Wajah Tradisi yang Maskulin dan Patriarkis
Kutipan Resensi Wajah Tradisi yang Maskulin dan Patriarkis
Karya wahidkurniawanfwgv
Baca selengkapnya di Penakota.id

Ulas Buku Dapat Buku

Judul              : Damar Kambang


 


Penulis            : Muna Masyari


 


Penerbit          : Kepustakaan Populer Gramedia


 


Terbit              : Cetakan Pertama, Desember 2020


 


Tebal              : vii + 200 Halaman


 


ISBN              : 97-602-481-456-4


 


 


Ada anggapan yang mengatakan bahwa karya sastra datang dari suatu realitas tertentu. Penulis, selaku orang yang bertanggung jawab terhadap suatu karya, bisa bebas membaurkan antara imajinasi dan realitas yang ingin diungkapkannya. Dan dari sekian realitas yang ada, lokalitas setidaknya menjadi satu bidikan yang acap diambil oleh penulis, sebab memiliki kekhasan dan daya tarik sendiri. Di jajaran penulis tanah air, kita bisa menyebut beberapa nama yang erat kaitannya dengan topik ini. Misalnya, Faisal Oddang yang kerap mengangkat isu-isu di tengah masyarakat Sulawesi, itu juga dilakukan oleh Benny Arnas dengan suara Sumatra-nya, lalu ada juga Muna Masyari, yang ceritanya sering berangkat dari nilai dan tradisi masyarakat Madura.


 


Terkhusus Muna Masyari, setelah selama ini kita menegenalnya sebagai cerpenis yang memenangkan sejumlah penghargaan, akhir tahun kemarin ia datang novel terbarunya, Damar Kambang. Dan sama seperti napas yang ada dalam cerpen-cerpennya, Damar Kambang tetap mempertahankan semangat lokalitas yang kuat. Yang membedakan, ia memiliki fokus utama atas praktik maskulin masyarakatnya yang kerap menjunjung martabat dan gengsi di atas segalanya. Nilai martabat ini bisa ditemui dalam salah satu benda penting dalam pernikahan adat mereka, yakni harta hantaran.


 


Alkisah, tersebutlah nama gadis enam belas tahun bernama Chebbing yang hendak melangsungkan pernikahan dengan pemuda bernama Kacong. Keduanya datang dari keluarga yang cukup terpandang dan menjunjung harga diri setinggi langit. Namun, karena terdapat kesalahpahaman, pernikahan itu mesti digagalkan. Kesalahpahaman itu terbentuk karena keluarga Kacong tidak membawa harta hantaran, sebab dalam tradisi mereka, hal itu bisa dibawa nanti seusai prosesi pernikahan. Sebaliknya, bagi keluarga Chebbing, harta hantaran sangat penting nilainya. Dibawanya harta hantaran menunjukkan keseriusan mempelai pria dalam meminang calon istrinya. Selain itu, ada atau tidaknya harta hantaran, sangat memengaruhi pandangan masyarakat atas keluarga yang melangsungkan pernikahan.


 


“Orangtua tidak akan melepaskan anak gadisnya untuk lelaki yang tidak membawa harta hantaran (rumah), karena hal itu sama artinya menyerahkan burung pada tuan yang tak memiliki sangkar,” jelas Ibu Chebbing kepada anaknya sewaktu gadis itu menanyakan filosofi tradisi tersebut.


 


Namun, dari persoalan harta hantaran itu pula mengemuka permasalahan yang jauh lebih pelik. Keluarga Kacong yang kadung tersinggung dengan perlakuan ayah Chebbing merasa tak terima. Mereka ingin membalas dendam. Di saat itulah, pepatah Madura yang berbunyi “Masalah tiba, dukun bertidak” direpresentasikan dalam tindakan Kacong dan pamannya, Sakrah. Diam-diam, tanpa sepengetahuan orangtua Kacong, keduanya langsung menemui dukun andalan mereka, Nom Samukrah. Mantra dirapalkan dan balas dendam pun dilakukan.


 


Sasarannya sudah jelas: Chebbing. Atas kesaktian Nom Samukrah, gadis itu dibuat tunduk supaya menyukai Kacong. Sebebat rindu dikirimkan lewat embusan angin yang menyambangi kamarnya. Chebbing terpengaruh, tentu saja. Angin itu lantas menuntunnya pergi, mengikuti suara lelaki yang memanggilnya tiada henti. Chebbing tak bisa berbuat apa-apa selain menurut. Ia kalah.


 


Budaya yang Patriarkis


 


Di dalam novel ini, kedudukan perempuan sebenar-benarnya makhluk kelas dua. Suara mereka tenggelam, tak ikut andil dalam beragam hal. Baik sebagai ibu, istri, ataupun anak, mereka diharuskan menuruti perkataan suami atau ayah mereka. Selain Chebbing, setidaknya kita dikenalkan dengan tokoh perempuan lain yang memiliki peran besar dalam cerita, yakni Ibu Kacong dan istri kedua Ke Bulla, Nyai Marinten. Bersama Chebbing, keduanya berperan sebagai suara yang bergantian menjadi pencerita kisah di luar suara lainnya, yaitu si Damar Kambang sendiri.


 


Terlepas dari strategi yang dipakai penulis dengan menggunakan Multi-POV (First Person)—yang cukup membingungkan sebab tidak ada pembeda di antara ketiga suara, soal ketiga perempuan tadi cukup menggambarkan diri mereka sebagai pihak yang diberdaya dan tak berdaya. Nyai Marinten, sebelum menjadi suami kedua Kiai Ke Bulla, adalah istri seorang belater, Nom Samukrah. Namun, lantaran kekalahan suaminya dalam agenda gubeng dan sialnya, lelaki itu mempertaruhkan seisi rumah mereka (termasuk dirinya), ia mesti menurut saja sewaktu lawan suaminya, si Buntung (yang datang bersama Ke Bulla), meminta dirinya. Ia tak bisa protes apalagi melawan, ditambah suaminya dengan enteng memutuskan bahwa hubungan mereka telah berakhir, jadilah Marinten tak bisa berbuat apa-apa. Serupa burung, ia hanya berpindah sangkar.


 


Perempuan kedua, yakni ibu Kacong, juga memiliki masa lalu yang tak menyenangkan. Di suatu malam berhujan, saat mengunjungi rumah paman Kacong untuk mencari suaminya, ia terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan. Ia menjadi korban pelecehan seksual.


 


Sementara Chebbing sendiri, bahkan ia sudah menjadi korban sejak awal: Ia menjalani pernikahan dini yang sepenuhnya tak diinginkan olehnya. Lalu, saat pernikahannya gagal, ia pula yang menjadi sasaran pelampiasan kemarahan Kacong yang mengguna-guna dirinya. Terpengaruh kekuatan yang datang dari dunia lain, Chebbing pun bak hewan ternak yang tak bisa melawan apalagi mengelak. Sialnya lagi, seolah semua itu belum seberapa, sewaktu orangtuanya mengetahui keberadaannya dan merasa harga diri mereka tercabik-cabik, Chebbing dibawa pulang dan dipasung. Kemudian demi kesembuhannya, mereka menikahkan Chebbing dengan Ke Bulla, kiai yang dihormati orangtuannya sekaligus sosok yang di masa kecil bermain-main bersamanya.


 


Yang tak diketahui Chebbing, pernikahan itu tak lebih dari pindahnya ia ke sangkar dan kekuasaan lain. “Sekarang kau bukan sekadar boneka tanah liat. Kau tak ubahnya sapi karapan yang dipelihara, dirawat, diminumi jamu, dipijiti, untuk akhirnya digiring ke gelanggang karapan. ... Ada kekuatan yang silih berganti memengaruhi, di luar kendalimu sendiri, sebagaimana adu kekuatan petaruh dalam arena gubeng,” jelas narator, si Damar Kambang.


 


Kedudukan Penulis


 


Novel ini sungguh terkesan objektif. Penulis tampaknya mewartakan segalanya apa adanya, bak begitu saja memindahkan realitas di dunia nyata ke semesta imajiner yang ia ciptakan. Dan betapapun ia seolah tak memihak siapa pun, atau misi politisnya tak begitu terlihat, ia tidak bisa sama sekali terbebas kecenderungan sikap tertentu. Harapannya, tentu ia memposisikan dirinya sebagai pengkritik, atau menjadi novel ini sebagai kritik halus atas satu tradisi yang merugikan kaum perempuan tersebut. Namun, semuanya justru terlihat sebaliknya. Kecurigaan bahwa ia mengimani apa-apa yang dihadirkan dalam novel ini tentu tanpa alasan. Dari cara ia menggambarkan tokoh Marinten dan Chebbing yang keduanya sama-sama jatuh ke dalam pelukan Ke Bulla, penulis membuat dua perempuan itu menggenitkan diri mereka. Hal ini benar-benar membingungkan, sesakti itukah sosok pria yang bernama Ke Bulla? Hingga membuat perempuan yang tadinya seorang korban tampak menyenangi diri lelaki itu?


 


Hal klenik memang menyimpan banyak misteri. Segala kekuatan tak masuk akal bisa dihadirkan tanpa disangka-sangka. Dan bila memang demikian adanya, maksudnya dampak yang dihadirkan semengerikan yang ditampilkan novel ini, itu sungguh sesuatu yang merugikan. Ya, bagaimana tidak merugikan, sapi dan perempuan saja tampak berkedudukan sama di mata pemegang kesaktian itu. Mereka dijadikan ajang adu maskulinitas sesama penggunanya.


 


Atas hal itu, barangkali baik kalau memandang novel ini sebagai rekaman realitas pahit yang sangat mungkin masih terjadi sampai hari ini. Dan terlepas dari kedudukan penulisnya, kita, pembaca, bisa menganggap karya ini sebagai satu karya yang mempertanyakan eksistensi budaya atau tradisi yang hidup di tengah masyarakat. Masih relevankah dengan situasi dan kondisi hari ini? Masih layakkah dipertahankan dan tak diubah sama sekali? Memang, dengan adanya segenap pertanyaan ini, sebuah karya jadi memuat beban moral di pundaknya. Tapi, toh, bukankah dengan begitu, karya tersebut akan terus ditelaah dan dibicarakan?    


 


 


#BuahTanganPenakota #UlasBukuDapatBuku

15 Feb 2021 01:41
573
Lampung Selatan, Lampung, Indonesia
3 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: