Anekdot
Cerpen
Kutipan Cerpen Anekdot
Karya zulkarnaen
Baca selengkapnya di Penakota.id

Beberapa kali aku menghabiskan pagi dengan tidur, sisanya jujur, lugu, dan berbahaya. Pagi milikku tidak lebih dari pagi yang mawar. Jika sebentar saja merekah, pagi yang lainnya akan berwarna cokelat enam hari berturut-turut. Kadang menjadi cokelat karena angin, kadang karena hujan, kadang juga menjadi cokelat karena kabut apa yang datang pada hari itu. Entah kabut jahat, atau kabut baik. Namun kedua kabut itu mempunyai kesamaan, sama-sama suka bermain petak umpet dengan siang. Kadang, secara diam-diam, kabut suka memberikan hadiah untuk siang dan menitipkannya pada punggung matahari. Jika siang sengaja menunggu hadiah dari kabut, atau kemudian mendatanginya, kabut akan pergi karena ketakutan. Aku tidak tahu apa sebabnya. Jika pun kabut berani memberi hadiah, itu akan menjadi sesuatu yang jarang. Dulu, ketika aku masih di rahim ibu, pernah aku memergoki kabut yang sedang memberikan hadiah untuk siang. Aku mengintip secara diam-diam. Kabut tetap berhati-hati ketika memberikan hadiah itu agar tidak ketahuan olehku. Aku masih mengintip penasaran apa hadiah yang sedang dibuka.


Hari ini aku melewati pagi dengan tidur, aku tidak tahu siang tadi menerima hadiah dari kabut atau tidak. Entahlah, itu bukan urusan. Aku berpikir tidak ada tanda-tanda kekalahan lagi. Aku melihat siang datang dengan gemulai, tariannya indah, juga menyeduh kopi. 11:30, kulengkapi dengan kretek kebanggaan, lalu kuputar Radiohead: bring down the government, they don't, they don't speak for us. Lagu yang tidak pernah bosan aku dengarkan. Namun beberapa menit lagu akan habis, dus-tak-dus-tak-dus-tak seolah seperti menghimpitku dan mengiringi tubuhku yang balerina. Aku bergetar menikmati gravitasi yang menurun. Beberapa nada masuk melalui sel-sel tubuh dan tersesat di bagian sastra. Lagu itu mengguncang jantungku. Oh, sial, tubuhku melayang, hilang, dan pergi dibawanya.


Kekalahan membawaku ke antah berantah. Aku tidak tahu sedang berada di ruang yang mana. Aku berusaha melawan dengan mengingat nama-nama kekalahan yang sering datang pada hari-hariku, tapi aku selalu lupa. Kecuali saat mendengar lagu itu, tubuhku seketika berubah menjadi kekalahan-kekalahan. Aku ingat kekalahan-kekalahan yang kulupa. Aku ingat ketika kalah di ring tinju, aku ingat ketika kalah lari maraton, aku ingat ketika kalah dan gagal mendapatkan hati wanita, tetapi yang lebih kuingat adalah kekalahan hari kemarin: Bunyi noise sembilan belas kali membuatku menjadi satu dari beberapa bagian yang ganjil. Aku ingat saat itu, suatu pagi di dalam kereta. Melihat semuanya seperti hancur, semuanya hancur oleh konsumerisme cinta kontemporer yang membuat orang-orang di dalam kereta tunduk pada rezim fleksibel. Mereka bergelantung. Beberapa di antaranya adalah anak muda berwajah anggur yang mengalahkan takdirnya sendiri. Mereka tidak bisa melawan kekalahan atau fatum brutum amor fati yang tidak diteruskan membuat pergeseran takdir menjadi kutukan untuk mereka. Aku mengingat hari itu adalah hari yang tidak pernah hancur sebelumnya selain 1965, 1998, dan mengingat kekalahan diri sendiri.


Setelah meninggalkan kereta, tibalah aku pada kekalahan yang lain. Kekalahan di sini sangat mewah. Mereka mengisi cangkir-cangkir dengan intisari dan menggabungkan beberapa eksperimen yang menjadikan bangsat-bangsat. Lalu bangsat-bangsat itu berteriak "Re-vo-lu-si-!" Dengan nada-nada yang berirama. Mendengar itu tubuhku tertegun di bawah norma dan mencoba keluar meninggalkan tatanan kesurgawian. Aku gelisah ketika air mata bertransisi menjadi gas. Itu menurutku kekalahan yang paling rumit. Bagaimana bisa beberapa orang membuat air mata berubah menjadi gas atau sebaliknya. Itu mustahil. Tetapi, "Dooorrr!" Bunyi ledakan di sekelilingku. Aku kembali gelisah melihat keadan sekitar. Pandanganku kabur. Orang-orang berhamburan, beberapa dari mereka memakai pakaian hitam, membawa bendera kekalahan, menjadi angka nol, lalu belok kiri hingga semuanya menjadi ledakan. Dinding-dinding runtuh. Kekalahan benar-benar terjadi.


Di balik dinding-dinding lain, sajak kekalahan Sapardi yang disalahgunakan mengepung anak-anak muda yang berkopi ria yang senja dan yang-yang yang lainnya milik Sapardi. Beberapa dari mereka ada yang mengenakan boots patah hati, topeng indie, atau menenteng-nenteng buku kisah cinta anak punk. Di jalanan, di luar gedung-gedung ketika aku lari tergesa-gesa, Guevara mencair pada tubuh-tubuh anak muda kuantum, dirinya mengalir menjadi banjir yang bencana. Beberapa banjir melindungi lingkar matanya dengan pasta, perih. Beberapa banjir menjadi isak, beberapa mulut banjir berdetak, beberapa barisan banjir mendesak. Kill the death!


Beberapa bentuk kekalahan telah terjadi, seperti mengutukku dengan sangat tartil. Malam ini, 19:30, di bulan yang maharandu, aku ingin pergi dari semua kekalahan-kekalahanku, terlebih mengingat hari kemarin adalah kekalahan terbesar bagiku dan bagi orang-orang yang lainnya. Aku mencoba mengatur napasku sembari berjalan mencari kretek. Di seberang jalan, di amfi seberang trotoar kondominium milik negeri ha-ha-ha, beberapa cahaya menuntut kelucuan. Aku masuk ke dalamnya. Barangkali cahaya itu bisa membantuku meninggalkan kekalahan. Tentu aku datang menghampirinya melewati antrean dan pintu.


Di balik pintu, ada dua bocah kecil dari keluarga kaktus sedang bermain, mereka menjadi tontonan. Nun dan Mim namanya. Diam-diam aku membaca percakapannya.


"Jika kamu diberikan keinginan oleh Pak Presiden, kamu ingin apa, Mim?" Pertanyaan Nun di tengah percakapan.


"Aku ingin menabung lalu membeli tangga."


"Loh, menabung untuk membeli tangga?"


"Iya."


"Tapi, buat apa tangga? Aku justru ingin bersekolah buat mencari kerja," jawab Nun sembari menyatakan keinginannya.


"Aku ingin seperti Muhammad, bedanya aku menggunakan tangga untuk bisa pergi ke Jupiter."


Nun tertawa mendengar jawaban Mim. Dalam hatiku tersenyum mendengar percakapan mereka. Orang-orang kurang memerhatikannya, tetapi mataku tetap tertuju pada bocah kecil itu, telingaku selalu mendengar dengan baik dan teliti tentang apa yang sedang dibicarakan oleh bocah itu.


"Kamu aneh sekali, Mim, orang-orang ingin bersekolah agar bisa bekerja nantinya. Toh, untuk menabung, semua orang pun harus bekerja dulu," jawab Nun sembari tertawa.


"Ya, memang aku aneh sekali. Tetapi dengan kamu percaya bahwa Pak Presiden akan memberikan keinginan, lalu kamu meminta bersekolah, lalu setelah itu kamu bisa bekerja. Kamu dan orang-orang artinya sama, aku dan kamu pun sama, sama-sama aneh, bedanya, aku aneh sekali, kamu dan orang-orang aneh tiga kali." Balas Mim sambil menutup percakapan itu.


Lampu blackout. Semua penonton bertepuk tangan. Aku sangat kesal dan terkelabui. Mereka sangat baik dalam berdialog. Blocking mereka pun sangat hati-hati. Pendalaman peran yang nyaris sempurna membuat semua orang yang berusaha membacanya terbawa alur cerita. Mereka sangat lucu. Temanku berhasil menjadi Nun. Aku berhasil menjadi Mim yang baik saat berada di atas panggung, meski datang terlambat dan harus masuk melalui antrean. Tetapi, dengan menjadi keluguan anak kecil, malam ini aku berhasil meninggalkan kekalahan. Jika besok kekalahan datang lagi, aku akan kembali menjadi Mim atau anak kecil lainnya yang menolak mengenal kekalahan.


30 Dec 2019 16:35
234
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: