengaja di panjang kan oleh si penjual jamu. Hari kedua dengan secarik kertas, senyum ku mengembang seperti adonan kue yang sudah di beri baking soda satu jam sebelum nya. Aku menatap Mala yang sedang menghabiskan seruputan terakhir nya sambil menatap jalan yang penuh lalu lalang mobil.

"Mala!" Aku memanggil anak perempuan tomboy yang kemarin mensupporteri teman-teman nya yang sedang bermain bola. Anak itu menoleh menatap ku dengan wajah polos nya. "Bilang ke Kak Gondrong kalau Kakak mau tahu nama nya dia dulu ya." Ucap ku pada anak itu.

"Emang kakak gak tahu nama nya?" Tanya anak itu heran. Aku menggeleng. "Nama nya Kak Roman." Anak itu memberi tahu ku. Jadi nama pria cantik bak dewa langit itu adalah Roman. Aku tiba-tiba membayangkan mata bulan sabit nya saat tersenyum. Dan aku tersadar dari pikiran ku yang melambung begitu jauh hingga alam dewa. Aku menulis sesuatu di balik kertas tadi yang kebetulan kosong. Lalu memberikan kertas tersebut kepada Mala. Setelah itu Mala lari ke lapangan, pertandingan antara tim Ucok dan tim Udin akan di mulai. Pertandingan kedua U bukan pertandingan U dua. Aku tertawa memikirkannya, ku sumpal kedua telinga ku dengan sebuah headset setelah puas tertawa. Sebuah lagu pun mengalun di rongga telinga ku. Dan aku pun menaiki metromini yang sama, metromin yang akan mengantarkan ku ke rumah.

-

Aku melipat kertas yang baru saja ku dapatkan dari Mala. Aku tak membalas surat nya lagi. Kenapa? Karena sudah dua kali aku di buat berbunga tetapi kami tak kunjung sua. Aku menatap Mala yang sedang serius menengguk jamu Buyung Upik nya. Barusan ia aku belikan Jamu Buyung Upik, hitung-hitung ganti rugi karena aku tak mau membalas surat dari Roman. Kata Mala, setiap kali ia memberikan surat sekaligus surat itu di jawab oleh ku. Ia akan di traktir Jamu Buyung Upik oleh Roman. Lucu. Mala seperti jasa kurir surat cinta. Aku tersenyum memikirkan nya.

"Itu Kak Roman!" Mala menunjuk ke belakang punggung ku, sontak aku langsung memutar badan ku. Benar. Roman si pria cantik yang menyerupai dewa jalan menghampiri ku. Tangan kiri nya menggenggam tali tas gitar yang tersampir di bahu kiri nya. Rambut nya berterbangan tertiup angin sore ini, senyuman khas nya membuat ku beku sesaat.

"Tisa!" Panggil Roman saat ia berjarak satu meter dari hadapan ku. Senyuman nya tak lepas dari bibir. Manis. Aku membalas senyuman nya. Mala langsung berlari menuju lapangan tempat ia biasa bermain.

"Karena pakaian ku yang terlalu rapih, kamu bilang aku mendengar lagu Fana Merah Jambu nya Fourtwenty? Aliran ku gak indie banget kok. Kemarin aku dengerin lagu Boombayah nya Blackpink." Roman tertawa mendengar penjelasan ku. Ya. Surat ku hari ini bertuliskan "Biar ku tebak. Kemarin kamu mendengarkan lagu Fana Merah Jambu nya Fourtwenty. Pakaian mu mewakilkan mu."

"Kalau begitu mulai besok kamu harus pakai baju berwarna neon supaya lebih pas seperti orang-orang di Korea." Ucap Roman di akhiri kekehan. Aku ikut tertawa.

"Biar aku tebak, kamu ini Indie banget. Bukti nya hari ini kamu pakai kaus berlogo White Shoes and The Couples Company." Ucap ku asal.

"Bisa di bilang begitu, tapi... aku gabung di band Rock kampus." Ucap nya. Aku mengangguk mengerti. "Lalu... apa jawaban dari pertanyaan ku kemarin?" Lanjut Roman sambil mengangkat kedua alis nya.

"Aku bakalan jawab, kalau kita kenalan." Aku menyodorkan tangan ku ke hadapan nya. Ia tersenyum sembari menyalami tangan ku.

"Roman." Ucap nya.

"Tisa." Ucap ku.

"Nomor mu?" Tanya dia.

Aku menarik pergelangan tangan nya, mengambil pulpen dari dalam saku kemeja ku lalu menuliskan nomor telepon ku di telapak tangan nya.

"Kemana permen mu?"

"Ada."

"Kenapa tidak di makan?"

"Karena permen bukan nasi, jadi enggak bisa di makan. Cuma bisa di emut."

"Haha. Benar juga. Ya udah pulang yuk! Bis mu udah datang!"

"Kamu naik 47 juga, Man?"

"Enggak. Aku antar saja."

Sore itu bukan hanya sepasang burung yang pulang berdampingan dengan gembira nya tetapi ada dua pasang burung. Sepasang di udara dan sepasang di darat. Sepasang pulang dengan sayap dan yang sepasang lagi pulang dengan metromini. Banyak perbedaan antara dua pasangan tersebut, tetapi ada satu yang sama antara dua pasangan tersebut. Yaitu rasa cinta terhadap pasangan nya.

-

Di hari berikut nya, di minggu berikut nya, di bulan berikut nya, di tahun berikut nya, di sepuluh tahun berikut nya, Roman dan Tisa pulang berdampingan. Entah sampai kapan mereka pulang berdampingan, mungkin sampai maut memisahkan. Yang perlu kita tahu hanya fakta bahwa Roman dan Tisa saling mencintai, kisah mereka terlalu romantis untuk kita kenang sehingga susah untuk di lupa kan.
09 Apr 2018 06:41
196
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: