HUMANIORA
16 Jan 2021 21:59
1153
Delapan Pilihan di 2020

Delapan buku favorit ini murni versi saya, bukan representasi situs ini. Kebetulan karena privilese dan kemudahan akses, maka ditulis di sini. Setiap karya atau apa pun itu yang dipilih seseorang, maka punya konsekuensi. Dari tendensi, keterhubungan atau apa saja di balik itu. Kita tidak bisa menyangkal. Tapi yang pasti, buku-buku berikut ini berpengaruh bagi saya; baik sebagai pembaca, atau mengaku sebagai penulis yang jarang menulis. 

 

Yang Tinggal Hanyalah Kata: Pujian dan Kutukan untuk Puisi Koran (2020)

Penulis: Widyanuari Eko Putra

Penerbit: Buku Beruang

Kurator dan editor: Fauzi Sukri

Tebal: 362 halaman

Bagi saya orang yang akan masuk surga duluan selain orang yang saleh-istikamah adalah seorang pengepul-pengarsip tulisan. Seperti di dalam buku ini. Pertama, ia telah menyelamatkan harta karun atau (mungkin recehan?) dari berbagai tempat.  Dalam hal ini, Wiwid menempuhnya lewat puisi-puisi di koran yang ia dapat di Semarang. Kedua, ia telah membagikan pengalaman membaca serta analisisnya teradap puisi-puisi koran—hal yang terbilang langka—di balik kemeriahan grup sastra minggu dengan genre “sastra selamat” atau selebrasi semata. Ketiga, ia membaginya menjadi variasi: tokoh dan puisinya, gaya dan siasat berpuisi, serta diksi dan peristiwa. Menariknya, penyair yang dipilih beragam. Bukan hanya begawan, tapi juga obskur yang jauh dari pantauan. Favorit saya adalah “Penyair Muda Diksi Tua” dan “Tak Ada Aturan Puisi Harus Romantis”.

 

Nonton Film, Nonton Indonesia (2004)

Penulis: JB Kristanto

Penerbit:  Buku Kompas

Editor: Christina M. Udiani

Tebal: 528 halaman 

JB Kristanto kita tahu adalah orang yang berpengaruh dalam kajian sinema Indonesia. Ia kritikus yang tangguh meski ia menolak dengan atribut itu dan lebih suka disebut penulis resensi. Selain itu, ia juga mengelola filmindonesia.or.id. Apa pun sebutannya, Mas Kris adalah ensiklopedi berjalan film nasional. Buku Katalog Film Indonesia 1926-2007 merupakan kontribusi paling tak ternilai bagi penggemar, penonton, pengamat, atau pelaku industri film nasional.

Ketika pandemi, saya kembali menonton film-film Indonesia, dari 3 Hari untuk Selamanya hingga Petualangan Sherina. Nonton Film, Nonton Indonesia melengkapi pengalaman menonton saya. Di dalamnya berupa kritik film, reportase, festival film dan film sebagai entitas seni dan bisnis. Bagian favorit saya adalah “Apalagi Sesudah Festival Film?” ulasan-kritik “Ada Apa dengan Cinta?” dan ketika ia mewawancarai Asrul Sani bersama Bre Redana di tahun 1985.

 

Terdepan, Terluar, Tertinggal: Antologi Puisi Obskur Indonesia 1945-2045 (2020)

Penulis: Martin Suryajaya

Penerbit: Anagram

Editor: Hamzah Muhammad

Tebal: 216 halaman

Selama sastra masih diterbitkan, selama itu pula buku puisi juga mengantri untuk diproduksi dan dikonsumsi. Entah buku yang tiba-tiba muncul dalam sebuah sayembara, padahal tidak pernah terdengar di masyarakat (atau bisikannya sekali pun), hingga buku yang dicetak ulang karena memenangkan sayembara. Dari berbagai buku puisi yang beredar, 3 T adalah wujud yang komplet dan konkret.  Baik dibaca oleh akademisi atau kritikus sastra hingga untuk seseorang yang baru belajar menulis puisi. 

3 T adalah buku yang interaktif dan membuat pembacanya bisa membedah dari berbagai sisi. Kita bisa membacanya sebagai novel, karena tokoh-tokoh penyair di dalamnya punya semestanya sendiri. Kita bisa membacanya sebagai cerpen, karena biografi tokoh penyair yang bisa dibaca sekali duduk. Dan kita bisa membacanya sebagai puisi yang kaya. Bagaimana tidak? satu buku puisi dengan 18 suara yang beragam dan otentik. Paket hemat. Bila saya terisolasi di sebuah pulau dan hanya menemukan buku ini, maka rasanya kecemasan itu akan pudar, karena saya bisa menikmati beragam suara dan latar belakang penyair di dalamnya. Lebih panjang tentangnya, klik ini.

 

Menanam Gamang (2020)

 Penulis: Dhianita Kusuma Pertiwi 

Penerbit: Pelangi Sastra 

Editor: M. Dandy

Tebal: 124 halaman

Cerita berawal dari riwayat sebuah keluarga yang memiliki obsesi terhadap teknologi. Obsesi untuk menjadi abadi diikuti dengan hegemoni alat produksi, melanggengkan tokoh di semesta cerita melakukan penyimpangan. Dari situ premis terbentuk dan plot bisa bergulir. Di tahun 2120, sebuah kota fiktif bernama Ygeia memutar kembali memori kolektif akan wabah yang pernah terjadi di masa lalu (2020).  

Alasan tidak ada waktu atau selektif terhadap bacaan bisa dipatahkan karena yang ditawarkan adalah novela fiksi ilmiah. Menanam Gamang merupakan karya yang lahir di masa pandemi dan situasi yang mungkin dekat dengan kita. Keterhubungan dan worldbuilding yang ditawarkan menjadi penting dan relevan. Selengkapnya klik ini dan ini.

 

Penampungan Orang-Orang Terbuang (2020)

Penulis: Guillermo Rosales

Penerbit: Labirin 

Penerjemah: Gita Nanda 

Tebal: 122 Halaman

 “Kau tahu kenapa kau jadi gila? Karena kebanyakan membaca." kata Arsenio, tokoh di dalamnya, di dunia yang seperti neraka dan muskil. Mungkin itu alasan saya masih menikmati menjadi tsundoku, beli dulu, baca serampangan kemudian. Novel ini adalah rilisan pertama Labirin Buku yang diterjemahkan langsung dari bahasa Spanyol. Penerbit dan toko buku asal Semarang. 

Saya belum pernah membaca penulis asal Kuba, dan karena itu pula saya langsung tertarik menyelesaikannya. Berkisah tentang seorang penulis yang menjadi gila karena tindakan represif dari rezim tempat ia bermukim. Kisahnya berkutat pada panti orang-orang terbuang dan di dalamnya malah lebih kejam dari dunia luar itu sendiri. Mungkin semacam semi-autobiografi Rosales. 

 

Gadis Minimarket (2020)

Penulis: Sayaka Murata 

Penerjemah: Ninuk Sulistyawati

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama 

Tebal: 160 halaman

Kalau Seno Gumira pernah berkata alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, lalu bagaimana dengan Keiko yang merasa menjadi binatang penuh arti dan menemukan kedamaiannya dengan itu semua? Selengkapnya klik ini.

 

Parade Hantu Siang Bolong (2020)

Penulis: Titah AW

Penerbit: Warning Books

Editor: Soni Triantoro

Tebal: 268 hlm

Meski sebagian artikel di dalamnya dapat ditemukan di sebuah web, kumpulan reportase ini tetap enak untuk dinikmati. Andai internet tidak ada lagi di dunia, maka usaha untuk mengumpulkannya menjadi satu kesatuan adalah langkah yang tepat. Sejauh ini bentuk tulisan jurnalisme sastrawi favorit saya masih "Hikayat Kebo" di buku Jurnalisme Sastrawi (KPG, 2008). Saya baca itu, setelah dulu di daerah Bintaro, rental buku dekat rumah saya masih buka.  

Membaca Parade Hantu Siang Bolong di waktu kapan pun tak akan membuat saya bergidik ngeri. Jelas. Karena maksud dari hantu siang bolong itu seperti mitos dan kearifan lokal yang hidup di tengah-tengah kita. Jauh sekaligus dekat. Referensinya memang berdasar ketubuhan-geografi penulis, yaitu Jawa. Tapi apakah masalah? kalau dengan itu, menulis karya jurnalistik tidak harus kaku dan dapat dinikmati—layaknya teman sebaya sedang mendongengi, misuh, gibah dan sebagainya agar cerita yang kita dengar dekat dan terikat. Ringan sebagai selingan, berisi sebagai materi.

 

Mengapa Sebelas Lawan Sebelas? dan serba-serbi sejarah sepak bola lainnya (2019)

Penulis: Luciano Wernicke 

Penerbit: Marjin Kiri 

Penerjemah: Mahir Pradana 

Tebal: 175 halaman

“Suatu negara telah mencapai peradabannya secara maksimal jika pertandingan sepak bola dapat terlaksana tanpa wasit” -José Luis Coll (aktor dan penulis Spanyol)

Sebuah anekdot yang subtil. Di zaman Victorian, wasit tidaklah diperlukan karena sepak bola pada dasarnya dibuat berdasarkan gentleman's agreement. Sebuah peristiwa yang sebelumnya dikenang dengan berbagai sudut: hiburan populer dari pelatihan militer, mitos, dan pertaruhan merebutkan kesenangan duniawi. 

Buku ini terbit pertama kali tahun 2017 di Kolombia. Luciano Wernicke, penulis olahraga kenamaan Argentina dengan cermat melakukan riset dari berbagai sudut yang jarang kita ketahui. Saya tentu saja sebelumnya tidak tahu bahwa kata “gol” berasal dari puisi William de Shoreham (penyair Inggris). Kata tersebut berasal dari istilah inggris kuno, yaitu “gal” yang bermakna “batas” atau “sasaran”. Pertanyaan-pertanyaan lain muncul di dalam buku ini. Ada 100 topik tematik yang dibahas. Misalnya, saya langsung iseng saja untuk menjawab pertanyaan di blurb belakang buku terbitan Majin Kiri.

Mengapa tim sepak bola beranggotakan sebelas pemain? Karena penghuni asrama di sebuah sekolah berjumlah sebelas murid, atau juga sepuluh murid ditambah satu guru. Siapa penyusun aturannya? Hingga 1863, para siswa di Inggris menyusun draf peraturan permainan.  Mereka (atau siswa-siswa) yang telah mengalami sebelas lawan sebelas kemudian menjadi pemimpin Asosiasi Sepakbola Inggris (FA). Para alumni menggencarkan aturan sebelas lawan sebelas, karena pada awalnya organik namun setelahnya mereka menganalisa bahwa hal tersebut ideal. Dilihat dari sistem pertahanan, kreativitas dan penyerangan.

Sejak kapan ada wasit? Sejak taruhan memenangkan segentong minuman keras menjadi tujuan bermain sepak bola. Dan sejak kapan wasit memakai peluit? Sejak sarung tangan tidak berfaedah lagi untuk menarik perhatian kala pertandingan berlangsung, dan sejak peluit menjadi alat yang efektif untuk satuan keamanan di Inggris.

Buku ini menyenangkan ditambah dapat melengkapi Memahami Dunia Lewat Sepak Bola milik Franklin Foer. Sudut sempit bernama akar dan sejarah, adalah kemewahan yang diidamkan pecinta bola baik amatir maupun yang mengkhususkan diri sebagai pandit. Seperti sudut sempit lainnya: ketika pemain mencetak gol dari sudut sempit, maka keindahan dan karya seni melabeli gol tersebut. Sepakbola bagi saya pribadi adalah puisi yang lain. Ia bisa berupa banalitas karena hanya berpusat pada keindahan gol semata (objektifikasi) atau diskursus yang menarik bila melihatnya dari teropong lain, misal kajian budaya dan sosio-politik. Sepak bola bisa menjadi alat untuk pemersatu (nasionalisme semu?) atau menjadi “propaganda yang lain” seperti baris di bawah ini:

“Jika sepuluh ribu bola disebarkan ke seluruh baris depan dan para prajurit diizinkan bermain, bukankah itu menjadi solusi yang menyenangkan, perang tanpa pertempuran darah?” pertanyaan prajurit veteran kepada Marsekal First British Army, 1918.