Lampu-lampu dinyalakan pertanda telah sampai tujuan dengan selamat sentosa atas doa-doa mereka yang dimunajatkan yang ia sadari bahwa kejadian ini bukanlah mimpi belaka tapi impian nyata. Senang-sedih bercampur aduk menjadi satu kesatuan dalam diri lemahnya yang tak disangka menjadi hamba pilihan Tuhan untuk mengenal diriNya lebih jauh dibait mulianya dan agung di samping ia tak dapat mengikuti kegiatan pesantren dikarenakan keberadaannya yang jauh dari jangkauannya.
Lalu ia pergi mengarah kota dikebumikannya jasad Sang Suri Teladan bagi tiap kalangan, Madinah pada malam hari dengan bus sewaan dan bertemu mutawwif muda yang selanjutnya akan membimbing perjalanan mereka selama di Haramein.
Terpampang jelas “Sanabel Al Madina Hotel/فندق سنابل المدينة” di depan mata ketika telah tiba di penginapan rombongannya. Dengan dibantu petugas hotel mereka membawa barang bawaan ke dalam bangunan yang elegan dan tersusun, menunggu giliran masuk untuk menempati kamar tidur masing-masing sembari dibersihkan demi kenyamanan pengunjung selanjutnya dengan makan cemilan yang tersedia.
Terbesit dalam benaknya sepotong sabda Rasulullah “Inna min fadhli ayyamikum yaumal jumu’ah” yang benar-benar ia rasakan keberkahannya berkali-kali lipat dari biasanya. Bagaimana tidak? Mendapat berkah dan berkat seusai salat sekali seminggu tentu hal yang menjadi konsumsinya di setiap pekan. Namun, kali ini berbeda. Dengan keahlian bapak dalam mencari badan travel dan takdir baik yang berpihak pada rombongannya bagaikan mendapat angka 7-7-7 dalam lucky spin ia dan lainnya berkesempatan menghadiri dua kali salat Jumat di dua tempat mulia berbeda. Momen ini ialah pertama kalinya ia menyaksikan puluhan ribu hadirin di satu tempat bahkan sampai memenuhi jalan lalu lalang ketika turut hadir di sana usai berkemas di hotel yang tidak jauh dari tempatnya menggelar sajadah. Dan lagi-lagi penyesalannya berulang dikala khatib menyampaikan pembuka khotbahnya dengan bahasa penduduk lokal di sana dengan kecepatan di atas rata-rata yang tak dapat ia iringi dan pahami. Sungguh naif sekali malangnya.
Kembali menuju tempat singgah sementaranya dengan telah terhidangkan makan siang bagi para jamaah umroh Indonesia di ruang makan khusus setelah menyelesaikan rangkaian ibadah di Nabawi. Layaknya nikmat Tuhan yang turun dari surganya yang tersedia sangatlah menggoda pandangan ditambah dengan kemerdekaan mengambil sepuasnya membuat ia berpikir bahwa nikmat terbaik keduanya sedang dirasakan. Satu kali saja tidak menyelesaikan porsi makan kulinya hingga ditutup dengan buah pencuci mulut. Lalu beranjak ke kamar masing-masing demi mengisi energi yang terkuras akibat penat dari kegiatan yang telah berjalan sekaligus merapikan dan menata pakaian di dalamnya. Namun, disayangkan ia harus bermalam dengan tanpa keluarganya sebab muatan yang tidak memadai dan berpindah ke kamar lain. Syukur ia panjatkan karena dengan begitu ia mendapat, berkenalan, dan akrab dengan teman baru dari satu badan travel yang sama. Faktanya mereka juga terpisah dari keluarganya dan mendapat nomor dan lantai kamar yang berbeda. Di usianya yang paling muda bersama mereka sangatlah mengasyikkan menyimak daily activities, pengalaman juga tentang keluarga masing-masing.
Penat keluar dan tenaga kembali masuk bersama dengan lainnya ia lekas menuju tempat peribadatan yang dibangun di atas sendi-sendi persatuan homogen dan heterogen dibersamai nada dering yang kerap ada di televisi dan aplikasi di waktu istimewa. Niscaya tak cukup diputar sekali-dua kali bagi mereka yang meresapinya. Dengan kekhasan panorama daerah timur diwarnai berbagai busana dan gedung-gedung yang balapan menambah suasana rindu jalanan mengarah kepada tujuan mereka. Lalu keramik di lantai masjid yang begitu terukir sempurna, air suci yang selalu tersedia di tepi jalan, alas sujud lembut, dan dekorasi langit-langit juga tiang tak kalah memanjakan mata pula terkenang di hati dan benak. Kebesaran dan kemegahan yang dirias sedemikian rupa memang layak baginya menempati posisi negeri-negeri maju dan eksis di bumi tercinta. Padahal dahulu hanya sebongkah tanah tandus dan gersang, kini telah menjadi terhendus dan terpandang.
Mulailah ia bertawajuh menghadap kiblat secara khusyuk sambil bertakbir diiringi niat. Ali al-Hudzaifi kala itu menjadi imam jamaah asar. Sontak saja ia teringat dengan momen di tiap salatnya yang sering diimajinasikan sedang berada antara masjid al-Haramein dan kini sedang ia jalani. Amalan-amalan, zikir, dan doa sekompleks dan sejabarnya tiada luput pasca salam.
“Ya Allah, sungguh teramat agung nikmat yang telah kau beri kepada si pemaksiat ini. Kau rela mengizinkan lalu membiarkan aku tuk merasakan beribadah dibaitmu juga penyaksi beragam peninggalan rasulMu. Alhamdulillah puja-puji syukur ku haturkan kepada Sang Penggerak kalbu ini untuk ikut pergi ke sini dengan ikhlas bersembahyang sembari merealisasikan khayalan terpendam. Terima kasih wahai Rabbku. Kaulah Yang Terbaik dalam memilih bagi ciptaan”, sanjungnya kepada Tuhan dengan dongakan ke langit sambil tersenyum berkaca-kaca.
Hingga di saat mentari bertukar posisi dengan rembulan semuanya dipersilahkan untuk kembali mengisi daya, persiapan untuk hari mendatang. Berjalan menuju ruang tidur yang sepi tanpa keluarga menemani, hanya ada kehampaan bersanding. Membuka pintu, lalu....
“Eh kamu. Gimana tadi? Salat Jumat di mana? Dah makan belum?”, sapa teman tertuanya.
Ternyata masih ada teman-teman yang hangat menyambut kehadirannya, bertukar cerita, pengalaman hidup, dan basa-basi demi keakraban. Dan manakala berada di atas kasur berbalut selimut yang menghangatkan ia membuka gawainya, melihat si pencari angka 13, dan terpikirkan keluarganya di pesantren sana dengan rindu sebab tak dapat mencicipi aktivitas hariannya. Penglihatan terpejam perlahan-lahan sambil berharap esok lebih baik dari lalu.