Bermula dan berlalu tanpa adanya hambatan yang menghalangi lancarnya jalan kehidupan. Hening, sunyi berbalut damai di bumi pertiwi dengan berputar pada porosnya. Nyanyian merdu burung yang senantiasa mengepakkan sayap, mentari pagi-petang yang dirindukan, hembusan lembut angin bagai penyejuk dari teriknya siang, dan keramaian orang-orang yang sepi dari kericuhan. Seperti itulah semua beraktivitas di surga fana. Makhluk mana yang tidak menginginkan dan mendambakan hal demikian? Sungguh sangat tenteram sekali dan keberuntungan bagi mereka yang menikmatinya minal mahdi ilal lahdi. ‘ Virus hendaknya dijauhi supaya tidak tertular’ adalah kiasan yang cocok untuk dirinya. Si absurd yang mempunyai peraturan tersendiri di dalam dunianya hingga berbalik jauh dari sekitar. Layaknya pertanda mungil tamatnya hidup, wujudnya ingkar terhadap kelaziman, melawan arus, mengubah takdir tetap. Begitu ramai yang sudah muak dengan pendiriannya, memisahkan dari golongan, bahkan dianggap sebagai angin lewat. Namun ia merasa tidaklah bersalah dan bangga karena menjadi hamba Tuhan yang istimewa dan spesies langka. Telah tertanam di dalam jiwa raganya sabda rasul menyangkut perbedaan. Seharusnya begini malah begitu, ke sana malah ke situ, sejalur malah menyimpang, senang malah ....... . Inilah salah satu kisahnya yang terabadikan dalam tulisan yang sekilas mengungkapkan alasan pembelotan satu bagian dari berbagai macamnya.
Tidak Ada Pilihan Lain
Kabar mengejutkan sekaligus mendebarkan hati bahkan hampir tak dipercayai terdengar di kedua telinganya yang menyimak tiap kata dan kalimat yang terlontar dari lisan bapak diperkumpulan kecil keluarganya di hari yang membosankan. Pada siang hari sembari menunggu panggilan ilahi berkumandang menggerakkan tiap insan tuk memenuhinya keluarganya berkumpul di atas perintah kepala keluarga guna menyimak maklumat yang termasuk paling dinanti dan bahagia bagi banyak kalangan.
Ya, memang valid hal demikian. Namun, tidak selalu untuknya. Baginya inna ma'al ‘usri yusra bisa terwujud sebaliknya. Maka ia pikir kembali bahwa tiap kebahagiaan ada kesedihan dan pengorbanan untuk menggapainya yang serupa dengan hal ini. Dengan jiwa raga yang teguh dan sabar ia bersedia untuk tidak merasakannya guna melaksanakan hal terpenting baginya demi mewujudkan maqalah dari sang kyai. Tentu saja sontak seluruh pandangan berisi keheranan tertuju pada diri lemahnya dan bertanya-tanya mengapa demikian. Apalagi sang bapak yang kecewa melihat anaknya berbuat apa yang tidak seeloknya. Tapi, menurutnya dirinya tidak merugi dan bersalah dalam bertindak sebab yang diwajibkan lebih utama dari yang dianjurkan dari segi manapun. Andaikata tiada titah dari Sang Pencipta perihal menaati dan berbakti kepada kedua orangtua, niscaya ia tetap berada pada tekad bulatnya. Dengan merenunginya berulang disertai tatapan sang bapak yang kecewa dan ibu yang dengan tersirat menyuruhnya mengambil kesempatan yang sangat jarang datang, maka luluhlah hatinya dan bersedia bergabung bersama mereka untuk bertaqarrub kepada ilahi di tanah suci.
Sepulangnya menuju rumah keduanya dirinya terus berpikir,
“Bener ga ya yang aku akan lakukan? Apakah termasuk menentang qaul pak kyai dengan mengedepankan yang sunah dibanding dirasah? Kenapa aku gak bisa konsisten ke diri sendiri?”.
Itulah sejumlah pertanyaan yang terngiang-ngiang pada benaknya ditiap kondisi. Dengan berkeyakinan teguh yang sangat juga situasi di pesantren yang mendukung dan tidak mengganggunya ia selalu berkata dalam hatinya,
“Insyaallah bener, dijalani saja dalu. Lagipula gak bermaksud menyangkalnya dan nanti juga agenda di sini adalah PTS bukannya belajar. Jadi gak termasuk dirasah, kan? Udah dirasakan aja, manis-pahitnya belakangan”.
Pada akhirnya tibalah hari itu yang ditunggu-tunggu, hari keberangkatan menuju tempat paling suci setelah satu hari sebelumnya preparing dan izin, berpamitan, serta meminta doa kepada asatidz dan kawan-kawan semoga selamat saat keberangkatan dan kepulangannya ke tempat pendidikan tercintanya dan sesuai rencana terbaiknya. Atas itu ia merasa lega dan tidak khawatir untuk meninggalkan mereka.
Keberangkatannya beserta keluarga didampingi oleh sanak saudara menuju bandar udara ternama di negara yang ia singgahi, Soekarno-Hatta. Perpisahannya diiringi dengan doa dan harapan supaya mereka pergi dan pulang dengan selamat dan lengkap dan terijabah segala bentuk ibadah oleh Sang Mujib di setiap langkahnya dari tempat kelahiran yang hina ke tempat paling mulia. Tak lupa keluarganya berpesan untuk merelakan mereka jika memang tak kunjung kembali dan tetap melanjutkan kehidupan walau dengan jasadnya yang tertanam.
“Mari bapak-ibu, kita masuk ke pesawat! Jangan lupa barang bawaannya”, ujar si pemandu dari pihak travel dengan senyum ramahnya.
“Ya Allah ini benar aku lengkap dengan satu keluarga menuju baitmu di tanah sana? Aku gak sangka bisa seperti ini. Padahal selama ini aku hanya berharap memohon doa supaya ibu bisa dapat kesempatan menapakkan kaki di sana sebelum wafatnya. Ternyata rencanaMu lebih baik dan indah dari rencana hambaMu yang berdosa ini. Alhamdulillah, aku gak nyangka”,
Begitulah suara hatinya yang terpenuhi rasa syukur dan memuji kepada Tuhannya sembari dua kakinya menapaki lantai dan melangkah menuju pintu masuk pesawat.