Setiap orang punya porsinya masing-masing, dan aku sedang mengambil porsiku saat menuliskan puisi ini untukmu.
Aku membuka laci meja berharap menemukan pulpen, pensil, spidol, atau apa saja yang dapat menuliskan dirimu dalam sepucuk surat dengan prangko yang masih basah.
Tapi kau pemuda futuristik yang sudah tak lagi berkirim surat. Jemariku segera menyudahi aktifitasnya sebelum berhasil membubuhkan tanda tangan, melipat kertas, dan menempelkan prangko. Segera aku ingat, kau tak menerima masa lalu.
Kau dan segala yang berbau masa depan mendidihkan tungku kepalaku yang berisi pertanyaan-pertanyaan. Kapan kau kembali denganku ke masa lalu? Kapan kau berhenti tentang mimpimu mendirikan cinta yang kokoh, bertingkat-tingkat, menjulang tinggi ke langit, mengalahkan Burj khalifa?
Aku seorang yang datang dari masa lalu dengan mesin waktu. Waktu aku mencintaimu, waktu kau mencintaiku, waktu aku menyayangimu, waktu kau menyayangiku, waktu aku menangisimu, waktu—ah…, waktu itu kau tak menangis untukku.
Pada sajak terakhir yang tak berniat mengakhiri puisi ini, aku mencoba menyapamu dengan kaset usang, televisi hitam putih, nyanyian Elvis presley yang kita dengarkan sehari-hari, tapi tak berhasil kau kenali. Kau menjadi asing dengan segala hal yang usang, lapuk, dan sudah waktunya di museumkan.
Setiap orang memang punya porsinya masing-masing, dan kau sedang mengambil porsimu saat menjadi asing untukku.
Oktober, 2021