oranment
play icon
SARINAH YANG GENAP BERUSIA ENAM TAHUN
Cerpen
karya @waawaa
Kutipan Cerpen SARINAH YANG GENAP BERUSIA ENAM TAHUN
Karya waawaa
Baca selengkapnya di Penakota.id

                                    

          Ku langkahkan kaki, kaki mungil yang berlapis sepato boots berwarna kuning. Rasanya berat sekali meninggalkan bangunan tua yang telah usang, dimakan kenangan, ditimbun berbagai cacian, dan dihuni segumpal hampa. Aku mengais, mengangkat sisa sisa energy yang tersisa, untuk berjalan. Aku telah menampung dan membendung segala yang terjadi selama ini, rasanya, kaki mungilku tidak lagi sanggup untuk berdiri dan bersembunyi dari semua itu. Tubuh mungil yang seharusnya digenggam, ditimang, dihangatkan senyuman. Tubuh mugilku ini justru ketakutan, menggigil di sudut pikiranku yang mulai terkikis dengan asa dan pilu. Aku tak lagi ini disini, di tempat aku berpijak, ditempat aku memulai kisah kisah yang menjelma kenangan. Mungkin suatu saat nanti aku akan berdiri lagi di sini, suatu saat nanti juga mungkin aku akan singgah, tapi untuk saat ini…. Kini satu satunya pilihan adalah melangkah. Menuju apapun asal tak lagi ada disini, dimana semua berawal dan berakhir.

           19 Maret 2004, Aceh. Dua hari lagi sebelum aku meniup lilin lilin kecil pada kue ulang tahunku, aku bersorak kegirangan dan tak sabar membuka kado yang kini ada di depan mata. Bagai anak kecil lainnya, aku berharap tidurku nyenyak dan tiba tiba saja aku terbangun dua hari setelahnya. Tapi, aku harus tetap menunggu tenggelamnya matahari sebanyak dua kali. Mama tengah menyiapkan berbagai pernak pernik berwarna kuning, ya aku adalah gadis kecil yang sangat amat mengangumi warna kuning. Rasanya kuning melambangkan keceriaan dan kebahagiaan. Kuning juga merupakan warna matahari dan aku selalu menikmati sinarnya, aku selalu menyempatkan diri mengarungi sinarnya dengan berputar putar di tengah hangatnya sorot mentari pagi yang hangat.

“Kau sudah siap sayang?” aku terbangun dari mimpiku. Rasanya nyata sekali, dua potong kue yang sengaja aku potong untuk papa dan mama seketika diremas, dan dimakan oleh temanku. Terdengar suara dari kejauhan “toloooooooong, jangan makan kuenya,” dalam hati aku bergumam ‘bagaimana bisa aku memakan kue yang diremas seperti ini.’

Aku bangun dan bersiap, gaun kuning yang panjangnya dibawah lutut itu berhias bunga chamelion berwarna putih, bagian lehernya terdapat renda berpola salju berwarna orange, tidak berlengan, dan roknya terurai begitu saja. Aku bergegas mandi, menyikat gigi dengan pasta gigi rasa melon adalah hal yang selalu membuatku tergugah dalam api semangat. Aku menginjak usia enam tahun, dan ini pertamakalinya aku mandi seorang diri tanpa didampingi mama ataupun papa. Berat rasanya, menentukan harus memakai shampoo apa dan sabun yang mana. Setelah selesai memilah dan memilih, aku berjalan berlenggok lenggok seraya meraih gaun kuning dengan tanganku yang seakan tak tergapai. Dengan susah payah hingga akhirnya aku siap menjadi seorang putri yang menyambut tamu ku pagi ini.

Satu demi satu para undangan hadir, tak lupa dengan kado yang telah dibungkus sedemikian rupa dan senyuman bahagia karena mereka nantinya akan mendapat bingkisan. Reno, Anin, Dinda, Ardi, Dita, dan lainnya kini sudah duduk manis di depanku, memandangi kue ulang tahunku yang berbentuk bebek lengkap dengan bayi bebek.

“Tiup lilinnya tiup lilinnya sekarang juga sekarang juga sekarang juga……,” semua bersorak ria dengan nyanyian khas. Aku bahagia sekali, tawa dari teman teman, keluarga, dan bahkan tawa ku sendiri yang tak hentinya terbingkai pada wajahku. Lilin lilin itupun mati, bahkan yang belum sempat aku beri nyawa dari api.

 

******

                                               

           Taman yang dulunya dipenuhi bunga bunga cantik lengkap dengan kupu kupu, kini seakan menjerit. Tak kuasa lagi aku membendung semuanya. Tanpa sadar, sudah beberapa langkah ku lalui. Aku mencoba bersenandung, melantukan beberapa lagu yang kian menghantui pikiranku. Nyatanya memulai langkah awal tidak seberat itu dan tidak semudah itu. Aku mulai menyusuri jalanan yang tak begitu ramai, dengan sepatu boots berwarna orange, setelan baju berwarna kuning yang bermotif bunga chamelion, dan payungku yang berwarna hitam. Aku berlajan, menikmati hujan yang membuat semua orang takut untuk berlarian kesana kemari dan memilih menetap diatap masing masing, ditemani secangkir teh hangat dan mie instan yang selalu kurindukan. Desember memang selalu menjadi misteri atau lebih tepatnya gerbang antara masa lalu dan masa yang akan datang. Kita tidak pernah tau apa yang menunggu di taun depan, entah itu kebahagian ataupun kesedihan dan atau hari hari biasa saja yang telah ku lalui sejak dulu.

           Setelah beberapa menit aku berjalan, aku mulai bosan dan mencari apa yang seharusnya ku lakukan agar tak terbebani rasa bosan. Dari garis jalan, kota kota trotoa, dan lalu lalang motor juga mobil semua sudah ku hitung walau tak ada habisnya. Di sudut lorong ke-2 ini aku mendapati anak sesuaiku yang tengah bergandengan dengan adiknya, ia juga bersenandung sama halnya dengan yang ku lakukan. Aku mempercepat langkah, menyusuri jalanan becek yang gelap dan aromanya yang bisa membuat siapapun muntah. Saat aku mempercepat langkahku, ke dua anak itu juga sama yaitu juga mempercepat langkahnya. Aku sengaja tak menggubris itu, barangkali mereka tak ingin berteman denganku yang terlihat lusuh seperti ini.

Lorong ke-2 tak begitu gelap, tapi aromanya masih sama dan genangan air ada di mana mana. Aku nyaris tak tahu ini pukul berapa karena matahari tak menampakkan sinarnya sejak langkah pertamaku tadi. Membayangkan nantinya aku akan menemukan apa yang kucari dan hal itu terus saja aku ingat agar lelahku ini tak membuatkan kalah. “meoooooong,” aku tengok dari mana asalnya, benar saja seekor kucing terjebak di dalam genangan yang membuatnya berdiam dan seakan meminta pertolongan.

“Kamu kedinginan? Sini aku bawa kau dalam dekapan, aku tahu bagaimana rasanya tubuh menjadi dingin dan tak bisa bergeming.”

Sorot matanya teduh dan tak begitu ingin di gubris, hanya ingin ke tempat dimana ia dapat menemukan kehangatan. Aku letakkan ia pada sekotak kardus yang masih tertata rapi dan kosong.

           Lorong ke dua ini aku temukan berbagai hal, kucing yang kedinginan karena genangan, dan kini ku lihat seekor tikus yang dengan lahapnya menyantap seekor kodok raksasa yang tak lagi berdaya. Aku ingin tahu bagaimana ceritanya hingga seekor tikus dapat mengalahkan kodok sebesar itu? Aku sengaja menghentikan langkah, meneliti hal hal yang tak pernah kulihat sebelumnya. Bagian dalam kodok, cara tikus dan kawanannya memangsa makanan, dan akhirnya aku mengetahui pembagian makanan daripada hewan. Ada yang memakan bagian kaki kanan, ada yang memakan bagian tangan kanan, dan aku rasa bagian perut dimana oleh yang paling berkuasa dan tentu paling besar. Ternyata perbedaan nampak begitu jelas, manusia akan memberikan bagian paling besar pada mereka yang paling kecil tapi hal itu tidak berlalu kepada hewan.

 

*****

 

           Lantunan lagu dan dan tawa gembira itu perlahan sirna. Menerka nerka apa yang sebenarnya baru saja didengar, meyakinkan pendengaran tentang apa yang baru saja terucap dari mulut seseorang di luar sana. Semua tak bergeming, semua hening, detik setelahnya yang bahkan tak sempat membuatku berteriak, aku tak sempat mengedipkan mata. Mulutku dibungkam dengan deru air yang melesat, melenyapkan semua yang ada. Aku ingin berteriak dan mengadu. Tak ku sangka, aku menjadi bagian dari lilin, sempat nyala walau sesaat. Mata sayu, hati dan pikiran mencoba menyadarkan segala otot ditubuh tapi tidak satupun bereaksi, aku hanya mengikuti arus dan alur. Tak dapat memberontak seperti setiap pagi ketika kicauan burung mulai memaksaku sadar dari alam mimpi.

Tubuhku mulai bereaksi, merasakan adanya benda benda asing yang ingin sekali menguasai hidupku. Mereka berebut, menghantam, menusuk, seakan sengaja dan marah kepadaku. Tubuh gadis yang baru saja genap berusia enam tahun ini tak mampu menahan sakitnya. Aku ingin tidur, aku tak ingin merasakan sakit seperti ini. Samar ku dengar suara yang sama sekali tak pernah ditangkap oleh daun telingaku, tapi sejenak aku ingat pernah mendengarnya, ya aku dengar suara itu pagi ini. Aku mendongakkan kepala, mencoba merapalkan kalimat kalimat yang diajarkan kedua orang tua ku.

“Mamaaaaaaaa, Papaaaaaaaaa, sssa….kkitttttttttt.”

Aku tak bisa menahan segala yang menimpa badanku, aku ingin menyerah dari ini semua. Rasanya gelap, dingin, aku tak dapat merasakan kaki dan tanganku lagi. Aku membeku, berdiam diri karena tahu bahwa aku tak terdengar dan tak terjamah oleh siapapun. Entah ini siang, pagi, malam, atau apalah aku tak tau lagi.

 

*****

 

           Aku melanjutkan langkah kaki ku. Menelusuri tiap tiap lorong dan tibalah aku pada lorong ke-3. Di lorong ini aku menemui sepasang sepatu yang tergeletak, saat aku hendak memungutnya justru ada yang melemparkan pasangan sepatu ini tepat ke arahku. Aku melihatnya sejenak, ternyata disini muncul seorang lelaki bertubuh tidak begitu tinggi, dengan lengannya yang penuh tato. Setengah sadar ia tergeletak di jalanan becek, seakan kelelawar turut prihatin, ia terbangun dari tubuhnya dan melihat apa yang terjadi.

Pria penuh tato itu meminta ampun, bernegosiasi dengan dengan nada memohon sambil berlutut. Meminta ampun seraya memeluk erat kaki lelaki yang tak menggubris apapun perkataannya.

“Bosssss ampuni aku, aku masih manusia, tak mungkin aku rela jika kau membawanya pergi (sambil menengok seorang anak kecil yang tangisannya pecah).”

Aku rasa ini bukan lagi ranah gadis kecil sepertiku, ini lebih dari sekedar asupan orang dewasa yang hidupnya tak lagi berarti selain malam yang penuh dengan hiburan atau riuhnya sorak yang mengadu pada suatu balai kayu yang tak lagi kokoh.

           Pria bertato itu sudah aku lewati, aku melanjutkan petualanganku dan mulai menyusuri lorong ke-3 ini lagi. Lorong ini rasanya lebih panjang dan lebih mencekam. Aku dapat merasakan aroma sampah yang mungkin sudah tertimbun ratusan purnama atau entahlah ini sangat menyengat. Setelah aku telusuri, ternyata aroma menyengat itu datang dari seorang pria yang entah sudah berapa lama berdiam diri disana, ia dan tempat sampah itu rasanya menyatu. Tetapi, aku melihat pemandangan yang luar biasa disini, berbeda dengan yang sebelumnya disini justru aku menemukan kedamaian dalam sorot pandang mereka, ya bapak itu tidak disana seorang diri melainkan ia disana dengan istri dan satu anaknya. Aku bisa merasakan kehangatan itu, gelak tawa menggelitik, membuatku ingin tersenyum dan menyaksikan kejadian ini lekat lekat.

“Bagaimana bisa hidup berdampingan dengan sampah tetapi gelak tawa tetap terukir bahkan terdengar jelas, dan bagaimana bisa kehidupan yang gemerlang membuat seseorang berlutut dan memohon agar diselamatkan dari hidupnya sendiri, dari apa yang ia tanam. Hidup sebercanda itu, seperti aku.”

           Lorong ke-3 ini rasanya kutemui apa yang taka da di lorong lorong sebelumnya, apa yang belum pernah tersebersit dalam benakku, dalam lorong ini mereka tergambar jelas dan nyata. Seakan dunia ingin menunjukkan bagaimana kekejaman dari mulut seorang, bagaimana pilihan hidup benar benar mengakar dan membuahkan hasil yang sesuai dengan awal dari segalanya, bahkan dunia seakan berbicara lewat sorot pandang mata seseorang yang tak lagi menginginkan kemawahan, kehangatan keluarga dapat meruntuhkan apa yang kita sebut penderitaan. Hanya beda beberapa langkah, bahkan tidak mencapai satu kilometer lorong satu dengan lorong dan lorong tiga memiliki kisah yang tak dapar ku terka. Semacam teka teki silang yang jawabannya penuh dengan kode rahasia yang belum pernah kupelajari sejak lahir.

           Langkahku mulai bergerak, berjalan menuju lorong ke-4 dengan harapan aku menemui banyak hal yang tak kudapatkan di lorong lorong sebelumnya. Perasaan ingin menyaksikan berbagai macam kisah hidup seseorang, bukan berniat mengusik atau apapun, karena dari situ aku belajar berbagai macam hal baru. Aku menelaah diusia belia, aku ingin tumbuh sebagai seseorang yang dapat membedakan mana yang benar dan salah. Karena kedepannya aku harus siap menghadapi kenyataan hidup seorang diri.

 

*****

 

           Mungkin ini sudah berjalan tiga hari, aku bertahan dengan memakan makanan yang ada dan meminum air yang tersisa walaupun itu tidak layak sama sekali. Gadis kecil berusia enam taun itu mulai putus asa, ia tidak ingin lagi merasakan sakit yang luar biasa. Lalu, masih dengan menerka nerka ia mencoba bergerak dan mencoba bangkit, ia terjatuh, tubuh mungilnya tidak lagi sanggup melakukan apapun. Tanpa sadar ada yang jatuh tepat diatas kepalanya, runtuhan itu membangunkannya dari entah tidur atau lebih dari tidur, tapi ia sadar bahwa diatas sana ada harapan yang menunggunya. Ia meraih kayu lalu menodongkannya kebagian atas, terdengar sama “ada orang disini, sini sini bantu aku.”

Aku membuka mata, perlahan, berharap ini bukan mimpi. “Aku dimana?” tanyaku pada diri sendiri karena saat itu hanya ada aku. Beberapa detik kemudian datang seseorang mengenakan seragam berwarna putih,

“Hei, namanya siapa Dek? Makasih ya sudah sabar dan bertahan disana, makasih sudah berjuang yaa. Sekarang kamu aman, sekarang kamu sama kita Dek.” Ia memeriksa seluruh tubuhku dengan alat alat yang asing bagi tubuhku. Tapi, aku tidak merasakan kaki dan tanganku sakit lagi.

“Om, aku dimana? Apa aku selamat? Atau ini surga?” ia tersenyum kepadaku sambil berkata “kamu selamat, jangan khawatir lukamu sudah kami obati. Istirahat ya, biar cepet sembuh.”

 

           Hari ke-2 terperangkap di ruangan yang serba putih, aku terbujur lemas karena tidak makan cukup selama tiga hari, atau bahkan bisa dikatakan tidak memakan makanan layak dalam kurun waktu tiga hari itu. Hari ini aku dipindahkan ke ruangan dimana penuh dengan orang yang sama denganku, mereka juga penuh perban dan kebanyakan juga lemas. Aku mulai sadar, mulai bertanya mengapa aku seorang diri disini? Dimana mama dan papa?

 

“Mbak, apa mbak tahu dimana mama papa aku sekarang? Aku belum lihat mereka sampai saat ini, apa mbak tahu dimana dia?” Perawat yang berhadapan denganku tampak bingung, ia bingung harus menjelaskan bagaimana agar aku mengerti. Dan aku mulai menangis, sekencang yang aku bisa agar mama papa dapat menemukanku, agar mereka mengerti bahwa aku disini. Tangisku pecah, menggelegar, mengasihani diri sendiri karena sakit ini dan kini bukan hanya fisik yang merasakan, tapi mentalku juga tak mampu.

 

           Esok harinya aku sudah membaik, dan aku memberanikan diri berjalan mencari keberadaan orang tuaku disini. Kamar demi kamar dan  korden demi korden sudah aku tengok dan hal itu tidak membuahkan hasil. Aku meminjam selimut dari ranjang sebelahku, namanya Mika. Mika begitu beruntung karena disini ia ditemani mama, papa, kakak, dan juga kakeknya. Mereka menyayangi Mika dengan begitu tulus. Selimut Mika terasa begitu menghangatkan, walaupun aku tak lagi bisa membedakan panas, hangat, dan dingin. Rasanya aku hanya ingin menyendiri. Menjauhi hal hal yang hanya ada dalam benakku, karena nyatanya aku tak lagi bisa merasakan kehangatan seperti yang dirasakan Mika saat ini.

Aku termenung. Berpasrah dengan keadaan yang terjadi. Ingin rasanya aku mencari mama dan papa tapi apa daya bahwa di luar sana duniaku sedang porak poranda. Duniaku yang beberapa hari lalu masih tersenyum dan menyapa hangat dipagi hari kini harus kurelakan. Duniaku yang dulu tak ku gubris tentang indahnya bunga di taman, nikmatnya sarapan buatan mama, nikmatnya mandi dengan air bersih. Dulu, setiap pagi aku akan menunjuk satu baju dan mama akan memakaikannya untukku, lengkap dengan hiasan rambut yang warna warni. 

 

           Pagi itu, aku terbangun karena seseorang membelai halus rambutku, rambutku yang lusuh dan terurai begitu saja kini ada yang memegangnya lagi. Aku terbangun dan langsung memeluknya.

“Dari mana saja?” tetap dalam dekapannya aku menangis tersedu sedan. Ia mencium keningku, melepaskan pelukan erat dan hangatnya lalu berkata

“Sarinah hari ini pulang ya, kamu bisa sarapan bersama kami setiap pagi, kamu bisa merasakan hangatnya mentari, kamu bisa membacakan dongeng sebelum tidur kepada teman temanmu yang belum bisa membaca, kamu mau ikut Ibu?” Tatapanku kosong. Aku tak mengerti apa yang dikatakan orang ini. Mengapa orang ini memelukku dengan erat?

 

*****

 

           Aku telah sampai pada lorong ke-4. Lorong terakhir di kota ini. Aku melangkah dengan girangnya, menanti langkah terakhir dan sampai hingga tujuan. Lorong ini, lorong yang tak begitu sepi dan tak begitu ramai, aku bisa mendengar bunyi telepon rumah yang bordering, dan aku juga mendengar lantunan lagu rock dengan sangat jelas. Dipertengahan lorong ini, aku melihat seorang wanita paruh baya yang merentangkan dadanya, aku tengok ke belakang dan taka da satupun orang disana selain aku, jari telunjukku terangkat dan menunjuk diri sendiri. Mengisyaratkan apa benar yang ditunggunya adalah aku? Ia mengangguk, entah bagaimana rupanya karena ia terlihat siluet. Aku berjalan dengan langkah yang tak pasti, tapi rasanya ada yang mendorongku untuk berlari kesana.

“Sar, ini Mama. Kamu sudah besar, kamu pasti bisa tanpa kita. Kamu kuat, kita menyayangimu. Nanti, akan ada malaikat yang datang menyelamatkanmu. Tak perlu risau, ia bukan Mama, tapi dia juga akan menyayangimu seperti mama.”

----TAMAT----


calendar
17 May 2022 02:35
view
56
wisataliterasi
istana
idle liked
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig