HUMANIORA
04 Mar 2019 22:46
3691
Cerita di Balik Maskot Tirto.id dan Mojok.co

Penakota.idSebagaimana artikel Eksistensi Maskot, Jalan Menumpas Kecanggungan Media, kami telah menjelaskan peran maskot ternyata begitu strategis dalam membangun industri media yang lebih interaktif. Maskot dipercaya sebagai salah satu elemen atau unsur yang dapat menarik perhatian pembaca dan menghilangkan kesan kecanggungan sebuah media.

Untuk mengetahui lebih lanjut pendapat-pendapat tersebut, kami ditugaskan oleh Sir Pentoel untuk menemui dua media yang menggunakan maskot sebagai karakter media mereka. Dua media tersebut ialah Tirto.id dan Mojok.co.

Kami berusaha menghubungi dua media tersebut lantas mereka menyambut dengan hangat. Berikut hasil wawancara kami kepada para penggagas maskot untuk kedua media tersebut, yakni Direktur Artistik (Art Director) Tirto.id Sabda Armandio Alif dan Admin Media Sosial sekaligus Content Planner Mojok.co Dony Iswara dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama.

 

WAWANCARA DENGAN SABDA ARMANDIO ALIF

 

Bagaimana pendapat Sabda Armandio Alif terkait peran strategis maskot di era media sekarang (digital)?

Peran maskot sangat penting untuk membunuh jarak antara media dan pembaca di era sekarang ini. Perilaku beberapa media di media sosial seperti menjaga jarak dengan pembaca. Misalnya, dengan hanya mengandalkan judul-judul clickbait atau hanya menulis ulang judul sebagai pengantar berita. Jadi, rencana pertama saya dalam bidang visual adalah memangkas jarak itu, agar kemudian orang-orang mau membaca tulisan yang barangkali menurut mereka ‘berat’ atau ‘terlalu panjang’. Bagaimana memangkas jarak itu? Saya pikir kami perlu medium lain: maskot.

 

Bolehkah diceritakan sedikit bagaimana awal mula kemunculan Pak Tirto sebagai produk maskot Tirto.id?  Apa latar belakang atau bagaimana sejarahnya?

Waktu diterima di Tirto.id sebagai Art Director—meski saya mengajukan diri justru sebagai penulis—yang merangkap sebagai perancang grafis (karena waktu itu kami hanya memiliki dua perancang) pada tengah 2016, tekanan yang muncul pertama kali adalah penulis-penulis yang bekerja di sana sebab saya kenal gaya mereka menulis, dan mereka bukan penulis amatiran.

Gaya adalah hal pertama yang hinggap dalam rencana saya untuk urusan visual, saya harus menemukan gaya yang bukan hanya enak dipandang dan berbeda dengan media lain, tetapi juga sanggup menjaring minat pembaca. Karena bagaimana pun saat dibagikan di media sosial, urusan visual menjadi pertimbangan penting apakah seseorang ingin membaca artikel atau tidak. Saya ingin pemirsa Tirto membaca tulisan-tulisan di website kami karena saya percaya tulisan-tulisan kami memang perlu dibaca. Sementara, dari yang saya pelajari, beberapa pembaca awal menilai tulisan-tulisan di Tirto.id ‘berat’ atau ‘terlalu panjang’. Sehingga pengunjung website kami bisa dibilang sangat sedikit.

Maskot memungkinkan kami memberi kepribadian dan dimensi, dengan kata lain membuat Tirto.id menjadi lebih hidup. Melalui pendekatan ini, kami berharap maskot Pak Tirto dan Bu Tirto (dan tak menutup kemungkinan akan bertambah) bukan hanya berakhir sebagai identitas produk, tetapi juga sanggup menarik pembaca-pembaca baru. Pak Tirto dan Bu Tirto berupaya memberi tahu pembaca bahwa produk jurnalistik dalam model long-form atau analisis bukanlah musuh. Seperti tetangga Anda atau teman kencan yang Anda jumpai di tinder, Anda perlu mengenalnya lebih jauh sebelum memberi penilaian.

Ada spanduk Tirto Adhi Soerjo sebesar meja pingpong di ruang tengah kami. Melihat hal itu, saya tanya ke Mojo, salah satu perancang grafis Tirto.id lainnya. Apakah ia membuat vector wajah Pak Tirto tersebut. Singkat cerita, Mojo menyanggupi dan memberi saya tiga desain awal.

Bagi mereka yang akrab dengan jurnalisme, tentu tahu siapa Tirto Adhi Soerjo, dan tirto.id memakai nama itu bukan tanpa alasan. Tapi, bagaimana dengan mereka yang tidak tahu? Sementara saya sadar bahwa saya bukan hanya akan berhadapan dengan pembaca yang sudah kenal Tirto Adhi Soerjo, tetapi juga yang bahkan mendengar namanya saja belum pernah. Jadi, saya putuskan untuk menginterpretasi ulang sosok Tirto Adhi Soerjo ke dalam bentuk vector. Cara ini lazim digunakan di dunia sastra, misalnya seperti yang dilakukan BBC dengan membuat acara ShakespeaRe-Told yang mementaskan ulang drama-drama Shakespeare, atau buku-buku klasik yang diceritakan ulang untuk pembaca modern.

Mojo selesai membuat tiga vector dan saya mengajukannya ke Pak Sapto (CEO Tirto.id), dan dia menyetujui dengan catatan bahwa saya harus konsisten menggunakannya dan menjaga kualitas keluaran produk multimedia agar tidak melenceng dari visi dan misi Tirto.id sendiri. Itu pekerjaan mudah bagi saya. Setelah mendapat persetujuan, saya mulai mengimplementasikannya secara bertahap mulai dari kemunculan-kemunculan kecil di infografik hingga komik-komik pendek. Tujuannya jelas, agar kami dapat menarik perhatian pembaca muda sehingga mereka punya pilihan bacaan lebih banyak lagi.

Kemudian saya dan Arlian Buana (sekarang Content Manager Geotimes.co.id) mengajukan ide untuk memisahkan divisi Multimedia dengan desainer Media Sosial, agar Media Sosial dapat berkreasi secara lebih leluasa sesuai kebutuhan platform masing-masing. Kemudian, Erenn Pratama, selaku desainer Media Sosial kami, mulai membuat rupa-rupa Pak Tirto yang bisa Anda lihat di Instagram sekarang.

 

Apakah peran Pak Tirto dan Bu Tirto sendiri dirasa cukup efektif untuk menggaet pembaca? Seberapa penting peran Pak Tirto dan Bu Tirto untuk Tirto.id sendiri?

(Jawaban dua pertanyaan di atas dirangkap .red).

Saya rasa cukup efektif. Setelah divisi desain Media Sosial memisahkan diri, terbukti mereka sanggup menarik minat pembaca baru. Hanya perlu waktu sekitar 6 bulan hingga follower di Instagram bertambah secara sangat signifikan, dan mereka kenal Pak Tirto dan Bu Tirto hingga sekarang. Pembaca kami terus bertambah dan durasi baca juga mengalami kemajuan. Tujuannya kemudian adalah produk visual Tirto.id bisa dibungkus dengan baik, sebab kami tidak ingin membuat judul-judul murahan untuk menarik minat orang untuk mengklik tautan.

Bisa dikatakan produk visual tirto secara keseluruhan adalah upaya kami untuk tidak tergiur menggunakan cara-cara yang membuat orang tak percaya lagi dengan jurnalisme.

 

Setujukah Sabda Armandio Alif jika peran Pak Tirto dan Bu Tirto dikatakan membantu Tirto.id dalam konteks brand identity sehingga Tirto.id mudah dikenal dan membantu pembaca menjadi merasa lebih dekat?

Di era digital sekarang, media terasa lebih kaku dalam menyampaikan pemberitaan. Setujukah peran maskot sebetulnya sangat membantu untuk membunuh kekakuan tersebut? Jika tidak, mengapa?

(Jawaban dua pertanyaan di atas dirangkap .red).

Tentu saja setuju. Selain kedekatan dan menghilangkan kekakuan, Pak Tirto dan Bu Tirto, lewat ocehannya juga semacam sarana buat kami, para desainer dan pembuat konten visual, untuk menyampaikan sesuatu. Kami adalah bagian dari produk jurnalistik, dan produk jurnalistik tidak seperti batu yang susah diajak bicara.

 

Bagaimana Sabda Armandio Alif memandang packaging media sekarang (terkhusus digital)?

Zaman berubah dan teknologi selalu menemukan cara untuk membuat orang berbahagia. Melihat minat pengguna internet terhadap produk visual yang begitu tinggi, kita bisa lihat tren platform berbasis visual seperti YouTube dan Instagram atau maraknya penggunaan meme.

Saat ini, ilustrator-ilustrator berbakat punya kesempatan untuk menunjukkan kebolehan mereka mengolah dan menginterpretasikan gagasan mereka ke dalam bentuk visual dan media tak boleh menganggap ini sepele. Media butuh desainer berbakat, editor video, dan juru motion graphic untuk bersaing mendapatkan pembaca.

Rekrut lebih banyak desainer, mereka yang menghabiskan waktu untuk menggeluti bidang itu, dan bayar mereka dengan pantas. Berhenti suruh orang yang tidak secara spesifik menekuni bidang desain visual untuk mengerjakan produk desain visual hanya karena mereka bisa dibayar murah.

Kalau kemasannya bagus, membuka peluang untuk membuat orang lebih rajin membaca. Kalau sudah begitu, barangkali akan terbentuk pula perangai ilmiah dalam diri pembaca yang bisa mencegah mereka untuk membagikan hoaks.

maskot-pak tirto- Bu Tirto - Penakota

 

Baca juga: Eksistensi Maskot, Jalan Menumpas Kecanggungan Media

 

 

WAWANCARA DENGAN DONY ISWARA

 

Bagaimana pendapat Dony Iswara terkait peran strategis maskot di era media sekarang (digital)?

Kebetulan di Mojok.co tidak ada posisi Art Director. Saya sendiri di Mojok.co menempati posisi sebagai Admin Media Sosial dan Content Planner. Secara garis besar tugas saya adalah merencanakan konten apa yang akan dibuat serta ditampilkan di kanal media sosial Mojok.co.

Saya mulai menempati posisi ini sejak tahun 2017 ketika Mojok.co “lahir kembali”. Awalnya saya cuma memegang posisi Admin Media Sosial. Namun dalam perjalanannya, saya juga akhirnya diberi wewenang untuk bertanggung jawab atas produksi konten media sosial dan branding Mojok.co di media sosial.

Sejak awal, saya memang menyadari bahwa Mojok.co belum memiliki maskot dan saya merasa perlu untuk menciptakan maskot bagi Mojok.co karena di era media saat ini peran maskot bisa dikatakan cukup signifikan, terutama dalam hal membangun engagement dengan pembaca atau users. Maskot juga dibutuhkan agar media (dalam hal ini Mojok.co) jadi lebih mudah dikenali oleh pembaca. Jadi, secara mendasar, maskot adalah salah satu bagian penting dalam branding Mojok.co sendiri.

 

Bolehkah diceritakan sedikit bagaimana awal mula kemunculan maskot Mojok.co (yang terbaru Jimi dan Mila) sebagai produk maskot Mojok.co?  Apa latar belakang atau bagaimana sejarahnya?

Jadi, awalnya dulu (ketika saya pertama bergabung di Mojok pada tahun 2017) kanal media sosial Mojok.co (terutama Twitter) belum memiliki maskot sehingga follower hanya memanggil admin dengan sebutan “Min”. Hal ini saya rasa cukup ‘mengganggu’ dan akhirnya memutuskan untuk menciptakan maskot bagi kanal media sosial Mojok.co. Waktu itu saya melibatkan follower dalam menentukan nama maskot dengan menggunakan fasilitas polling di Twitter. Dari hasil polling didapat nama Karjo dan Romlah sebagai maskot awal Mojok.co setelah reborn. Karjo dan Romlah mendapat respon baik dari follower dan mulai dikenal sebagai maskot kami.

Pada Desember 2018, tim media sosial Mojok.co memutuskan untuk mengganti Karjo dan Romlah dengan maskot baru yang lebih fresh yang rencananya akan mulai digunakan pada Januari 2019. Alasan mengganti Karjo dan Romlah dengan maskot baru adalah karena saat itu kami pikir Karjo dan Romlah terlalu ‘njawani’ (bersifat kejawaan). Kami ingin menciptakan maskot yang lebih universal dan bisa menjangkau segmen pembaca yang lebih luas. Alasan lain adalah karena Karjo dan Romlah terkesan terlalu tua. Sedangkan, target audience Mojok.co sendiri adalah anak muda dengan kisaran usia 18 - 24 tahun. Oleh karena itu, kami ingin menciptakan maskot yang lebih related dengan kehidupan anak muda kisaran usia tersebut.

Setelah sepakat untuk mengganti Karjo dan Romlah dengan maskot baru, tim media sosial Mojok.co yang terdiri dari saya sendiri, ilustrator, dan videografer mulai melakukan brainstorming untuk menciptakan maskot baru bagi media kami. Langkah pertama adalah penentuan nama. Dari hasil brainstorming tersebut, maka didapat nama Mila dan Jimi. Inisial nama mereka sebenarnya merupakan turunan dari kata Mojok.co itu sendiri, M dan J. kami memilih nama Mila dan Jimi karena nama itu terkesan lebih kekinian dan tidak terlalu identik dengan suku tertentu. Jadi lebih universal.

Setelah mendapatkan nama, langkah berikutnya adalah menciptakan personality bagi Mila dan Jimi. saya memutuskan untuk menciptakan tampilan visual bagi Mila dan Jimi, yang mana tidak saya lakukan ketika menciptakan Karjo dan Romlah. Hal ini saya lakukan agar Mila dan Jimi bisa memiliki kesan yang lebih kuat pada pembaca dan follower. Yang bertanggung jawab atas tampilan visual Mila dan Jimi adalah Lala (ilustrator Mojok.co).

Jadi, waktu itu saya hanya memberikan brief tentang karakteristik Mila dan Jimi, lalu kemudian Lala yang menerjemahkan brief tersebut ke dalam tampilan grafis. Hingga jadilah Mila dan Jimi seperti yang bisa dilihat sekarang.

 

Siapa yang pertama kali yang memiliki ide untuk menciptakan Mila & Jimi? Apa tujuannya?

Yang pertama memiliki ide untuk menciptakan Mila dan Jimi adalah saya sendiri. Tapi tentu saja dalam pengembangannya saya dibantu oleh teman-teman di tim media sosial. Tujuan menciptakan Mila dan Jimi yang pertama tentu saja adalah agar Mojok memiliki maskot yang lebih fresh dan kekinian. Tujuan lain adalah untuk menarik pembaca atau follower dengan rentang usia 18-24 tahun sebagaimana target Mojok.co pada umumnya. Jadi yang saya pikirkan saat itu adalah bagaimana caranya menciptakan maskot yang bisa ‘nyambung’ dengan anak muda dan kehidupan anak muda pada umumnya.

Mila&Jimi - Mojok.co - Penakota

 

Apakah peran Mila dan Jimi sendiri dirasa cukup efektif untuk menggaet pembaca?

Sejauh ini, iya. Meskipun terkadang masih ada pembaca atau follower yang menganggap Karjo dan Romlah masih menjadi maskot Mojok.co. Namun dalam perkembangannya, Mila dan Jimi mulai dikenal dan diterima oleh pembaca dan follower kami.

 

Seberapa penting peran Mila dan Jimi untuk Mojok.co sendiri?

Sama seperti halnya Karjo dan Romlah, peran Mila dan Jimi cukup penting, terutama di kanal media sosial Mojok.co. Dengan adanya Mila dan Jimi, follower jadi lebih merasa dekat dengan Mojok. Tampilan visual Mila dan Jimi yang kekinian juga menjadi nilai tambah yang membuat follower jadi merasa lebih related dengan konten media sosial Mojok.co.

 

Setujukah Dony Iswara jika peran Jimi dan Mila dikatakan membantu Mojok.co dalam konteks brand identity sehingga Mojok.co mudah dikenal dan membantu pembaca menjadi merasa lebih dekat?

Setuju.

 

Di era digital sekarang, media terasa lebih kaku dalam menyampaikan pemberitaan. Setujukah peran maskot sebetulnya sangat membantu untuk membunuh kekakuan tersebut? Jika tidak, mengapa?

Saya setuju jika media memang terkesan kaku dalam pemberitaan. Namun hal ini tidak berlaku secara menyeluruh, tergantung karakteristik media itu sendiri. Ada media yang memang terkesan kaku dalam pemberitaan, namun ada juga media yang terkesan lebih santai. Berdasarkan pengamatan saya, peran maskot secara garis besar bisa dibagi menjadi dua jenis utama. Pertama, maskot bisa memperkuat identitas atau karakteristik media. Jadi, dalam hal ini, maskot memiliki karakteristik atau identitas yang selaras dengan karakteristik media. Di lain pihak, maskot juga bisa berperan ‘memperhalus’ karakteristik media. Jadi misalnya ada media yang terkesan kaku dalam pemberitaan, maskot bisa digunakan untuk mengurangi kekakuan tersebut sehingga berita yang ditampilkan dapat diterima secara lebih luwes oleh pembaca. Jadi, menurut saya, peran maskot sebetulnya bisa sangat fleksibel, tergantung dari kebutuhan media itu sendiri.

 

Bagaimana Dony Iswara sendiri memandang packaging media sekarang (terkhusus digital)?

Saat ini media mulai terkesan lebih fleksibel, meskipun secara karakteristik media tersebut sebetulnya mengusung branding yang ‘kaku’. Belakangan media besar mulai menggunakan gaya bahasa serta ungkapan-ungkapan yang lebih santai. Beberapa media bahkan menggunakan meme di kanal media sosial mereka. Hal ini tidak dapat dihindari, terutama di platform media sosial dengan tingkat perubahan isu yang demikian cepat. Media dituntut untuk tetap relevan dengan perkembangan pengguna media sosial jika ingin mempertahankan pembaca serta menyasar pembaca baru.

Jadi, saya rasa packaging media sekarang sudah pada tempatnya karena sudah sesuai dengan kebutuhan pembaca, terutama pembaca yang aktif menggunakan media sosial.

 

Peran maskot digunakan Tirto.id & Mojok.co sebagai antitesis dari media pada umumnya yang cenderung terlihat memiliki gap dengan pembaca.

 

Editor: Galeh Pramudianto