HUMANIORA
04 Mar 2019 22:30
1612
Eksistensi Maskot, Jalan Menumpas Kecanggungan Media

Penakota.id – Seiring berkembangnya teknologi informasi, seiring itu pula dunia telah berubah. Kecanggihan teknologi telah menuntut dunia untuk mengikuti perkembangan akan dinamika yang terus disuguhkan, begitu pula dengan media pemberitaan.

Transformasi media pemberitaan dalam pandangan Sir Pentoel terlihat mulai meninggalkan konsep tradisional dalam memanjakan pembacanya. Di peradaban yang berkembang pesat ini, media mulai membungkus informasi secara komprehensif lewat data dan visual.

Hal ini sejalan dengan apa yang termaktub dalam sebuah jurnal yang sempat ia baca. Sebuah jurnal yang disusun oleh Yuko Aoyama dan Manuel Castells, "An empirical assessment of the informational society: Employment and occupational structures of G‐7 countries, 1920–2000". Pada jurnal yang diterbitkan tahun 2002 itu disebutkan, bahwa konsep media senantiasa mengikuti dinamika peradaban manusia yang saat ini telah memasuki era masyarakat informasi.

Perbedaan media era kiwari nampak mencuat dengan media di era sebelumnya. Media pemberitaan di era kiwari memiliki karakteristik yang semakin kompleks, kreatif, dan interaktif. Mau tidak mau hal itu memang harus terjadi. Sir Pentoel amat mafhum akan hal tersebut. Pasalnya, mengutip pendapat Joseph Straubhaar dalam bukunya, Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology (2015), seiring berjalannya waktu ciri khas produk teknologi di era ini memang harus menawarkan produktivitasnya. Efisiensi, kecepatan dan lintas batas juga harus senantiasa disuguhkan. Perangkat komunikasi teks, audio dan visual yang sebelumnya terpisah kini berpadu dan konvergen dalam satu perangkat transmisi.

Jaringan global internet ikut serta mendukung pergeseran gaya pemberitaan di era Generasi Z dan Alfa. Komputer, mahadata, dan jaringan telekomunikasi saling berintegrasi dan melahirkan sebuah konvergensi media. Perangkat komunikasi seperti ini dalam sejatinya memiliki andil besar dalam perubahan tatanan distribusi informasi.

Melihat fenomena tersebut, Sir Pentoel memandang beberapa unsur yang dijadikan media sebagai instrumen kuat untuk menambah nilai jual beli informasi. Banyak media menggunakan beberapa unsur itu untuk menjaring pangsa pasar lebih luas lewat berbagai metode.

Salah satu yang paling kuat dan dimainkan beberapa media tanah air adalah unsur visual. Unsur visual yang disajikan di antaranya seperti foto, infografik, gim dalam bentuk gambar, peta, ilustrasi, dan komik. Unsur-unsur tersebut seolah menjadi hal yang penting di tatanan kontemporer.

Beberapa media yang membaca keadaan ini, seolah mengerti bahwa unsur visual bukan saja membuat informasi menjadi lebih jelas, namun unsur tersebut mampu memperindah dan unggul dalam memancing daya tarik masyarakat di era transformasi media (Revolusi Industri 4.0).

Kendati demikian, banyak juga media pemberitaan yang lepas dari identitas jenama (brand identity) mereka. Tak jarang, mereka hanya berlomba-lomba mencari traffic lewat berita yang sedang viral namun tidak meninggalkan ciri khas tertentu. Sehingga mereka tidak dapat diingat secara hangat oleh pembaca. Selain hal tersebut, media pemberitaan sekarang cenderung menelan mentah-mentah revolusi industri 4.0 sehingga menyebabkan kecanggungan. Sisi lincah (agile) media pemberitaan makin hari kian terkikis dan menjadi seragam seperti robot.

Hanya beberapa media saja yang berhasil mengenalkan dirinya sebagai media pemberitaan dengan identitas jenama yang hangat bagi pembacanya sekarang. Kesan interaktif dan bersahabat yang diasosiasikan dengan sisi lincah, berhasil membuat mereka menjadi lebih dikenal dan dekat dengan pembaca.

Salah satu elemen yang mereka gunakan sebagai instrumen itu ialah peran maskot. Satu elemen ini seolah tidak pernah mereka lupakan dan selalu mereka junjung. Instrumen ini diterapkan untuk memperkenalkan identitas, sikap dan prinsip mereka secara implisit.

Sebagai contoh kasus, untuk media pemberitaan digital yang menggunakan instrumen ini di antaranya adalah Dagelan.co, Tirto.id, Mojok.co, Opini.id, hingga media musik Pop Hari Ini. Lewat peran maskot, kelima media ini serasa mudah dikenal dan diingat oleh siapa pun. Gambaran interaktif antara pembaca dan media dapat terlihat jelas dari komentar-komentar yang termaktub dalam kolom-kolom media sosial mereka.

Komponen Identitas

Mengutip pendapat Andi M. Sadat melalui penelitian Hutdi Nur Cahyono, "Peranan Antropomorfisme Maskot dalam Pencitraan Merek (Studi Kualitatif Deskriptif tentang Peranan Lucy sebagai Antropomorfisme Maskot untuk Pencitraan Band Cranial Incisored)", maskot memang merupakan salah satu komponen dari identitas jenama sebuah perusahaan. Pada pasar yang semakin kompetitif, Hutdi menyebut perusahaan mengandalkan maskot untuk menciptakan kesadaran, menyampaikan produk atau jasa atribut atau manfaat utama, dan menarik konsumen.

Maskot sangat bermanfaat untuk membentuk sebuah identitas yang kuat dan asosiasi yang menguntungkan bagi perusahaan. Maskot juga memiliki peran penting dalam pembentukan citra jenama sebuah perusahan.

Identitas jenama sendiri adalah seperangkat asosiasi yang unik dan diciptakan oleh para penyusun strategi jenama. Hubungan identitas jenama dengan citra jenama itu sendiri terafiliasi lewat diktum: identitas merupakan pendahulu dari citra.

Merujuk jurnal Sameer Hosany dkk, "Theory and strategies of anthropomorphic brand characters from Peter Rabbit, Mickey Mouse, and Ronald McDonald, to Hello Kitty" (2013), identitas jenama dikirimkan bersamaan dengan sumber informasi yang lain dan kemudian melalui media komunikasi, sinyal-sinyal ini dikirimkan kepada konsumen. Sinyal-sinyal ini kemudian yang diperlakukan sebagai stimulus dan diserap oleh indera dan ditafsirkan oleh konsumen.

Proses penafsirannya dilakukan dengan cara mengasosiasikan pengalaman masa lalu dan kemudian diartikan. Proses inilah yang disebut sebagai persepsi. Berdasarkan persepsi konsumen inilah citra jenama terbentuk.

Semakin berkualitas persepsi konsumen atas maskot, semakin membantu meningkatkan ketertarikan konsumen atas perusahaan. Pencantuman kualitas-kualitas ini bisa menjadi perhatian konsumen, mendorong penjualan, dan menciptakan identifikasi jenama. Keyakinan dan kesetiaan pada suatu jenama dapat dikaitkan dengan citra maskot, karena pada akhirnya konsumen ingin mempercayai dan mengkaitkan dengan “penampilan” jenama itu sendiri.

Dalam konteks historis media tanah air, sebetulnya telah banyak media yang mengaplikasikan konsep maskot sebagai identitas jenama untuk pemasaran industri media mereka. Sejak medio 1930, secara global konsep ini memang telah dirancang secara khusus oleh para korporat untuk mengangkat daya beli usaha mereka sebagai instrumen pemancing konsumen. Berbagai macam karakter maskot telah berkembang dari konsep antropomorfisme hingga representasi seorang tokoh. Dari tokoh anak-anak hingga dewasa pun tersedia.

Pada tataran media di tanah air misalnya, sebelum era digital kita mengenal hangat karakter Si Gundul dan Bobo. Mereka berdua merupakan contoh keberhasilan konsep dari dua media tanah air yakni, Tabloid Bola dan Majalah Bobo.

Walaupun kedua media tersebut tidak dapat dipungkiri memiliki pangsa pasar pembaca yang berbeda, namun fungsi dari kedua maskot tersebut adalah sama. Kedua maskot diciptakan untuk membangun identitas jenama agar pembaca tidak mudah lupa karena ciri khas yang terbentuk.

Bobo mungkin lebih beruntung ketimbang Si Gundul. Eksistensi Bobo masih dapat ditelisik keberadaannya karena edisi majalah Bobo masih beredar hingga sekarang. Berbeda dengan Bobo, 28 Oktober 2018 merupakan kesempatan terakhir Si Gundul unjuk gigi, dan ia resmi pamit di edisi cetak terakhir Tabloid Bola.

Pada era media pemberitaan digital hari ini, karakter Si Gundul dan Bobo  sejatinya pasti masih dikenal dan diketahui banyak masyarakat. Kehadiran mereka berdua mengantarkan ingatan orang-orang juga kepada media pembuatnya. Tidak mungkin akan dilupakan. Namun, tidak bisa dipungkiri eksistensi mereka secara tidak langsung mulai tergerus oleh beberapa kemunculan maskot atau karakter baru dalam panggung media digital era kiwari. Karakter Si Gundul dan Bobo telah memiliki pesaing kuat di belantara media.

 

Baca juga: Di Balik Cerita Maskot Tirto.id dan Mojok.co

 

Adalah Dudu, Demi, Bimo, Sisi, dan Mike. Nama-nama karakter ini yang mengisi slot itu. Kelima karakter ini merupakan maskot yang dikeluarkan oleh media yang memfokuskan diri ke hiburan dan konten humor anak muda Indonesia yakni, Dagelan.co. Seiring kemunculannya di Dagelan medio 2014, membuat nama Dudu, Demi, Bimo, Sisi, dan Mike kian terang.

Begitu pula maskot yang dimilki media berbasis riset dan data, Tirto.id. Kehadirannya di media sosial Tirto.id, dua sosok maskot kepunyaan media tersebut , Pak Tirto dan Bu Tirto juga mulai digandrungi pembaca media digital di tanah air.

Kemunculan maskot pada media satir nan jenaka Mojok.co juga tidak dapat kita lewatkan. Walaupun baru-baru ini Mojok.co mengubah dua maskotnya dari Karjo dan Romlah menjadi Jimi dan Mila, sepertinya eksistensi mereka mulai dapat dilihat dan menjadi sahabat pembaca Mojok.co itu sendiri.

Lebih lanjut, ada beberapa sosok maskot lagi seperti Mr. Ngehek dari Opini.id, serta Phi dari Pop Hari ini. Sir Pentoel menganggap itu semua sebagai inovasi di tengah arus informasi dan tsunami data. Agar media tidak terkesan eksklusif dan dapat dibaca oleh semua golongan.

(Penakota.id – fdm/glp)

Kemunculan maskot di sebuah media, meningkatkan tingkat kesadaran dan membuat karib dengan pembaca.