HUMANIORA
02 May 2019 19:59
1631
Penetrasi Toxic Masculinity Lewat Film

Penakota.id - Menonton film sepulang kerja selalu menjadi kegiatan rutin Sir Pentoel, itu pun jika lelah tak segera mampir dan membuat mood-nya berantakan. Sama seperti membaca buku, bagi Sir Pentoel film adalah jendela dunia, hanya saja dengan audio visual yang jauh lebih mengalir. Minggu ini ia sudah membuat daftar film apa saja yang akan ia tonton, berbekal rekomendasi dari juru tulisnya.

Daftar film yang akan ia tonton kali ini agaknya cukup menarik karena menurut penuturan rekannya, kebanyakan dari film tersebut memiliki satu kesamaan, yakni secara tidak langsung menayangkan toxic masculinity (maskulinitas beracun). Beberapa hari yang lalu, Sir Pentoel sudah melakukan riset terlebih dahulu mengenai apa itu toxic masculinity, agar semakin mantap saat menyaksikan, pikirnya.

Istilah toxic masculinity sendiri dimulai dengan adanya gerakan para pria mythopoetic yang populer pada tahun 1980-1990. Merujuk buku yang ditulis Joseph Gelfer, Numen, Old Men: Contemporary Masculine Spiritualities and the Problem of Patriarchy (2014), gerakan tersebut diinisiasi oleh kaum pria sebagai reaksi atas gelombang kedua feminisme yang juga populer pada tahun tersebut dan bermaksud untuk melindungi sosok ‘pria’ yang sesungguhnya-dalam hal ini, sifat-sifat konservatif yang selalu diatribusikan kepada laki-laki.

Sifat-sifat konservatif yang dimaksud adalah arogansi, dominasi, dan agresi yang merujuk kepada seksisme maupun penindasan terhadap kaum minoritas lainnya. Istilah toxic masculinity sederhananya yakni, anggapan bahwa hanya ada satu cara untuk menjadi laki-laki. Cara tersebut adalah dengan memegang atribusi konservatif bahwa pria harus terlihat kuat, tidak boleh menangis, dan sebagainya.

Terdapat beberapa produk budaya populer yang ternyata membingkai praktik toxic masculinity itu sendiri, dan apabila penonton tidak dapat melihat unsur negatif karena penyampaiannya yang tersirat dan bersifat mencuci otak, maka bisa saja pemikiran toxic masculinity malah mengakar di pikiran mereka dan mereka menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar.

Salah satu film yang menyiratkan toxic masculinity yang telah Sir Pentoel tonton adalah film James Bond. Karakter agen rahasia 007 atau yang dikenal dengan nama James Bond telah lama menghiasi layar lebar sejak tahun 1962 dan merupakan adaptasi dari novel yang ditulis oleh Ian Flemming. Tokoh James Bond digambarkan sebagai seorang pria karismatik, misterius, dan flamboyan. Berkat kepiawaiannya dalam menjalankan aksi sebagai mata-mata, tentunya penonton akan jatuh cinta dengan sosoknya.

Karena terlalu asyik dengan jalan cerita yang disuguhkan, kita mungkin sedikitnya lupa bahwa film-film James Bond selalu dibumbui dengan erotika yang membuat sosoknya selalu dikelilingi wanita-wanita cantik. Hal ini merupakan bentuk objektifikasi perempuan secara seksual yang merupakan bagian dari toxic masculinity. Tokoh perempuan dalam film James Bond terkesan berkontribusi dalam cerita hanya melalui sexual appeal yang ia miliki.

Selanjutnya, Sir Pentoel teringat akan film Posesif yang sempat meramaikan bioskop tanah air pada tahun 2017. Film yang disutradai oleh Edwin itu telah meraih cukup banyak penghargaan dan menerima respons yang positif dari masyarakat. Berkisah tentang kisah romansa sepasang kekasih, Lala dan Yudhis yang berubah menjadi suspense karena obsesi sang pria terhadap kekasihnya.

Toxic masculinity dalam film ini ditunjukkan melalui sikap Yudhis yang selalu berusaha untuk mendominasi dan menguasai Lala karena egonya semata. Setidaknya, para penikmat film ini tidak harus merasa khawatir karena penyampaian film memang dikemas secara gelap dan penonton dapat mengidentifikasi bahwa watak dari karakter Yudhis sangatlah negatif untuk dianggap wajar.

Film-film barat (Hollywood) umumnya paling banyak menunjukkan toxic masculinity, di mana apabila seorang tokoh pria tidak mengikuti tekanan konformitas yang mengharuskan dirinya berperilaku maskulin, maka tokoh tersebut akan digambarkan secara inferior. Kemudian sifat-sifat negatif seperti arogansi dan seksisme disusupi menjadi sesuatu yang lumrah di kehidupan sehari-hari.

Sama seperti namanya, toxic masculinity berpotensi untuk menjadi racun di kehidupan sosial, karena merupakan suatu tekanan konformitas yang negatif dan destruktif. Maka sebisa mungkin, penonton dapat dengan bijak menyaring pesan-pesan yang disampaikan ke alam bawah sadar melalui medium film sehingga tidak melazimkan sesuatu yang negatif dan cenderung sesat pikir.

 

Editor: Galeh Pramudianto