Fira dan Cintaku padanya
Cerpen
Kutipan Cerpen Fira dan Cintaku padanya
Karya yulputran
Baca selengkapnya di Penakota.id
Aku hanya bisa menahan napas ketika Fira mendatangiku yang sedang duduk pagi itu di depan gedung A dan berkata: “Aku capek. Kita bubaran aja.”

Kulihat sekeliling. Kuperhatikan orang-orang yang jalan satu-satu. Seakan udara bertuba. Dan waktu mencekik. Kuharap tidak ada orang yang dengar kata-kata Fira barusan.

Ia tidak berkata lagi. Hanya berdiri mematung. Wajahnya tanpa ekspresi. Aku pun hanya diam. Pohon beringin tak jauh dari tempatku duduk kupandang sejenak. Sungguh. Dari lubuk hatiku, aku tak ingin dia mengucapkan itu.

Setelah berapa menit saling diam. Akhirnya aku berkata: “Ya sudah. Jika itu keinginanmu.”

Fira menatap mataku. Kami saling pandang. Tiba-tiba, di kedua sudut matanya mengalir air. Ia mengusapnya. Wajah ayunya itu pun terisak. Kemudian ia berlalu meninggalkanku.
***

Di kamar kos. Sabtu itu aku dengar Kurnia, teman kampusku, menelepon Fira. Tak kuduga apa yang dilakukan Kurnia ini. Kudengar Kurnia bicara sebentar lewat hp. Dari nadanya, Kurnia coba merayu Fira.

Tentu saja aku ingin segera mengacuhkan Kurnia.

Kurnia berkata:”Pacar kamu lagi ngambekan?”

Peduli apa Kurnia berkata begitu.
Besoknya.

Kudatangi Fira ke rumah kosnya. Kami ngobrol di kursi depan kamarnya sore itu. Sementara sinar matahari terhalangi pohon mangga di depan rumah kos. Angin sekali-kali sepoi. Kupandang rambut Fira yang lurus sebahu dengan lekuk di ujungnya.

“Sering Kurnia meneleponmu,” kataku.

“Dua kali, Irfan. Sumpah, cuma dua kali.”
Aku menyapukan kedua telapak tangan ke wajah. Menarik napas dalam.

“Aku cemas, Fira.”

“Tapi kelihatan kamu marah. Kamu cemburu?” katanya. Lalu, Fira pasang wajah cuek padaku. Dan membulatkan bibirnya.

“Aku tidak marah.”

“Bukankah Kurnia temanmu.”

“Iya, teman.”

“Kayaknya kamu nggak sadar. Akhir-akhir ini kita sering bertengkar. Kenapa Irfan. Kenapa?”

Aku hanya diam.

Lalu hari-hari selanjutnya, aku mengambil jarak dengan Kurnia. Entah mengapa aku sudah merasa tidak nyaman dengannya. Ia seperti memanfaatkan kondisiku yang kurang baik dengan Fira.

Karena sering merasa kesepianlah, jauh dari orang tua, tinggal di kota baru tanpa ada teman, aku jadi akrab dengan Kurnia.
Kurnia sering ke kamar kosku, bercerita, dan nginap. Sekali-kali kami pergi ke rumah kosnya--rumah kosku lebih dekat dari kampus. Atau duduk di kafe. Ceritanya, ia sudah punya pacar tapi di kampung.

Kuketahui kemudian. Teman-teman di kampus sering berbisik-bisik tentang Kurnia. “Kurnia itu penghisap ganja. Pengedar juga. Tiap hari dia nyari langganan,” kudengar Desi pernah berkata begitu kepada temannya.

Tak sekali-dua, tidak pula dari satu-dua orang, aku dengar kata-kata seperti itu.

Tiba-tiba aku sebagai teman dekat Kurnia merasa bodoh. Sungguh bodoh. Aku sendiri tak tahu kalau Kurnia pengedar. Pernah memang aku diajak nge-ganja dua kali di kamar kosnya. Tapi tak begitu banyak. Waktu itu aku anggap Kurnia hanya iseng saja. Mungkin sedang banyak masalah. Atau, memang begitulah caranya berteman.

Aku merasa akan mengahadapi kondiri, sudah jatuh ditimpa tangga pula. Ya, aku rasa-rasa sudah mau putus dengan Fira, sementara teman dekatku pengedar pula.

“Tentang Kurnia. Aku sudah menduga. Kamu lebih dekat dengan dia daripada aku,” kata Fira suatu siang di kampus.

Aku hanya bisa diam.

Lalu, terlihat perubahan sikap teman-teman kampus terhadap Kurnia. Mereka menjauhi Kurnia. Bahkan mengucilkannya. Tapi Kurnia nampak tak ambil pusing.
***

Tiba saatnya Kurnia mendatangiku di kamar kos. Aku lagi dengar lagu sembari brosing.

“Kau tak tahu terima kasih,” jelas sekali kata-katanya itu mengarah pada pertemanan kami. Aku bisa menafsirkan. Dalam soal ini adalah aku yang sering pinjam uang kepada Kurnia. Itu karena hidupku yang boros. Banyak merokok. Juga, untuk biaya jalan atau nonton bioskop dengan Fira, aku sering pinjam ke Kurnia.

“Maksudmu,” kataku seakan terperanjat.

“Siapa yang bilang aku pakai ganja. Siapa yang bilang aku pengedar,” kata Kurnia sangar.

Aku diam. Jadi Kurnia sudah dengar bisik-bisik teman-teman di kampus, batinku.

Seketika timbul sikap beraniku.

“Kan memang iya,” kataku.
Kurnia masih berdiri. Lalu ia tunjuk mukaku.

“Sampai aku tertangkap, kau tanggung jawab,” katanya tegas.

Kuharap dia cuma menakut-nakutiku.
Namun, sehari sesudah kepergiannya dari kamar kos, ada geng motor mendatangi rumah kosku. Mereka berhenti di tepi jalan. Ketika kutengok lewat korden jendela yang kubuka sedikit, mereka memelototi kamarku. Empat kali jendela kamarku diketuk-ketuk tak beraturan dan kencang tengah malam. Lewat telepon pun, silih-berganti orang-orang melakukan intimidasi, mengancam. Tertawa-tawa tak jelas sebelum kututup hp. Sering ketika pagi hari, aku mendapati botol minuman keras di teras rumah kos. Tepat di depan kamarku.
***

Kurnia benar-benar menghilang dari peredaran. Tak pernah lagi aku melihatnya di kampus.

Sementara aku melangkah tanpa suara Fira di hp-ku setiap hari Sabtu. Tanpa Fira yang merayuku untuk pergi menyaksikan kota di malam Minggu. Atau ke kafe.
Kami putus pagi itu, ketika aku duduk di depan gedung A.

Aku akhirnya menemui kebosanan total. Aku makin kesepian. Dan hampa.
***

Tiba saatnya lulus. Sehabis luluas kuliah, aku kembali ke kampung. Karena tidak mendapatkan pekerjaan di Padang. Di kampung aku bekerja di toko baju milik mamak (adik laki-laki ibuku).

Tentu saja aku terkenang Fira. Betapa manisnya waktu yang kami lalui bersama. Betapa indahnya masa-masa pacaran kami yang singkat.

Hp-ku sudah tidak ada nomor Fira. Begitu pun fesbuk, sudah lama tak aktif.

Kucoba ingat nomor seorang teman Fira. Kuhubungi, tersambung. Aku gembira. Ternyata dia kenal suaraku.

“Punya nomor Fira,” kataku.

“Punya. Sekalian nomor WA ya,” katanya ramah.

Ingin kurangkai lagi apa yang terbangkalai selama dua tahun lebih. Ingin kutiti lagi titian yang sudah lama ditinggalkan, berdua saja dengan Fira. Kuketahui Fira masih bekerja di Padang.

Pagi itu, apa yang selama ini kuabaikan, mengental lagi di dada. Rinduku pada Fira, senyumnya dan suaranya, menjadi langit biru di hatiku. Aku naik mobil travel ke Padang. Sebelumnya kukirim chat ke Fira, aku ingin menemuinya. Ia membalas: he...he... masih ingat aku.

Kami janjian ketemu di sebuah warung, tak jauh dari gerbang kampus. Tempat kami dulu sering menghabiskan waktu bercengkrama sebelum memutuskan untuk pulang ke rumah kos masing-masing. Begitu aku turun dari angkot, kuhirup lagi udara kota yang dulu begitu akrab di paru-paruku. Rinduku bermekaran. Juga haru. Aku melangkah ke warung itu. Di sana sudah duduk Fira.

Aku tersenyum. Fira menyambutku ramah sekali.

Ia lalu memesankanku kopi hitam, minuman biasaku saat sering duduk di sana berdua dengannya dulu. Aku duduk berhadap-hadapan dengannya.

“Kamu masih seperti dulu, Irfan,” katanya memulai.

“Aku berkerja di toko baju. Rencananya aku ingin mencari kerja di Padang. Mungkin bulan depan,” kataku.

Kopi hitam datang. Jus jeruk Fira pun datang.

“Aku rindu kamu,” kataku. “Sering malam terjaga. Dengan pikiran tertuju padamu.”
Ia hanya diam, dan tersenyum.

“Tak seharusnya dulu aku membatasimu. Jadinya kita sering bertengkar,” kataku lagi.

“Tapi aku tahu Kurnia. Aku mencoba menjauhkan kamu darinya. Kukira, itu juga sebabnya kita sering bertengkar."

Mendadak kutemukan tambatan perahu yang kutumpangi selama ini. Aku yang sering merasa khawatir. Ternyata Fira begitu memerhatikanku dulu.

“Kamu suka nge-ganja juga?” kata Fira. Matanya metatap mataku dengan tangan yang dilipat ke meja.

Aku hanya diam. Beberapa jenak kami sama-sama diam. Akhirnya aku bicara.

“Aku kesepian. Aku tak punya teman di kampus.”

“Ya, sudah. Semua sudah berlalu. Sekarang aku mau kamu berubah. Demi aku.”

Hanya hening.

“Aku mau mengulang apa yang pernah kita pernah jalani dulu,” kata-kata itu akhirnya keluar dari mulutku.

Fira memandang wajahku. Lalu memandang keluar warung. Seperti menerawang.

“Aku akan ke Jakarta Irfan. Aku sudah mengambil S2 di Jakarta.”

“Lalu apa susahnya menyambung lagi yang sempat terputus. Kan bisa jarak jauh,” kataku.

Di luar warung, di trotoar, sekali-kali orang lewat. Riuh mesin kendaraan yang lalu-lalang.

“Aku di Jakarta Irfan. Sudah milik orang lain.”

Aku tertunduk. Serasa wajahku memasi dan gagap. Tulang-belulangku melemas. Kusentuh gelas kopiku tanpa ada maksud meneguknya, perasaanku tiba-tiba risih.

“Dulu kamu menjauh. Aku mengharapkanmu kembali. Sekarang salah aku sudah memilih yang lain.”
16 Dec 2018 16:21
81
Air Haji, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: