HUMANIORA
23 Apr 2019 18:08
1460
Peran Perempuan Mengembangkan Pakaian Antariksa Pertama

Penakota.id - Di sebuah kedai kopi, Sir Pentoel memutuskan untuk menghabiskan malam. Ia memilih untuk menghabiskan kopi dengan suasana outdoor daripada berdiam diri di apartemennya yang jumud. Angin malam dan pekatnya langit membuat pikirannya terbang. Bintang-bintang kini sudah tak tampak bertaburan karena polusi. Cahaya yang terpancar tak sebanyak ketika ia masih duduk di sekolah dasar. Teringat ketika ia pernah mempelajari tentang tata surya di sekolah menengahnya dulu, hingga ia mengagumi bintang kejora yang tak lain adalah planet Venus. 

Sudah lama rasanya ia tidak membaca tentang perkembangan benda-benda angkasa dan hal-hal berkaitan dengan itu. Berbekal rasa penasaran, ia membuka salah satu portal berita sains dari laptopnya. Isi berita itu tentang perkembangan pakaian antariksa yang untuk pertama kalinya dibuat untuk perempuan. Ia bahkan sampai membayangkan bagaimana jika pakaian itu rampung pengerjaannya. 

Sir Pentoel tak menyangka meskipun perempuan tidak dianggap sebagai astronaut dalam misi Apollo, ternyata perempuan sangat berperan penting—bahkan menjadi bagian integral dalam pembuatan dan pengembangan pakaian—yang memang khusus dibuat untuk astronaut perempuan. Namun, setelah mencari kelanjutan dari berita tersebut, ia merasa kecewa. 

Hal itu karena Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) membatalkan perjalanan antariksa pertama yang akan dilakukan oleh astronaut yang semua anggotanya adalah perempuan. Hal itu terjadi hanya karena pakaian yang tidak sesuai dengan yang akan digunakan oleh salah satu astronaut. Pembuatan pakaian antariksa khusus perempuan tidaklah mudah karena menimbang bagaimana astronaut merasa aman dalam waktu 144 jam tanpa henti di angkasa. 

Rencana NASA selanjutnya adalah melengkapi toilet pada pakaian antariksa untuk membuang air kecil dan menstruasi bagi perempuan. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan oleh ilmuwan dalam pembuatan pakaian antariksa ini ternyata harus tahan pada hantaman, guna melindungi para astronaut dari meteorit kecil serta puing-puing lainnya yang ada di angkasa. Selain itu, pakaian ini harus dapat melindungi astronaut dalam ancaman radiasi dan partikel-partikel matahari.

Tak hanya itu pakaian antariksa ini memiliki syarat wajib yang harus dipenuhi yaitu, pakaian harus dapat melindungi astronaut dari stres karena perubahan suhu, warna terang, intensitas cahaya, dan kadar oksigen. Untuk memenuhi persyaratan tersebut, NASA menyiasati dengan memasang teknologi berupa jaringan sensor nirkabel yang mampu merespon vitalitas pemakaian dengan mengkalibrasi lingkungan secara langsung.

"Bagi para astronaut, sangat penting untuk menjaga keadaan mentalnya tetap sehat selama menjalankan misi. Sayangnya saat ini belum ada solusi yang dapat membantu astronaut secara langsung agar mereka tidak merasa stres dan cemas. Teknologi ini akan memberi bantuan langsung ke dalam pikiran mereka," kata Arman Sargolzaei, asisten profesor teknik elektro dilansir Space.com.

Douglas N. Lantry, kurator di Museum Nasional Angkatan Udara A.S, menulis penelitian di tahun 1995 tentang sejarah teknologi pakaian antariksa era Apollo sebagai artefak budaya. Pada penelitiannya “Man in Machine: Apollo-Era Space Suits as Artifacts of Technology and Culture”, ia mengatakan bahwa desain dan teknologi awal di balik pakaian antariksa pertama diambil dari busana perempuan.

Menurut Douglas, ketika para ilmuwan menyiapkan bentuk fisik pakaian antariksa pertama pada 1950-an dan 1960-an, tugas menyusun materi dan bentuk dasar pakaian jatuh ke tangan para perempuan. Para ilmuwan, saat itu kebanyakan pria, menciptakan merencanakan dan material. Sedang perempuan sebagi perancang dan pembuat karena mereka sudah terampil menjahit dengan bahan Playtex. 

Kini Sir Pentoel mafhum akan hal itu. Ia merasa dunia riset dan sains mulai terbuka terhadap perempuan dengan berbagai kecerdasan dan ketelitiannya. Seperti ketika ia mengetahui bahwa lubang fantasinya: lubang hitam, dapat terpotret dengan jelas oleh Katherine Louise Bouman dan ia telah mewariskan ‘harta karun’ bagi generasi yang akan datang.

 

Editor: Galeh Pramudianto