GAYAHIDUP
25 Feb 2019 09:40
1296
Riwayat Penulis dan Hantu Depresi

Penakota.id – Herman Melville, novelis berkebangsaan Amerika Serikat pernah menuliskan kisah menarik nan lirih tentang seorang juru tulis. Dalam novelanya yang berjudul Bartleby, the Scrivener, ia menceritakan potret tiga juru tulis yang bekerja untuk tokoh Aku yang tak lain merupakan seorang pengacara. Ketiga juru tulis yang dipekerjakan oleh tokoh Aku ini memiliki sifat yang cukup berbeda antara satu sama lain.

Juru tulis pertama bernama Kalkun, dan yang kedua bernama Catut. Sementara juru tulis lainnya ialah Bartleby. Walaupun mereka bertiga memiliki sifat atau watak yang berbeda, namun di titik tertentu mereka memiliki kesamaan. Kesamaan itu agaknya menjadi pertanda yang diberikan Melville sebagai pelabelan. Bahwa seseorang yang berprofesi sebagai juru tulis atau yang berkecimpung di dunia kepenulisan, mereka identik dengan keanehan dalam tingkah keseharian. 

Dari ketiganya, bisa diinterpretasikan tokoh Kalkun merupakan juru tulis yang memiliki sifat paling wajar daripada dua juru tulis lain. Walaupun ia digambarkan memiliki perasaan yang terkadang berubah-ubah, perubahaan perasaan tersebut masih menunjukan sebagaimana perubahan yang kerap dialami atau dirasakan semua manusia pekerja pada umumnya. Bisa dibilang Kalkun adalah seorang juru tulis yang memiliki sifat pragmatis. Selalu menghamba pada kehidupan dan cenderung menuntut sebuah keuntungan di dalamnya. Atau, ia merupakan juru tulis yang cukup realistis dalam memandang kehidupan yang ia jalani.

Kendati seperti itu, Kalkun merupakan sosok yang anti kemapanan dan tidak mempedulikan penilaian buruk dari seseorang. Hal itu tergambar dari penampilannya yang diilustrasikan oleh tokoh Aku. Misalnya pakaiannya yang sering terlihat berminyak, celananya yang terlalu besar atau longgar, dan mantelnya yang buruk. Ia terlihat tidak pernah bermasalah dengan keadaan itu, hanya tokoh Aku saja yang mempermasalahkan.

“Di pagi hari, bisa dibilang wajahnya cerah dan berbunga-bunga, tapi setelah pukul dua belas siang–jam makan siang–sinar wajahnya berubah menjadi seterang panggangan yang penuh arang di hari Natal; dan terus menyala–namun juga perlahan-lahan meredup–sampai sekitar jam enam sore; setelahnya aku tidak bisa lagi melihat si pemilik wajah yang seolah bersinar mengikuti sang surya itu; wajahnya terbenam, terbit, memuncak, dan menurun mengikuti hari, dengan tertib dan semarak yang sama pula,” tutur tokoh Aku.

Untuk tokoh Catut, ia merupakan seorang pemuda berusia 25 tahun. Digambarkan, ia memiliki sebuah janggut, wajahnya pucat, dan secara keseluruhan perangainya hampir mirip seperti seorang bajak laut. Ringkasnya, Catut digambarkan sebagai seorang juru tulis tukang kritik. Dapat dilihat dari penggambaran Melville ketika Catut kerap mengutak-ngatik sebuah meja. Meski meja itu adalah karya tukang kayu yang amat ulung, Catut tak pernah merasa puas.

Ya, seorang juru tulis atau pun penulis nampaknya memang tidak jauh dengan watak-watak demikian. Kerap kali penulis tidak memikirkan penampilan mereka secara komprehensif, dan tak jarang juga ada tipe penulis yang sama dengan Catut, si tukang kritik. Sebagai seorang novelis, kemungkinan Melville tahu betul akan hal tersebut. Atau, ia dengan cakap menuliskan novela ini dengan cara bercermin pada dirinya sendiri.

Bartleby digambarkan sebagai juru tulis yang paling nahas. Kepribadiannya yang pendiam bahkan kerap kali membuat repot dan emosi tokoh Aku dalam cerita ini. Dia seperti sebuah robot yang hanya dioperasikan untuk kata-kata tertentu saja. Kesukaannya hanya menyendiri di ruangannya, dan tak ingin makan besar. Ia hanya mengemil biskuit jahe sebagai asupan pengisi perut. Ia tidak pernah mau ke luar dari gedung kantor tokoh Aku. Ia terus menetap di dalamnya. Tokoh Aku sendiri tidak pernah mengetahui darimana Bartleby berasal.

Singkat cerita, kerap kali mebuat tokoh Aku jengkel, pada akhirnya Bartleby mulai mendapat cap aneh dari tokoh Aku dan seluruh rekannya (Kalkun dan Catut .red). Bartleby bahkan dianggap sudah mulai tidak waras atau gila. Bukan tanpa sebab, label kegilaan itu didapatnya karena tokoh Aku tidak habis pikir lagi dengan tindak tanduknya yang semakin tidak dapat dinalar dengan akal sehat.

Puncaknya ketika tokoh Aku emosi karena Bartleby tidak ingin menulis lagi lantas ia mengusir Bartleby dari gedung kantornya. Bartleby tidak ingi pergi. Ia hanya mengucap sebagaimana yang sering ia ucap, “Saya tidak mau". Hanya kalimat itu saja yang keluar dari bibirnya.

Di bagian ini Melville jelas menyiratkan Bartleby sebagaimana seorang pengidap depresi. Seseorang yang tidak ingin melakukan sesuatu padahal sebelumnya selalu ia lakukan, selalu ia suka. Aura putus asa, perasaan nelangsa cukup jelas dapat dilihat dari penggambaran keanehan Bartleby.

Beribu cara tokoh Aku lakukan agar Bartleby ke luar dari gedung kantornya, namun semuanya gagal. Pada akhirnya, masih dengan emosi yang memuncak, tokoh Aku memutuskan untuk mengambil pilihan. Tokoh Aku memutuskan, dia yang pergi dari gedung kantor tersebut lantas pindah bersama pegawainya yang lain meninggalkan Bartleby. Ia pun berharap Bartleby mau keluar juga dari gedung kantor tersebut.

Pasca pindah kantor, tidak ada Bartleby dalam kehidupan tokoh Aku lagi. Tidak ada yang menjengkelkan dan menciptakan emosi lagi. Ia cukup tenang dengan kehidupan pekerjaannya sekarang. Sampai pada suatu hari, ketika seseorang tak dikenal menemuinya dan ia diminta pertanggungjawaban. Orang asing itu mengabarkan, bahwa di gedung lama kantornya ada seseorang yang masih menetap di sana dan tidak mau meninggalkan gedung. Orang yang dimaksud ialah Bartleby.

“Tuan bertanggung jawab atas orang yang Tuan tinggal di sana. Ia tak mau menyalin; ia tidak mau melakukan apa pun; ia bilang tidak mau; dan ia tidak mau meninggalkan gedung,” tutur orang asing.

Tokoh Aku sempat kasihan, namun ia berpikir untuk melawannya. Ia sudah tidak tahan dengan keanehan Bartleby. Tokoh Aku sempat menemuinya, menawarkan pekerjaan lain selain menulis, Bartleby masih dengan jawaban yang sama, “saya tidak mau”. Akhirnya tokoh Aku melarikan diri dan benar-benar tidak ingin memikirkan Bartleby.

Bartleby sempat diusir secara paksa oleh si empunya gedung, namun walaupun ia telah berhasil dikeluarkan, Bartleby masih berkeliaran di pelatarannya. Sampai pada akhirnya ia dilaporkan ke polisi dengan aduan; ia adalah seorang gelandangan, orang gila.

Mendengar kabar tersebut, rasa iba kembali datang pada tokoh Aku. Apalagi ketika di penjara Bartleby dikabarkan tidak ingin makan. Tokoh Aku sempat mengunjunginya dan membawakan juru masak kepadanya, namun itu pun tidak berhasil. Di penghujung cerita, dikabarkan Bartleby tewas di dalam penjara karena kelaparan. 

Khusus untuk Bartleby, Melville seolah ingin menggambarkan “penyakit” yang kerap menyerang juru tulis atau para penulis. Rasa depresi. Kegiatan yang mewajibkan mereka untuk selalu berkonsentrasi dengan apa yang mereka kerjakan dan lakukan, ialah salah satu dampaknya. Ditambah adanya tegangan antara imajinasi dan berpijak ke tanah. Seolah-olah Melville ingin menjelaskan bahwa seorang juru tulis sangat dekat dengan gangguan depresi karena kesedihan selalu tertanam dalam diri juru tulis.

“Tentu saja, seorang juru tulis harus memastikan bahwa setiap kata yang ditulisnya sesuai dengan dokumen asli. Bila ada dua atau lebih juru tulis di suatu kantor, biasanya mereka saling membantu untuk memeriksa salinan dokumen mereka; yang satu membaca salinan, yang lain mencocokannya dengan dokumen asli. Kegiatan itu sangatlah menjemukan, memuakkan, dan melelahkan. Menurutku, orang yang periang tak akan mampu melakukan pekerjaan macam itu,” papar tokoh Aku.

Rasa depresi Bartleby bukan tanpa sebab. Sikap demikian diketahui karena masa lalunya sebagai juru tulis Surat Gagal Antar di Washington yang tidak bisa ia lakukan lagi. Padahal setiap harinya ia selalu membaca harapan-harapan seseorang di surat yang tak sampai, kabar duka, hingga kabar gembira. Ia tidak dapat bekerja lagi sebagai penyalin sekaligus penyambung lidah antara pengirim surat dan calon penerimanya. Begitulah penjelasan sedikit dari tokoh Aku di akhir cerita. 

Mengapa Penulis Depresi?

Secuplik cerita dari novela karya Melville ini nampaknya memiliki keterikatan sangat kuat dengan pribadi seseorang yang dekat dengan dunia kepenulisan. Terlebih pada kisah Bartleby, depresi dinilai oleh beberapa pakar memang rentan diderita oleh para penulis.

Terhitung, sudah banyak para penulis yang menderita gangguan psikologis ini di dalam perjalanan kepengarangannya. Beberapa penulis mengubah gangguan ini sebagai kekuatan mereka, namun ada juga penulis yang terpenjara, bahkan hingga bunuh diri karenanya.

Penulis-penulis yang menjadikan depresi sebagai kekuatan, salah duanya ialah JK Rowling dan William Styrom. Sementara penulis -penulis yang terpenjara dan memilih jalan bunuh diri, sekadar menyebut nama misalnya Ernest Hemingway, Kurt Vonnegut, Virgina Woolf, Yukio Mishima, Edgar Allan Poe, dan masih banyak lagi.

Tri Wibowo BS, lewat kata pengantar yang ia tulis untuk buku Divine Madness: Sketsa Biografi Sastrawan 'Gila' (2009) menerangkan, ada kaitan kuat antara depresi dan penulis. Hal tersebut tidak lain tidak bukan karena penulis identik dengan dunia kreativitas. Meskipun konklusi ini masih menjadi kontroversial, korelasi antara penulis dan gangguan depresi belum betul-betul jelas adanya.

Tri menukil beberapa penelitian dari luar. Hasilnya mengatakan, bahwa manusia-manusia kreatif yang bebas jauh lebih rawan terkena depresi dan melakukan bunuh diri. Studi-studi biografi sastrawan dan seniman besar secara konsisten memperlihatkan tingginya rata-rata fenomena tersebut. Depresi parah (manic-depression) dan angka bunuh diri kerap penulis alami.

Sebagai contoh sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kay Redfield Jamison, seorang Pakar Psikiatri dari Johns Hopkins School of Medicine. Dari hasil observasinya terhadap sekitar seribu seniman dan penulis, kesimpulan laporan tersebut menyatakan, bahwa mereka cenderung mengalami tekanan mental, depresi, serta melakukan usaha bunuh diri dengan ragam probabilitas. Kecenderungan tersebut bahkan dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan orang-orang yang sukses dalam kehidupan bisnis atau publik, dan 10-20% lebih besar ketimbang orang awam.

Studi lain yang dilakukan oleh A. Ludwig (1992) terhadap generasi penulis dan seniman terdahulu. Menurut Tri, dari hasil penelitian tersebut, kemungkinan penulis terkena depresi adalah delapan sampai sepuluh kali lebih besar ketimbang orang biasa, dan bahkan rata-rata tindakan bunuh dirinya 18 kali lebih besar pula.

“Bahkan sebagian peneliti menghubungkannya dengan kondisi Schizophrenia,” terangnya.

Beberapa penelitian menerangkan, ada korelasi kuat antara gangguan depresi dengan profesi sebagai penulis

Banyak hal yang mengakibatkan penulis menjadi depresi atau terganggu mentalnya. Tri menjelaskan, misalnya depresi terjadi ketika mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan tidak juga dapat memperbaiki kondisi hidupnya; ketika lingkungan terasa begitu menekan dan tidak mendukung pengembangan diri; kegagalan dalam mencapai atau mewujudkan harapan; dan lain-lain.

Banyak sastrawan dan seniman besar yang mengalami depresi pernah mengatakan bahwa kreativitas mereka dipicu oleh kondisi emosi, amarah, kekecewaan, kesedihan, dan kesepian. Mereka berjuang mengatasi keadaan jiwa mereka yang berantakan itu dengan berbagai cara.

“Seringkali perjuangan mereka berakhir dengan tindakan penyalahgunaan obat, alkohol atau narkotika. Bahkan dalam banyak kasus membuat mereka memilih bunuh diri,” lanjut Tri.

Namun, kembali merujuk pada pendapat Kay Redfield Jamison, Tri menjelaskan, bahwa depresi jelas bukan faktor esensial yang memunculkan kreativitas. Kendati hubungan keduanya sangat erat, mayoritas orang yang mengalami gangguan mental tidak memiliki imajinasi yang luar biasa, dan sebagian besar seniman besar tidak mengalami depresi terus-menerus.  Oleh karena itu, gangguan mental atau depresi agaknya kurang tepat jika dikatakan sebagai cikal bakal bakat dan kreativitas para penulis. Walau secara umum ada korelasi yang positif antara keduanya.

Ihwal yang menarik lainnya, dipaparkan Tri, gejala-gejala depresi (dan bunuh diri) para penulis juga dapat dilacak dari karya-karya mereka (novel, puisi, esai dan sebagainya) dan kehidupan pribadi mereka (biografi, surat-surat dan sebagainya).

“Kita tahu bahwa setiap karya sastra pada dasarnya simbolik. Karya sastra (atau seni) adalah semacam jembatan yang dibangun di antara dua dunia, semacam tanda yang mengekspresikan pandangan tentang realitas yang otentik dan mendalam, yang berasal dari pengalaman, pemikiran dan gagasan sang penulis itu sendiri,” jelas Tri.

Sementara itu, menurut Pakar Psikiatri Alan Manevitz, penulis dapat menulis tentang penderitaan bahkan jika mereka tidak tahu penderitaan itu apa. Tetapi beberapa penulis mungkin merasa bahwa hasil tulisan mereka tidak akan bagus jika mereka tidak mengalami cobaan dan kesengsaraan yang sama seperti karakter yang mereka tulis. Di sanalah benang merah dapat terlihat antara penulis dan rasa depresi.

Selain itu, dalam proses kreatifnya, kerap kali penulis melakukannya sendirian. Dalam tahap inilah penulis menjadi anti sosial. Kurangnya interaksi sosial yang dilakukan oleh penulis dapat menyebabkan rasa depresi tumbuh.

"Mengisolasi diri sendiri dan tidak berinteraksi dengan dunia luar seperti olahraga, maka lebih rentan depresi," ungkap Alan.

Kehidupan menulis juga bisa menjadi roller coaster emosional jika terus-menerus dihadapkan dengan penolakan dari editor, agen, penerbit, atau bahkan rekan-rekan. "Sebagian besar dari keberhasilan seorang penulis tergantung pada bagaimana orang lain berpikir tentang dia," sambungnya.

Selain itu, gaya hidup yang kerap dijalani penulis juga dapat menagkibatkan depresi itu tumbuh. Akademisi Klinis dari Columbia University Medical Center di New York City, David Straker menyebutkan, kebanyakan penulis adalah serigala tunggal. Dengan menulis sendiri dan tidak berinteraksi dengan orang lain, lalu menulis hingga larut malam atau bahkan hanya pada malam hari, itulah yang menyebabkan mereka memiliki kecenderungan terjerembab ke kehidupan yang kurang sehat.

"Hal ini dapat merusak jadwal tidur, yang juga dapat meningkatkan kemungkinan depresi," katanya.

 
Ada korelasi kuat antara gangguan depresi dan penulis, walaupun pernyataan tersebut masih kontroversi dan anomali hingga sekarang.