NASIONAL
21 Apr 2019 04:17
1686
Kasus Perundungan Audrey dan Sesat Pikir Atas Nama Moralitas

Penakota.id – Kasus perisakan atau perundungan agaknya masih serupa penyakit mengakar yang perlu perhatian banyak negara. Baik itu secara verbal maupun fisik, di setiap tahunnya kasus ini pasti acap kali ditemukan, tak terkecuali di Indonesia. Banyak masyarakat yang telah menjadi korban, terlebih bagi mereka yang ada pada kategori usia muda atau anak. Kasus perundungan seolah telah mencoreng generasi yang dipercaya sebagai penerus bangsa tersebut.

Sebagai contoh kasus perundungan yang baru-baru ini terjadi dan viral di linimasa. Adalah kasus perundungan yang dialami remaja bernama Audrey (14), seorang siswi SMP di Pontianak, Kalimantan Barat. Agaknya kasus tersebut patut menjadi cermin, bahwa kasus perundungan sudah amat urgensi untuk diselesaikan lebih lanjut agar kelak tidak terjadi kembali. Kasus ini juga merupakan bukti bahwa perundungan masih menjadi bahaya yang mengancam pelajar Indonesia.

Perundungan yang menimpa Audrey kemudian dengan sangat cepat menjadi viral setelah bermunculan thread dan unggahan di media sosial terkait kasus tersebut. Audrey dikabarkan mengalami penganiayaan fisik oleh 12 siswi dari berbagai SMA di Pontianak. Beragam versi cerita pun tersebar dengan detail yang berbeda antara satu versi dengan versi lainnya. Versi yang paling terkenal yakni Audrey didorong, dipukul, dan ditusuk di bagian vital kewanitaannya.

Beragam reaksi muncul dalam satu suara, yakni kecaman terhadap para pelaku yang melakukan perundungan terhadap Audrey. Berangkat dari hal itu, warganet secara beramai-ramai membuat tagar #JusticeForAudrey lantas menjadi tren di jagat maya dan kemudian diteruskan oleh pengguna lainnya. Para Influencer dan artis kenamaan tanah air pun turut mengungkapkan reaksinya dalam membela Audrey.

Selain dukungan agar Audrey cepat pulih dari trauma akibat perundungan, warganet juga mengecam para pelaku dengan menghujani media sosial mereka dengan komentar pedas. Tidak sampai di situ, salah satu akun pelaku yang dikunci pun diretas oleh warganet dan kembali dibanjiri dengan ujaran kebencian yang mengutuk tindakannya.

Kepolisian Daerah Kalimantan Barat pada awalnya memutuskan untuk menyelesaikan kasus melalui cara diversi atau damai karena para pelaku masih di bawah umur, namun hal tersebut justru memicu kemarahan yang lebih besar dari warganet.

Sebagai bentuk ketidaksetujuan, sebuah petisi bertajuk “Polda Kalbar, Segera Berikan Keadilan untuk Audrey #JusticeForAudrey!” pun diajukan kepada Kepolisian Daerah Kalimantan Barat. Petisi yang digagas oleh Fachira Anindy itu hingga kini telah mendapat hampir 4 juta tanda tangan.

Tak lama berselang, tagar #JusticeForAudrey mulai disusul oleh kemunculan tagar baru yakni, #AudreyJugaBersalah. Mulai bermunculan pula akun-akun yang menghadirkan perspektif baru terhadap kasus perisakan Audrey, yakni indikasi bahwa korban tidak sepenuhnya benar.

Kalimat “Pelaku sudah pasti salah, namun korban belum tentu benar” dan “Tidak mungkin ada asap jika tidak ada api sebelumnya” kemudian ramai diperbincangkan. Berbagai kutipan dari akun Facebook dan video dari akun Tik Tok milik korban pun menjadi viral.

 

Baca juga: Praktik Kekerasan Masih Coreng Marwah dan Tujuan Pondok Pesantren

 

Warganet yang tadinya satu suara dalam mendukung Audrey dan menjatuhkan pelaku yang sama-sama masih di bawah umur tampak terbelah dalam opini masing-masing. Keberpihakan kini terbagi kepada dua pihak, korban dan pelaku.

Puncaknya ketika hasil visum dirilis oleh Rumah Sakit Promedika Pontianak. Hasil tersebut seakan menampar banyak pihak karena Audrey dinyatakan sehat secara jasmani karena tidak ditemukan adanya luka memar di sekujur tubuhnya maupun perobekan hymen (selaput dara) di organ vitalnya.

Ditambah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy (12/4) bahkan menyatakan bahwa, sebagian besar detail mengenai kasus perundungan Audrey adalah hoaks. Benar adanya bahwa Audrey mengalami kekerasan, namun penganiayaan tersebut terjadi secara satu lawan satu secara bergantian, bukan dikeroyok oleh 12 orang sekaligus. Kekerasan yang terjadi pun berupa dorongan dan pukulan, detail bahwa organ vital Audrey ditusuk untuk menghilangkan keperawanannya pun tidaklah benar.

Permainan Rantai Kata dengan Peserta Se-Indonesia

Beredarnya enam versi cerita berbeda mengenai kasus ini seharusnya cukup untuk meyakinkan warganet bahwa kejelasan mengenai kasus masih belum diraih. Alih-alih, menyebarluaskan kabar yang disertai dengan opini pribadi justru lebih menarik untuk dilakukan agar terlihat simpatik dan tidak kelewatan kabar yang sedang digemborkan.

Sama seperti permainan rantai kata, informasi yang diteruskan tidak lagi sepenuhnya tepat karena adanya penambahan, pengurangan, ataupun salah tangkap oleh yang meneruskan. Hal tersebut secara alami terjadi karena adanya hukum noise dalam komunikasi. Sebagaimana dalam model komunikasi Shanon dan Weaver (1949).

Noise atau gangguan sendiri merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan noise adalah penambahan ataupun pengurangan porsi informasi yang mempengaruhi keutuhan dari informasi itu sendiri. Untuk dapat mengatasi hal tersebut, satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh para pelaku penyampai pesan yakni mengurangi dampak dari noise tersebut dengan adanya klarifikasi kepada sumber berita.

Sayangnya, karena peredaran informasi mengenai kasus yang begitu cepat, upaya mengurangi noise menjadi sulit untuk dilakukan, terlebih informasi yang baru akan terus bertambah dan sumber yang valid sulit untuk dibedakan.

Perkembangan teknologi membuat dampak noise dalam sebuah pemberitaan atau penyebaran hoaks bak permainan rantai kata ini sampai ke skala masif dan berbahaya. Hal tersebut merupakan salah satu sisi gelap dari adanya konvergensi media yang menyebabkan perpindahan informasi antara satu medium ke medium lainnya menjadi sangat cepat.

Vonis yang Tidak Dapat Ditarik Kembali

Kendati kenyataan berbeda dengan apa yang selama ini menjadi dugaan warganet, para pelaku sudah terlanjur menerima sanksi sosial yang begitu besar dari seluruh masyarakat Indonesia, yaitu ujaran kebencian. Beban moral yang sedemikian besar harus ditanggung oleh para pelaku yang masih di bawah umur.

Vonis hukuman berupa sanksi sosial tersebut dijatuhkan kepada para pelaku karena warganet merasa pelaku pantas mendapatkannya. Namun, lagi-lagi hal itu hanya berdasarkan kapasitas informasi yang mayoritas percaya, bahwa Audrey dikeroyok oleh 12 orang dan dirusak organ vitalnya.

Kini identitas para pelaku sudah tersebar luas, diikuti dengan ancaman dan cacian terhadap mereka. Bahkan salah satu akun dari pelaku telah diretas demi kepuasan warganet dalam mengutuk tindakan mereka. Privasi mereka sebagai individu sudah terlanjur dilanggar batasannya.

Tentunya perlakuan kekerasan para pelaku terhadap korban jelas-jelas salah, namun seharusnya warganet tidak langsung main hakim sendiri karena informasi simpang siur yang sudah ramai beredar. Karena pada hakikatnya, sesuatu yang banyak dipercaya belum tentu merupakan sesuatu yang dapat dibuktikan kebenarannya.

Saat melihat bahwa banyak pengguna media sosial lain yang mendukung Audrey, warganet beramai-ramai menunjukkan simpati mereka, yang secara langsung membawa detail simpang siur terkait perisakan kepada pengguna lainnya.

Walau setelahnya para influencer juga berusaha untuk memperbaiki perspektif masyarakat melalui konten-konten klarifikasi, hukuman yang telah dijatuhkan kepada para pelaku sudah tidak dapat ditarik kembali. Hal ini imbas dari pada sikap “latah” warganet dalam menanggapi suatu isu atau kasus.

Sesat Berpikir dalam Menanggapi Kasus

Dalam hal ini, warganet Indonesia yang berpartisipasi dalam kasus Audrey tersangkut pada fenomena sesat pikir, yaitu Bandwagon Fallacy. Pada penilitiannya, “Recognizing Microstructural Fallacies in Argumentation”, Mc Gee menerangkan bahwa Bandwagon terjadi saat seseorang setuju pada suatu ide tertentu karena banyak orang di sekitarnya yang menyetujui ide tersebut.

Melalui konvergensi media, informasi mengenai kasus Audrey pun akan muncul dimana-mana, mengurung warganet di pusaran informasi mainstream. Hal tersebutlah yang berpotensi memunculkan sesat pikir atau Bandwagon.

Pada kasus Audrey sendiri, fenomena Bandwagon merupakan sesat pikir yang memotivasi warganet untuk beropini bahwa Audrey memang dikeroyok oleh 12 orang sekaligus dan ditusuk organ vitalnya. Yang lebih disayangkan adalah, para influencer yang memiliki tendensi menggiring opini pengikutnya juga turut terlibat dalam menyebarkan informasi setengah matang itu. Ini sejalan dengan penjelasan, bahwa Bandwagon menjadi lebih mudah terjadi apabila terdapat opinion leader yang turut terlibat.

Cepat Tanggap Namun Tidak Selalu Tepat

Chika, salah seorang pengguna Instagram misalnya. Ia mengunggah konten bertagar #JusticeForAudrey karena memang berita tersebut sedang viral dan ia bersimpati terhadap apa yang dialami oleh Audrey dan merasa bahwa pelaku pantas untuk dicaci. Bagi Chika, sekalipun pelaku masih di bawah umur, tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh mereka sama sekali tidak dibenarkan.

Tentunya reaksi warganet yang cepat dan tanggap di saat melihat ketidakadilan terjadi di sekitarnya seperti Chika patut diberi apresiasi. Sayangnya, kesigapan tersebut masih belum diikuti dengan kebijaksanaan dalam mengolah informasi.

Informasi yang tidak dicerna secara bijak tersebut berujung mencederai salah satu pihak dan menanamkan ide yang salah bagi banyak orang. Hingga detik ini, terpantau masih ada saja warganer selain Chika yang menyebarkan konten hoaks. Bahkan akun para pelaku masih dibanjiri oleh pesan dan komentar negatif.

“Iya saya akui kesigapan dan yang saya lakukan salah. Tapi di sisi lain saya masih tetap akan membela Audrey karena bagaimanapun ini merupakan kasus perundungan,” tegas Chika ketika dihubungi Penakota, Kamis (18/4).

Indonesia kini berada di era post truth, di mana kebenaran ilmiah akan tertutupi oleh apa yang dianggap benar secara emosional. Jika tidak bijak dalam mengolah informasi, maka sudah dipastikan masyarakat Indonesia mengalami kemunduran intelektual.

Melalui kasus perundungan ini, warganet seharusnya dapat berkaca dan merenung sebelum kembali menyebarkan suatu informasi, karena bukannya tidak mungkin apabila kasus serupa akan terulang. Sesederhana berpikir sejenak sebelum berucap, bertindak, dan memberikan penilaian saja kita sudah selangkah lebih maju untuk memberangus hoaks dan dampak negatif yang mengikutinya.

 

Editor: Fadli Mubarok