Menelikung Archimedes
Cerpen
Kutipan Cerpen Menelikung Archimedes
Karya triskaidekaman
Baca selengkapnya di Penakota.id
Aramis bersikukuh, detik di bekernya lebih lambat daripada Detik yang membandul kanan dan kiri. Ia teguh, detik sukarela melambat demi melanggengkan tautan jari manis yang ia buat dengan Deimos, menelikung Detik. Biar. Orang-orang memang bilang tidak. Namun bukti-bukti ilmiah sahih mengiyakan.

Ditatapnya jarum jam, rekat. Matanya dan sang waktu terbebat. Si merah ramping itu berderak dari angka sebelas, perlahan menuju dua belas.

Dua belas yang ditunggu Deimos dulu.

~

Kismat itu tak bolehlah semuanya nikmat. Kalau tiba-tiba semua perintil semesta terasa berkat, hanya ada dua pilihan: satu, sebentar lagi kiamat; atau dua, orang itu akan kualat. Kualat dengan siapa, Aramis tidak pernah paham. Ayahnya mati ditombak ketika mendekam di penjara, ibunya mati tertimpa mesin jahit. Cuma selisih enam minggu. Dua kematian yang sama tak mungkinnya, tetapi sama nyatanya, sama-sama menimpanya.

Karena mereka, bejana di hati dan kepalanya kosong seketika. Lalu Aramis isi bejana itu dengan macam-macam perkakas. Karena ia tukang jam, ia pepatkan angka satu hingga dua belas, ia kemas dalam tabung demi tabung di bejana itu. Paling dasar, ia benamkan jam beker. Utuh. Masih bisa berbunyi. Barulah ia timbun beker itu dengan jejarum, menit detik dan jam. Usai, ia naikkan kenop ritsletingnya dari pinggang sampai tengkuk, ia rapikan kerahnya, ia kancing kemejanya. Tidak akan ada yang tahu.

Kala itu, benar semuanya nikmat. Toko jamnya terkenal, sering masuk berita, jadi buah bibir. Jam rakitannya dipuja-puji. Rekeningnya tak pernah susut. Terus kembang, seraya jagat, sesuai nubuat Hawking. Merentang dan merentang, hingga merengkuh gadis yang ia puja.
Deimos.

Ia gadis yang kerap datang membawakan jam baru buatnya. Kadang ia selipkan di pinggang, kadang di sela kutang. Kadang berjejarum, kadang digital. Ia piawai melumat dua belas angka, sebingkai layar pendar, dan hati Aramis. Perlahan bejananya sesak. Penuh warni dan warna.

Ada yang mengetuk pintu. Aramis menoleh. Segera ia pasangkan tungkainya pada bonggol lutut, mendekat, membukakannya. Deimos. Perempuannya. Tanpa celak tanpa pulas tanpa gincu, ia gusar.

“Kamu terlalu awal dua puluh menit.”

“Aku tak peduli dengan jam. Kita harus bicara sekarang.”

Aramis menggiring Deimos masuk. Deimos mengedik, hanya mau sampai ke balik pintu, lalu bergeming.

“Ada apa ini?”

“Tidak ingat?”

“Pada?”

“Penyerbukan kita.”

Istilah Aramis dan Deimos rimbun akan bebungaan, rerumputan. Termasuk ketika putik mungil yang beralih menjadi liang bertaut dengan kepala sari yang berperan jadi putri malu, tanpa malu-malu. Dua malam berturut, air muka bersemburat, sekujur badan penuh keringat melekat, hingga bertonjolanlah urat-urat.

“Kita berhasil, Ara. Aku hamil.”

Aramis terkesiap.

“Tiga bulan.”

Ingin sekali Aramis cerabut penisnya segera, lalu ia rendam dalam air keras, ia biarkan lumat, agar tak usah dipakainya lagi selamanya. Ia tahu ia fertil, tetapi ia tak tahu betapa nikmat ritual itu, ia juga tak tahu bahwa menarikannya sesekali saja pun bisa menghasilkan anak. Anak. Penerus garis keturunan, sekaligus pemutus garis kesabaran. Penerus nama sandang, sekaligus penguras lumbung uang.

“Gugurkan.”

“Tidak.”

“Gugurkan, Dei.”

“Tidak.”

“Dei, kubilang gugurkan.”

“Ara, kubilang tidak.”

Begitu terus, sampai gelap.

Sampai jakun Aramis dipenuhi dahak yang seharusnya tak pernah ada.

~

Bayi laki-laki itu lucu sekali.

Deimos mau menamainya Phobos, agar anak itu nanti bisa menemaninya mengelilingi Mars. Aramis mau menamainya Porthos, supaya suatu hari nanti Deimos mau mengubah namanya menjadi Athos dan mereka membangun sebuah triumvirat. Tarik tambanglah mereka. Untung bayi itu tidak mati di tengah.

Toko jam kian laku. Aramis membeli seperangkat perkakas baru, tepat di saat ukuran popok Porthebos naik satu. Tak lama, Aramis memperluas toko, tepat di saat Porthebos masuk kelas satu. Tak terasa, Aramis kini kaya raya, tepat di saat suara Porthebos pecah, pagi-pagi celananya terenjis basah, tapi ia tak pernah merasa punya ayah.
Deimos menyaksikan. Hatinya teriris. Malam-malam tertentu, masih ada penyerbukan. Tetapi ini beda. Urat itu menonjol, tapi tidak dialiri gairah. Raga itu terkedang, tapi semua melompong. Hanya onggok daging dan tulang.

“Ara, kenapa kamu begitu membenci Port....”

“Aku tidak membencinya.”

Ingat bejana yang terlindung di balik bonggol-bonggol di punggung Aramis? Bejana itu masih ada. Masih diam.

“Kamu seharusnya berikan waktumu buat....”

“Tapi kan, ada kamu, Dei.”

Bejana itu masih diam.

“Kamu bapaknya.”

Godam. Bejana itu bergeletar halus.

“Bagaimana aku yakin, Dei? Mukanya tak mirip aku.”

“Hei! Aku ingat benar rasa kemalu....”

“Diam. Jangan sebut-sebut itu lagi.”

Bejana itu berdengung.

“Kembalikan waktuku, Ara, kalau begitu.”

“Kenapa harus....”

Bejana itu mendidih. Jarum tunggang langgang. Angka berdesak-desakan.

“Dulu aku berikan kamu banyak jam. Lumat semua, masuklah mereka ke dalam punggungmu,” cerca Deimos, “aku tak minta harta begini banyak, Ara! Tapi.... Tapi aku tak pernah kamu beri kesempatan bicara....”

“Bicaralah sekarang, kalau bisa.”

“Porthebos butuh kamu.”

“Tidak. Aku bukan bapaknya.”

“Kamu ayah Porthebos, Ara.”

Bejana itu meledak.

Berhamburanlah jarum, angka, bingkai, sirkuit. Juga serpih tulang punggung Aramis. Deimos memekik, disusul masuknya Porthebos lewat pintu belakang. Matanya sembap, bibirnya pucat.

Persis Aramis ketika gugup....

~

Terbaring dan terduduk tanpa sanggup berdiri dan berjalan lagi, Aramis melepas kedua paha dan tungkainya, menyampirkannya saja di tiang tempat tidur. Ia kian murung di kala siang, kian merutuk di kala malam. Toko jamnya surut. Ia diasingkan, orang tak mau mengenalnya lagi. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya, sejak Deimos dan Porthebos bergantian mengampunya di rumah sakit, tanpa putus.

“Ara, perlu apa? Sini kuambilkan.”

“Pop, lapar?”

“Kurang perkakas apa?”

“Ada yang mau kaubeli, Ara?”

“Sini, Pop, mandi.”

Porthebos melepaskan lembar demi lembar kain dari tubuh plastik yang diam itu, penuh kesabaran. Lalu ia lepaskan celananya, hingga menyingkap ceruk di tempat pangkal paha seharusnya bercokol. Bulir demi bulir bening menetes satu-satu di wajahnya. Lelah Porthebos mencari mata ungu Aramis, lelaki itu masih membuang muka, enggan menatapnya. Pun ketika ia angkat tubuh itu ke bawah pancur, membasuhnya dengan air, membalurinya dengan sabun hingga busanya membubung dan wanginya merubung, lalu membasuhnya sampai bersih. Memijat-mijat tubuh itu agar tidak melangu. Menggosok tubuh itu dengan minyak khusus agar tidak terkelupas. Begitu terus setiap hari. Terkadang, Porthebos menghadiahi Aramis dengan membiarkannya mandi berendam di bak, agar Aramis rileks dengan wangi sabun yang terus ia gilir.

Seperti malam itu.

Aramis berteori dalam diam. Suatu ruang ialah tetap. Semakin ia dimampatkan, semakin ada yang terlempar. Ketika ia membangun toko jamnya, Deimos dan Porthebos tersisih. Eureka! Bak mandi Archimedes meluap. Bejana di punggungnya meledak. Menebar partikel dan renjana ke segenap semesta, lalu mengembang, terus mengembang. Oh, tidak! Hawking ngawur! Semesta itu geming. Mematung. Kotak berdinding pejal. Tak lentur. Aramis menggedornya. Tak ada yang membukakan. Benar teori Archimedes itu, bahwa apa yang dimasukkan ke bak, akan mengeluarkan yang lain. Benar pula teorinya sendiri itu, bahwa apa yang dijejalkannya lagi ke dalam bejananya, hanya akan mengusir sesuatu keluar dari rangkum punggung rapuhnya.

Yang keluar itu adalah Deimos dan Porthebos.

Tak bisa, gumam Aramis. Ia bertekad, ada yang harus ia ubah. Harus.
Ia bertekad sebulatnya. Putaran siang dan malam selanjutnya, harum bak mandi yang berikut-berikutnya, usapan tangan lembut Porthebos, bisik-bisik sayang Deimos.... harus ia nikmati sepenuhnya.

Sepenuhnya.

Persetan apa kata Hawking.

~

Aramis bersikukuh, detik di bekernya kini melambat sepersekian Detik dari apa yang manusia tahu sebagai Detik. Ia menatap jejarum halus dalam wajah sang jam, meyakini perkataan para mitra bestari yang berkelindan di antara dua telinganya, seraya tersenyum samar. Meyakini ia telah menelikung Archimedes, Aramis menyeringai, menantang langit, lalu kembali lagi ke jamnya. Porthebos dan Deimos saling kerling, menyebatkan sedih, membiarkan semua menggelantung di udara.

“Porthebos, jangan lupa, sore ini jadwal psikiater kita datang,” bisik Deimos. Porthebos mengangguk, sambil memindahkan kedua paha, kedua tungkai, dan kedua lengan Aramis ke tepi meja.



(Jakarta, 3 November 2017)
27 Nov 2017 22:48
358
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: