Setengah Kota - Setengah nDesa
Kutipan Cerpen Setengah Kota - Setengah nDesa
Karya yongkihermawanju
Baca selengkapnya di Penakota.id

Gambaran soal kehidupan di desa tentang kegiatan menangkap kodok, capung sampai belut memang menyenangkan. Menanam padi, nderes karet terdengar mewah. Tapi, kalo soal petak umpet bagda magrib sampai nginep di langgar itu perkara lain.

Hidup di desa itu harus kuat mental. Apalagi buat yang pernah merasakan kehidupan kota sebelumnya. Ndak usah kota, kota banget: kotanya kabupaten saja, yang secara administrasi sebenarnya juga masih masuk dalam hitungan desa. Desa yang lebih maju sedikit. Karena ada lampu merah di perempatan jalan, ada ATM BRI, ada warnet sama ada cucian motor dan mobil yang buka 24 jam. Dan kalau malam ada orang-orang duduk dipinggir jalan berkelompok-kelompok sambil ketawa-ketiwi ditemani secangkir kopi dan rokok cethe (rokok yang diolesi ampas kopi).

Soal setengah kota - setengah ndesa, saya punya banyak cerita. Dulu, saya adalah pindahan dari sebuah kota kecil yang jaraknya hanya 10km. Ndak jauh-jauh amat, 15 menitan dari desa tempat saya kemudian dibesarkan.

Anak-anak setengah kota - setengah desa biasa disebut mangkak. Nah, ke-mangkak-an ini dibilangnya norak. Saking noraknya saya sering di-bully, diejek-ejek. Contohnya ketika lihat mainan seperti keris dari kulit tebu, baling-baling dari pohon jagung kering, sampai ulat bulu dari kembang waru. Saya bisa terkagum-kagum liat benda-benda sederhana itu bekerja. Kok isa, sih?

Teman-teman baru di desa itu sampe bilang "kok, kamu lebih ndeso dari kami, tho" kata salah satu teman saya yang namanya Tomo, lengkapnya Utomo.

Lalu, karena saya ndak mau dibilang ndeso terus, saya ikut kemana saja teman-teman baru saya itu main: bikin pentas wayangan kertas yang layarnya dari kain mori bekas dan yang nonton harus masuk ke dalam joglangan (lubang untuk tempat sampah). Sampai-sampai kami mengundang anak-anak dari kampung sebelah. Seru benar malam itu, padahal kalau diingat-ingat ceritanya sangat ngasal, ndak jelas.

Masih ada lagi: main perang-perangan di kebun ujung desa. Senjatanya dari pohon-pohon rendah sejenis pohon kersen, pohon randu dan lain sebagainya. Sementara itu untuk amunisinya, anak-anak desa itu bisa langsung mengambil dari tanah. Yap! kami menggali umbi-umbian sedapatnya. Bisa singkong, ubi, segala macam polo kependem kami sulap jadi mortir buat dilempar, blar! ada yang kena jidatnya, berdarah dan nangis. Lalu kamipun bubar, pulang dan tak keluar rumah sampai adzan Magrib berkumandang.

Di langgar, perang pun dimulai lagi. Kali ini sesudah sholat Isya'. Aturannya begini: siapapun yang tidur duluan akan dikerjai, alhasil, semuanya menahan kantuk. Tapi, yang namanya anak-anak jam 2 pagi, satu-persatu mulai tumbang. Nah, disinilah yang paling jahil beraksi: sebut saja Robot dengan menggunakan campuran tepung kanji yang dienceri dengan air sumur ia ngolesi pantat anak-anak langgar yang sudah tertidur lelap. Setelah semua pantat diolesi, dia teriak
"woy, sopo iki seng kecirit. Asu, ambune, cok.." (siapa ini yang mencret, baunya..).
Lalu, semua terbangun dan memeriksa pantatnya masing-masing. Dan seketika itu semua merasa kecepirit dan tunggang-langgang ke kamar mandi.

Besok paginya, Tomo menceritakan sambil ngakak. Saya ikutan ngakak. Maklum saya tidak ikutan nginep di langgar. Ndak boleh sama mami saya.


*Langgar = mushola yang lebih kecil. Biasanya terletak di rumah warga.
07 May 2018 13:22
67
Cilandak, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: